Pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (UU 7/2020) sebagai perubahan ketiga dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mendapat sorotan besar dari publik. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan penting, pertama bagaimana bentuk penolakan masyarakat terhadap UU 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi dan kedua, bagaimana respon negara dalam menghadapi tuntutan masyarakat atas penolakan terhadap UU 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Guna menjawab dua pertanyaan itu, penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan. Tulisan ini mengakui bahwa tiga aspek dasar fungsi hukum terhadap hubungannya dengan politik oleh Miro Cerar sangat membantu untuk menganalisis bagaimana hukum difungsikan terhadap politik serta bagaimana karakter hukum yang dihasilkan dalam fenomena ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penolakan masyarakat terhadap UU 7/2020 diwujudkan dengan pengujian UU 7/2020 ke Mahkamah Konstitusi. Pembentukan UU yang cenderung abnormal menjadikan hukum difungsikan sebagai alat (means) untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu dan menempatkan politik menjadi independent variabel sedangkan hukum menjadi dependent variable. Adapun respon negara dalam menghadapi tuntutan masyarakat atas penolakan terhadap UU 7/2020 diwujudkan dengan menolak permohonan pengujian UU 7/2020 untuk seluruhnya oleh yudikatif dan penyusunan perubahan keempat UU 24/2003 oleh pembentuk undang-undang. Hal tersebut mencerminkan revisi perubahan ketiga dan keempat UU MK memiliki karakter hukum yang bersifat konservatif/ortodoks. Penelitian ini menyarankan pengembangan konsep partisipasi dalam pembentukan UU, perluasan penggunaan Amanat Presiden, dan mempertimbangkan perluasan dokrin kerugian konstitusional pada pengujian UU di Mahkamah Konstitusi.