Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search
Journal : PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)

Artikel Kehormatan: Saat Rakyat Bicara: Demokrasi dan Kesejahteraan Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6409.913 KB)

Abstract

AbstrakSecara tradisional,  kesejahteraan adalah suatu kepercayaan bahwa kesejahteraan sosial merupakan tanggung jawab dari masyarakat dan tanggung jawab ini harus dipenuhi oleh pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk negara atau sistem pemerintahan. Demokrasi masih dipandang sebagai sistem yang paling sesuai dalam rangka tercapainya kesejahteraan sosial karena  demokrasi  memberikan  jalan bagi rakyat  untuk  berbicara. Namun, pada praktiknya demokrasi oleh masyarakat awam kerapkali diartikan sebagai pemerintah  yang sebenarnya lebih menekankan kepada demokrasi politik. Artikel ini akan memperlihatkan bagaimana kesejahteraan sosial dianalisis secara akurat dari pemikiran mengenai demokrasi sosial  yang  berjalan beriringan dengan  model demokrasi konsensus  sebagai dasar fundamental dalam menghadapiperistiwa negara dan pemerintahan.Time for People to Speak: Democracy and WelfarismAbstractTraditionally, Welfarism is the belief that social well-being is the responsibility of a community which could only be realized through state or governmental management. It is still believed that  Democracy is the  most  proper system in achieving social welfare, since it permits the people of a country to speak. In practice, however, Democracy is only understood  as a system that gives the governmental rights to the majority of the people. This article, thus, will argue that social wel fare is more precisely analyzed through the notion of Social-Democracy, which goes hand-in-hand  with the consensus model of Democracy as a fundamental base in carrying out state and governmental affairs.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a1
Artikel Kehormatan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2653.416 KB)

Abstract

Keadaan bahaya atau kedaruratan senantiasa dihadapi oleh setiap negara yang memaksa negara yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan, baik berupa penetapan keadaan bahaya (extraordinary measures) ataupun penetapan aturan (extraordinary rules) untuk memulihkan keadaan bahaya tersebut. Umumnya tindakan-tindakan untuk mengatasinya diatur dalam konstitusi atau undang-undang dasar negara yang bersangkutan agar tindakan dimaksud mempunyai dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur dua hal kedaruratan, yaitu dalam Pasal 12 yang memberikan wewenang kepada presiden menetapkan keadaan bahaya (extraordinary measures), serta Pasal 22 yang menjadi dasar konstitusional dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden (extraordinary rules). Dalam praktik, tidak mudah mengualifikasi suatu keadaan sebagai genting memaksa. Artikel ini menganalisis peraturan pemerintah pengganti undang-undang  dalam perspektif ajaran konstitusi serta prinsip negara hukum. Untuk menghindarkan terjadinya kesewenang-wenangan, perpu perlu memiliki sejumlah limitasi, meliputi makna, ruang lingkup atau materi muatan, proses pembentukan dan pembahasan, serta akibat hukum.  Government Regulation in Lieu of Law from the Perspective of Constitutionalism and the Rule of Law AbstractEvery country has always faces condition of emergency which forces such a country to determine or to decide extraordinary measures and extraordinary rules in order to restore the abnormal condition to become a normal one. In general, those measurements should have been regulated by a constitution in order to ensure that legitimate and legal acts are secured. The Amended 1945 Constitution provides distinct rules in regard to the exigencies, namely Article 12 (extraordinary measures) and Article 22 (extraordinary rules). The latter gives the way to the establishment of government regulation in lieu of law. In practice, however, it is quite difficult to qualify a particular condition as an emergency. This article examines government regulation in lieu of law from the perspective of constitutionalism and the rule of law. It is argued that to avoid arbitrariness as a result of the use of discretion in determining the emergency condition and to ensure that the extraordinary power is in line with constitutionalism and the rule of law principle, it is fundamental to apply limitations upon the use of it which include the accurate meaning of exigencies, limited subject matters of government regulation in lieu of law, the clear procedure of enactment, as well as its well-defined legal implications. Keywords: emergency, abnormal condition, constitusionalism, government regulation in lieu of law, the rule of law. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n2.a1
Khazanah: Bagir Manan Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.582 KB)

