Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Oto Rhino Laryngologica Indonesiana

Penggunaan terkini oksimetazolin pada praktik klinik sehari-hari dan rekomendasi Kelompok Studi Rinologi Indonesia Wardani, Retno Sulistyo; Zakiah, Azmi Mir’ah; Magdi, Yoan Levia; Irfandy, Dolly; Kusuma Dewi, Anna Mailasari; Sutikno, Budi; Hendradewi, Sarwastuti; Ratunanda, Sinta Sari; Munir, Delfitri; Dolly Irfandy
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 2 (2016): Volume 46, No. 2 July - December 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.397 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i2.165

Abstract

Latar belakang: Oksimetazolin adalah bahan aktif dekongestan topikal yang digunakan untuk rinitis alergi maupun inflamasi mukosa hidung lainnya. Cara pemakaian oksimetazolin yang baik dan benar akan memengaruhi keberhasilan pengobatan. Efek samping rinitis medikamentosa merupakan komplikasi yang sering terjadi dan sebaiknya dapat dicegah. Tujuan: Penulisan tinjauan pustaka ini untuk memberikan pemahaman terkini tentang berbagai indikasi oksimetazolin pada praktik klinik Telinga Hidung Tenggorok sehari-hari, cara pemakaian yang tepat, efek samping dan komplikasi yang terjadi berdasarkan studi kepustakaan yang dipublikasikan di PubMed, Google Scholar, dan Scopus dalam 10 tahun terakhir (2007–2016) oleh tim adhoc anggota Kelompok Studi (KODI) Rinologi Indonesia. Tinjauan pustaka: Oksimetazolin memiliki indikasi yang diperluas jika digunakan bersama dengan bahan aktif lain. Oksimetazolin semprot hidung 0,05% yang digunakan bersama dengan steroid intranasal dilaporkan memberikan manfaat pada penatalaksanaan rinitis alergi, rinitis kronis, dan polip hidung. Oksimetazolin digunakan juga dalam bedah sinus endoskopik untuk mendapatkan visualisasi lapang operasi yang baik karena efek hemostatik vasokonstriktor intranasal. Keuntungan yang dilaporkan juga diiringi dengan kemungkinan efek samping dan komplikasi yang sudah dikenal sampai yang membahayakan hingga kematian akibat koarktasio aorta, infark miokard elevasi non-ST, dan krisis hipertensi. Kesimpulan: Rekomendasi yang dibuat oleh KODI Rinologi berdasarkan analisis secara sistematik dengan telaah kritis, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang penggunaan oksimetazolin yang bermanfaat dan dapat mencegah efek samping yang berbahaya.Kata kunci: Oksimetazolin, dekongestan intranasal, indikasi, efek samping, komplikasiABSTRACT Background: Oxymetazoline is an active ingredient of topical decongestant in treating allergic rhinitis and other nasal mucosal inflammation. A good and proper usage of oxymetazoline will influence a beneficial outcome. Rhinitis medicamentosa is a common complication that should be avoided. Purpose: Content of the literature review is the indications of oxymetazoline usage in daily ENT clinical practice; the proper usage, side effects and complications are appraised from Pubmed, Scopus and Google Scholar publications within the last 10 years (2011 – 2015). The work was performed by adhoc team consisted of member of Rhinology Study Group Indonesia. Literature Review: Oxymetazoline broader indications obtained when applied together with other active ingredients. Oxymetazoline 0.05% nasal spray with topical intranasal steroid was reported as having efficacy in management of allergic rhinitis, chronic rhinitis and nasal polyps. Oxymetazoline is used as topical vasoconstrictor during endoscopic sinus surgery to get clear endoscopic visualization due to its hemostatic effect. Combination of oxymetazoline with topical intranasal steroid, was reported to be beneficial in the management of allergic rhinitis, chronic rhinitis and nasal polyps. Oxymetazoline is also used as topical vasoconstrictor during endoscopic sinus surgery to get clear endoscopic visualization due to its hemostatic effect. The good result of oxymetazoline was reported along with its side effects, which could be fatal, such as coarctation of the aorta, non-ST elevation myocardial infarction, and critical hypertension. Conclusion: Recommendation from Rhinology Study Group Indonesia based on systematic analysis with critical appraisal that has been made, may widen the knowledge and understanding of oxymetazoline usage and indications, and also avoiding the dangerous side effects and complications.Keywords: Oxymetazoline, topical intranasal decongestant, indication, side effect, complication
Korelasi ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) dan TNF-α sebagai mediator cancer-related inflammation pada karsinoma nasofaring Nurdiansah, Firman; Pardede, Sujahn Anto; Farhat, Farhat; Munir, Delfitri; Asnir, Rizalina Arwinati; Hasibuan, Mangain; Eyanoer, Putri Chairani
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 43, No 2 (2013): Volume 43, No. 2 July - December 2013
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (147.692 KB) | DOI: 10.32637/orli.v43i2.66

