Bagi masyarakat Gayo, Peri Mestike merupakan “Selpah Murip” (Pandangan Hidup) baik pribadi, keluarga, juga bermasyarakat. Pada kajian ini dikhusukan pada PM atau falsafah "Rues Ku Ines Tungku Ku Pelu," yang merupakan pedoman dalam interaksi sosial dan organisasi. Dalam konteks modernisasi, terdapat tantangan yang dihadapi masyarakat Gayo dalam mempertahankan nilai-nilai budaya mereka, terutama di kalangan generasi muda yang semakin homogen dengan budaya luar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis falsafah "Rues Ku Ines Tungku Ku Pelu" serta implikasinya dalam manajemen organisasi berbasis kearifan lokal Gayo. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnopedagogik, pengumpulan data menggunakan metode wawancara dengan strategi “Tengkah Bengkuang Gewat”, (metode perumpaan dan kias). Kajian ini menunjukkan bahwa lebaga pendidikan dan manajemen organisasi harus bersinergis dengan local wisdom dalam membangun pendidikan, karena budaya merupakan identitas mereka,. Subjek penelitian melibatkan tokoh adat, masyarakat, dan budayawan Gayo di Aceh Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa filosofi "Rues Ku Ines Tungku Ku Pelu" mencerminkan pentingnya hierarki sosial dan kerja sama dalam masyarakat dan organisasi. Penelitian mengungkapkan bahwa penerapan falsafah ini dalam kehidupan sehari-hari terlihat dalam musyawarah, interaksi keluarga, pengambilan keputusan kolektif, dan pembagian tugas diberbagai lembaga termasuk sekolah. Meskipun menghadapi tantangan modernisasi, nilai-nilai ini tetap relevan dan dapat diintegrasikan ke dalam praktik manajemen organisasi modern. Falsafah atau PM "Rues Ku Ines Tungku Ku Pelu" memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dalam organisasi modern. Oleh karena itu, penting untuk diinternalisasi melalui pendidikan dan program pelatihan yang relevan.