Abstract

Bagir merupakan salah satu pemikir hukum terkemuka di Indonesia. Buah pikirannya jalin menjalin (intertwine) antara filsafat hukum, teori hukum umum, serta teori hukum khusus, yakni teori hukum pada cabang ilmu hukum tertentu, misalnya ilmu hukum tata negara dan administrasi negara. Sekadar contoh, dalam teori hukum umum, misalnya, Bagir berpendapat Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan grundnorm Indonesia karena Proklamasi menyebabkan tatanan hukum lama menjadi tidak ada dan menimbulkan serta memberikan dasar bagi keberadaan tatanan hukum baru. Suatu pandangan yang agak berbeda dengan para ahli hukum lain yang umumnya menempatkan Pancasila sebagai grundnorm. Dalam konteks sumber Hukum Tata Negara, Bagir juga mempunyai pendapat yang berbeda, misalnya dengan Alm. Prof. Usep Ranawijaya. Menurut Bagir, doktrin merupakan sumber hukum material, sebaliknya Alm. Usep meletakknya sebagai sumber hukum formal. Argumentasi yang dikemukakan Bagir ialah sumber hukum formal haruslah bersifat hukum. Namun, Bagir berusaha memahami pandangan yang memasukkan doktrin sebagai sumber hukum formal akibat pengaruh dari masa Romawi. Selain itu, kekuatan pemikiran Bagir ditopang oleh kemampuannya melakukan perbandingan hukum, khususnya Hukum Tata Negara, serta sejarah. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a12
Artikel Kehormatan: Konstitusi dan Hak Asasi Manusia Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.056 KB)

Abstract

AbstrakSalah satu titik sentral dalam konstitusionalisme adalah persoalan hak asasi manusia. Dalam kaitan ini, konstitusi memiliki peran penting, yang bukan hanya sekadar melakukan jaminan dan proteksi secara tertulis, melainkan pula menyediakan berbagai nilai yang digunakan oleh lembaga peradilan dalam interpretasi serta elaborasi hak-hak tersebut. Artikel ini menjelaskan hubungan antara konstitusi dan hak asasi manusia, yang mencakup persoalan isi dan pengertian hak asasi manusia, tempat hak asasi manusia dalam konstitusi, termasuk dalam UUD 1945, serta akibat pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi. Artikel ini menegaskan bahwa penempatan hak asasi manusia dalam konstitusi tidak semata-mata menjadikannya sebagai hak-hak fundamental yang bersifat mendasar, melainkan pula sebagai hak-hak konstitusional yang tertinggi.Constitution and Human RightsAbstractOne of the central points on constitutionalism is the idea of human rights. Constitution plays a major role by not only inserting human rights articles in aiming to secure and protect these rights, but also providing fundamental values that are used by Court in interpreting and elaborating such rights. This article discusses the relationship between a constitution and human rights, including issues of the meaning and content of human rights, position of human rights in a constitution (including the 1945 Amended Constitution), as well as consequences of inserting human rights norms into a constitution. It is argued that the entrenchment of human rights in a constitutional document does not only give them status as fundamental or basic rights, but it also provides stronger position as the supreme constitutional rights.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a1
Khazanah: Sri Soemantri Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.741 KB)

Abstract

Dalam perjalanannya, Sri Soemantri dikenal sebagai seseorang dengan latar belakang beragam mulai dari pejuang kemerdekaan, aktivis pergerakan, politisi, hingga ilmuwan Hukum Tata Negara. Meskipun demikian, peran sebagai ilmuwan merupakan peran yang sangat dibanggakannya. Diyakininya menjadi guru merupakan ladang amalan yang tak akan pernah terputus, yang membawa kedamaian dalam hidup, terutama saat menyaksikan para muridnya melesat berprestasi dan menyumbangkan beragam kontribusi bagi negeri yang sangat dicintainya: Indonesia. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a12
Artikel Kehormatan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum Bagir Manan; Susi Dwi Harijanti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2653.416 KB)

