Masalah tunawisma dan pengemis di Kota Palu masih menjadi permasalahan sosial yang kompleks meskipun telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 3 Tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan tersebut menggunakan teori Edward III, yang menekankan empat dimensi utama: komunikasi, sumber daya (manusia dan anggaran), disposisi pelaksana, serta struktur birokrasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan masih belum optimal. Sosialisasi kebijakan kepada masyarakat belum efektif, sumber daya yang tersedia terbatas, baik dari sisi pendanaan maupun jumlah dan kapasitas pelaksana. Disposisi pelaksana menunjukkan lemahnya komitmen serta minimnya koordinasi lintas sektor. Struktur birokrasi pun belum mendukung pelaksanaan kebijakan secara sinergis, sehingga terjadi tumpang tindih peran antarinstansi. Penelitian ini relevan dalam konteks evaluasi kebijakan publik, terutama dalam merumuskan strategi peningkatan efektivitas kebijakan sosial di tingkat daerah. Rekomendasi yang diajukan meliputi penguatan strategi komunikasi publik, peningkatan alokasi anggaran dan pelatihan bagi pelaksana, serta pembentukan sistem koordinasi antarinstansi yang berkelanjutan. Temuan ini dapat menjadi dasar perumusan kebijakan yang lebih humanis dan berbasis pada pemberdayaan sosial. The issues of homelessness and begging in Palu City remain complex social problems, despite being regulated under Palu City Regional Regulation No. 3 of 2018. This study aims to analyze the implementation of the policy using Edward III’s theory, which emphasizes four key dimensions: communication, resources (human and financial), implementers’ disposition, and bureaucratic structure. A qualitative descriptive method was employed, with data collected through interviews, observation, literature review, and documentation. The findings reveal that policy implementation has not been optimal. Public dissemination of the policy remains ineffective, and the available resources—both funding and the number and capacity of implementers—are insufficient. The disposition of implementers reflects a lack of commitment and minimal cross-sectoral coordination. Moreover, the bureaucratic structure does not yet support synergistic policy execution, resulting in overlapping roles among agencies. This study is relevant in the context of public policy evaluation, particularly in formulating strategies to enhance the effectiveness of social policies at the local level. Recommendations include strengthening public communication strategies, increasing budget allocation and training for implementers, and establishing a sustainable interagency coordination system. The findings may serve as a basis for developing more humane and empowerment-based policy approaches.