Perayaan SEBA Baduy merupakan bentuk komunikasi budaya yang menggambarkan hubungan sakral antara masyarakat adat Baduy dan pemerintah, sekaligus menjadi simbol ketaatan masyarakat terhadap amanat leluhur. Di tengah era digital, tradisi ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kemurnian nilai-nilai adat serta peluang baru dalam pelestariannya melalui media digital. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman komunikatif masyarakat Baduy dalam perayaan SEBA serta menelaah bagaimana ruang digital digunakan sebagai sarana pemberdayaan dan pelestarian budaya lokal. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk mengeksplorasi makna dan kesadaran masyarakat terhadap praktik budaya ini, dengan metode pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi visual selama kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Kanekes, Lebak, Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Baduy Luar, khususnya generasi muda, mulai memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan WhatsApp secara selektif untuk mendokumentasikan serta mempromosikan nilai-nilai budaya SEBA. Mereka melakukannya dengan tetap memperhatikan batas-batas adat. Sebaliknya, masyarakat Baduy Dalam menunjukkan resistensi terhadap digitalisasi sebagai bentuk proteksi terhadap kesakralan adat dan identitas komunitas. Fenomena ini mencerminkan adanya dialektika antara pelestarian dan modernisasi, di mana digitalisasi tidak sekadar dipahami sebagai adopsi teknologi, melainkan sebagai proses negosiasi nilai dan pembentukan identitas kultural baru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelibatan komunitas adat secara partisipatif dalam proses digitalisasi budaya sangat penting agar tidak terjadi reduksi makna budaya menjadi komoditas visual belaka.