Abstract

Keadaan bahaya atau kedaruratan senantiasa dihadapi oleh setiap negara yang memaksa negara yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan, baik berupa penetapan keadaan bahaya (extraordinary measures) ataupun penetapan aturan (extraordinary rules) untuk memulihkan keadaan bahaya tersebut. Umumnya tindakan-tindakan untuk mengatasinya diatur dalam konstitusi atau undang-undang dasar negara yang bersangkutan agar tindakan dimaksud mempunyai dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur dua hal kedaruratan, yaitu dalam Pasal 12 yang memberikan wewenang kepada presiden menetapkan keadaan bahaya (extraordinary measures), serta Pasal 22 yang menjadi dasar konstitusional dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden (extraordinary rules). Dalam praktik, tidak mudah mengualifikasi suatu keadaan sebagai genting memaksa. Artikel ini menganalisis peraturan pemerintah pengganti undang-undang  dalam perspektif ajaran konstitusi serta prinsip negara hukum. Untuk menghindarkan terjadinya kesewenang-wenangan, perpu perlu memiliki sejumlah limitasi, meliputi makna, ruang lingkup atau materi muatan, proses pembentukan dan pembahasan, serta akibat hukum.  Government Regulation in Lieu of Law from the Perspective of Constitutionalism and the Rule of Law AbstractEvery country has always faces condition of emergency which forces such a country to determine or to decide extraordinary measures and extraordinary rules in order to restore the abnormal condition to become a normal one. In general, those measurements should have been regulated by a constitution in order to ensure that legitimate and legal acts are secured. The Amended 1945 Constitution provides distinct rules in regard to the exigencies, namely Article 12 (extraordinary measures) and Article 22 (extraordinary rules). The latter gives the way to the establishment of government regulation in lieu of law. In practice, however, it is quite difficult to qualify a particular condition as an emergency. This article examines government regulation in lieu of law from the perspective of constitutionalism and the rule of law. It is argued that to avoid arbitrariness as a result of the use of discretion in determining the emergency condition and to ensure that the extraordinary power is in line with constitutionalism and the rule of law principle, it is fundamental to apply limitations upon the use of it which include the accurate meaning of exigencies, limited subject matters of government regulation in lieu of law, the clear procedure of enactment, as well as its well-defined legal implications. Keywords: emergency, abnormal condition, constitusionalism, government regulation in lieu of law, the rule of law. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n2.a1
Khazanah: Bagir Manan Susi Dwi Harijanti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.582 KB)

Abstract

Bagir merupakan salah satu pemikir hukum terkemuka di Indonesia. Buah pikirannya jalin menjalin (intertwine) antara filsafat hukum, teori hukum umum, serta teori hukum khusus, yakni teori hukum pada cabang ilmu hukum tertentu, misalnya ilmu hukum tata negara dan administrasi negara. Sekadar contoh, dalam teori hukum umum, misalnya, Bagir berpendapat Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan grundnorm Indonesia karena Proklamasi menyebabkan tatanan hukum lama menjadi tidak ada dan menimbulkan serta memberikan dasar bagi keberadaan tatanan hukum baru. Suatu pandangan yang agak berbeda dengan para ahli hukum lain yang umumnya menempatkan Pancasila sebagai grundnorm. Dalam konteks sumber Hukum Tata Negara, Bagir juga mempunyai pendapat yang berbeda, misalnya dengan Alm. Prof. Usep Ranawijaya. Menurut Bagir, doktrin merupakan sumber hukum material, sebaliknya Alm. Usep meletakknya sebagai sumber hukum formal. Argumentasi yang dikemukakan Bagir ialah sumber hukum formal haruslah bersifat hukum. Namun, Bagir berusaha memahami pandangan yang memasukkan doktrin sebagai sumber hukum formal akibat pengaruh dari masa Romawi. Selain itu, kekuatan pemikiran Bagir ditopang oleh kemampuannya melakukan perbandingan hukum, khususnya Hukum Tata Negara, serta sejarah. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a12
Artikel Kehormatan: Konstitusi dan Hak Asasi Manusia Bagir Manan; Susi Dwi Harijanti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.056 KB)

Abstract

AbstrakSalah satu titik sentral dalam konstitusionalisme adalah persoalan hak asasi manusia. Dalam kaitan ini, konstitusi memiliki peran penting, yang bukan hanya sekadar melakukan jaminan dan proteksi secara tertulis, melainkan pula menyediakan berbagai nilai yang digunakan oleh lembaga peradilan dalam interpretasi serta elaborasi hak-hak tersebut. Artikel ini menjelaskan hubungan antara konstitusi dan hak asasi manusia, yang mencakup persoalan isi dan pengertian hak asasi manusia, tempat hak asasi manusia dalam konstitusi, termasuk dalam UUD 1945, serta akibat pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi. Artikel ini menegaskan bahwa penempatan hak asasi manusia dalam konstitusi tidak semata-mata menjadikannya sebagai hak-hak fundamental yang bersifat mendasar, melainkan pula sebagai hak-hak konstitusional yang tertinggi.Constitution and Human RightsAbstractOne of the central points on constitutionalism is the idea of human rights. Constitution plays a major role by not only inserting human rights articles in aiming to secure and protect these rights, but also providing fundamental values that are used by Court in interpreting and elaborating such rights. This article discusses the relationship between a constitution and human rights, including issues of the meaning and content of human rights, position of human rights in a constitution (including the 1945 Amended Constitution), as well as consequences of inserting human rights norms into a constitution. It is argued that the entrenchment of human rights in a constitutional document does not only give them status as fundamental or basic rights, but it also provides stronger position as the supreme constitutional rights.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a1
Khazanah: Sri Soemantri Susi Dwi Harijanti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.741 KB)

