Semua ulama, baik ulama klasik maupun kontemporer, tidak ada yang menyatakan kehalalan riba, karena keterangan pengharamannya telah termaktub nyata dalam al-Qur’an (misalnya Qs. al-Baqarah [2]: 275) maupun Hadis Rasulullah Saw. Apapun yang telah jelas ketentuannya dalam dua nash itu, tentu saja tidak akan diselesihi para ulama. Keharaman riba, itu karena illah al-hukm-nya jelas, yakni eksploitasi seseorang pada orang lain yang secara ekonomi mengalami kondisi kesulitan. Kezaliman (al-dhulm) berupa eksploitasi ini akan merusak hubungan sosial kemasyarakatan, yang karenanya patut dilarang. Islam menggariskan, hubungan sosial-kemasyarakatan haruslah didasarkan pada “tolong-menolong pada kebaikan dan takwa” (Qs. al-Maidah [5]: 2). Kezaliman atau perilaku batil, dengan alasan apapun, menabrak dan tidak berdasarkan norma al-Qur’an (misalnya Qs. al-Nisa [4] 29 dan Qs. al-Baqarah [2] 168) maupun Hadis Nabi. Namun, lain riba (usury) lain pula bunga bank (interest). Usury terjadi jika tambahan itu sama atau lebih besar dari jumlah pinjamannya. Sedang interest (bunga) tambahan lebih kurang dari pokoknya. Jika riba disepakati keharamannya oleh para ulama, bunga bank tidak. Ketidaksepakatan ini tersebab perbedaan mereka dalam memandang posisi bunga bank: riba atau bukan?