Abstract

Dalam perjalanannya, Sri Soemantri dikenal sebagai seseorang dengan latar belakang beragam mulai dari pejuang kemerdekaan, aktivis pergerakan, politisi, hingga ilmuwan Hukum Tata Negara. Meskipun demikian, peran sebagai ilmuwan merupakan peran yang sangat dibanggakannya. Diyakininya menjadi guru merupakan ladang amalan yang tak akan pernah terputus, yang membawa kedamaian dalam hidup, terutama saat menyaksikan para muridnya melesat berprestasi dan menyumbangkan beragam kontribusi bagi negeri yang sangat dicintainya: Indonesia. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a12
Natural Born Citizen as a Requirement of Indonesian President: Significances and Implications Susi Dwi Harijanti; Firman Manan; Mei Susanto; Ilham Fajar Septian
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The Third Amendment to the 1945 Constitution stipulates that one of the requirements to become a presidential candidate is an Indonesian natural-born citizen who has never received another citizenship of his/her own volition. The requirement can create confusion and dissenting opinions to determine persons considered natural-born citizens and methods to prove it. This study explores the significances of determining a natural-born citizen as a requirement to become a presidential candidate and its implications. Through a socio-legal approach, this study concludes that the natural-born citizen requirement's significance is to eliminate racial discrimination from the previous requirement of a “native Indonesian” president and to ensure convincing allegiance from the president. There are some implications of the requirement. First, every Indonesian citizen born after the establishment of the Citizenship Law 2006, regardless of ethnic status, is called a natural-born citizen, including those from mixed marriages and having limited dual citizenship up to the age of 18 years. Meanwhile, for Indonesian citizens born before the Citizenship Law 2006, the natural-born citizen status is determined based on Law 3 of 1946 and Law 62 of 1958, including Indonesia’s agreement with the Netherlands and China. Second, a natural-born citizen status mutatis mutandis should require of other constitutional positions, either executive, legislative, or judiciary, and to a presidential candidate’s husband or wife.Natural Born Citizen sebagai Syarat Presiden Indonesia: Arti Penting dan ImplikasiAbstrakAmandemen Ketiga UUD 1945 menetapkan salah satu syarat calon presiden adalah kewarganegaraan sejak kelahiran (natural-born citizen) dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Syarat tersebut dapat menimbulkan kebingungan tentang siapa saja yang dapat dianggap sebagai warga negara sejak kelahiran dan bagaimana pembuktiannya. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri arti penting penetapan natural-born citizen sebagai syarat presiden dan implikasinya. Melalui pendekatan sosio-legal, artikel ini menyimpulkan arti penting syarat natural-born citizen adalah untuk menghilangkan diskriminasi rasial dari syarat presiden “orang Indonesia asli” dan untuk menjamin kesetiaan yang kuat dari presiden. Adapun implikasinya, pertama, setiap WNI yang lahir setelah berlakunya UU Kewarganegaraan tahun 2006, jika sejak kelahirannya telah berstatus WNI, tanpa melihat status etnis, disebut sebagai natural born citizen, termasuk di dalamnya berasal dari perkawinan campuran dan memiliki kewarganegaraan ganda terbatas sampai dengan usia 18 tahun. Sementara WNI yang lahir sebelum UU Kewarganegaraan tahun 2006, penentuan status WNI sejak kelahiran berdasarkan pengaturan UU 3 Tahun 1946 dan UU 62 Tahun 1958 termasuk perjanjian-perjanjian yang diadakan Indonesia dengan Belanda dan Tiongkok. Kedua, natural born citizen secara mutatis mutandis seharusnya diberlakukan bagi syarat jabatan ketatanegaraan lainnya baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, serta terhadap suami atau istri calon Presiden karena alasan kesetiaan.Kata Kunci: kesetiaan, kewarganegaraan sejak kelahiran, syarat presiden.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a1