Abstract

Latar belakang: Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel epitel nasofaring. Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin dari asam arakhidonat. Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal karsinogenesis dan selama perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor. TNF-α diperlukan untuk proliferasi dan fungsi yang normal dari NK cells, sel T, sel B, makrofag dan sel dendrit. Akan tetapi bukti yang terbarumenunjukkan bahwa TNF-α merupakan suatu mediator utama pada cancer-related inflammation dan juga berperan sebagai tumour-promoting factor.Tujuan: Untuk mengetahui ekspresi COX-2 dan TNF-α sebagai mediator cancer-related inflammation pada KNF. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif secara cross sectional design dengan 30 sampel dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan. Ekspresi COX-2 dan TNF-α pada KNF diperiksa dengan immunohistokimia. Hasil: Dengan menggunakan Fisher’s exact test tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara ukuran tumor primer, ukuran kelenjar getah bening serta stadium klinis dengan ekspresi COX-2 (p > 0,05). Ditemukan hubungan yang signifikan antara ukuran tumor primer dan ekspresi TNF-α (p < 0,05). Tidak ditemukan adanya hubungan antara ukuran kelenjar getah bening dan stadium klinis dengan ekspresi TNF-α (p >0,05). Dengan uji Spearman’s rho didapatkan bahwa COX-2 berkorelasi signifikan dengan TNF-α pada KNF (p <0,05). Kesimpulan: Terdapat korelasi signifikan ekspresi COX-2 dan TNF-α pada KNF.Kata kunci: Karsinoma nasofaring, cyclooxygenase-2, TNF-α.
Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri Rambe, Andrina Yunita Murni; -, Fadhlia; Munir, Delfitri; Haryuna, Tengku Siti Hajar; Eyanoer, Putri Chairani
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 43, No 1 (2013): Volume 43, No. 1 January - June 2013
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (213.294 KB) | DOI: 10.32637/orli.v43i1.20

Abstract

Latar belakang: Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terusmeningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Ko-morbiditas rinitis alergi salahsatunya adalah otitis media yang sangat erat hubungannya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius yangberkaitan dengan tekanan telinga tengah. Tujuan: Mengetahui hubungan rinitis alergi dengan disfungsi tubaEustachius dengan menggunakan timpanometri. Metode: Satu studi kasus-kontrol. Disfungsi tuba ditentukandengan pemeriksaan timpanometri (MEP negatif/<-25 daPa) dan hasil tes fungsi tuba (ETF) yang tidak baik.Analisis hasil dengan uji Chi-square dan regresi logistik. Hasil: Penelitian ini melibatkan 60 sampel. Tipetimpanogram terbanyak pada kedua kelompok yaitu tipe A, dimana kelompok RA tipe A sebesar 73,3% (rerataMEP -40,8 daPa), tipe As 10%, tipe Ad dan tipe B masing-masing 3,3%, tipe C 10%. Kelompok kontrol tipe Asejumlah 93,3% dan tipe As 6,7%. Pada kelompok kasus 83,3% hasil tes fungsi tuba abnormal dan 16,7%normal, sedangkan kelompok kontrol yaitu 93,3% normal dan 6,7% abnormal. Uji chi-square menunjukkanperbedaan yang signifikan antara klasifikasi RA dan disfungsi tuba Eustachius (p=0,006) dan perbedaan yangsignifikan antara jenis alergen dan disfungsi tuba Eustachius (p=0,041). Hasil uji multivariat terdapat bahwa tiperinitis alergi berpengaruh tiga kali lebih besar terhadap disfungsi tuba Eustachius (OR 2,9; 95% IK: 1,52-241,90dan nilai p=0,022) sedangkan jenis alergen dua kali lebih berpengaruh terhadap disfungsi tuba dengan OR 2,2;95% IK: 0,01-7,31 dan nilai p=0,295. Kesimpulan: Rinitis alergi memiliki kemungkinan 3 kali lebih seringmengalami disfungsi tuba Eustachius dari pada kelompok kontrol OR:2,5 (95% CI 2,36-2,99) P=0,000.Kata kunci: rinitis alergi, disfungsi tuba Eustachius, rerata tekanan telinga.ABSTRACTBackground: Allergic rhinitis is a global health problem with increasing prevalence and can have impacton the quality of life of sufferers. One of co-morbidity of allergic rhinitis is otitis media which is closely relatedto Eustachian tube dysfunction, associated with middle ear pressure. Purpose: To determine the relationshipbetween allergic rhinitis and Eustachian tube dysfunction, using tympanometry. Methods: A case-control study.Tubal dysfunction was determined with tympanometry (MEP negative / <-25 Dapa) and tubal function test resultwas not good (≤15 daPa). Chi-square test and logistic regression analysis used for data analysis. Results: Therewere 60 samples. The most common tympanogram type in both groups were type A, which AR group was 73.3%(mean -40.8 daPa MEP), type As 10%, type ad and type B respectively 3.3%, type C 10.0% and control groupstype A 93.3%, type As 6.7%. In AR group, 83.3% showed abnormal tubal function and 16.7% was normal. As incontrol group, 93.3% was normal and 6.7% was abnormal. Chi-square test showed a significant differencebetween AR classification and Eustachian tube dysfunction (p = 0.006), and also between type of allergens andEustachian tube dysfunction (p= 0.0041). Multivariate test revealed AR classification contributed to Eustachiantube dysfunction OR:2.9 (95% CI 1.52-241.90) p=0.022, not between type of allergens and Eustachian tubedysfunction OR:2.2 (95% CI 0.01-7.31) p=0.295. Conclusion: Allergic rhinitis contributes three times higher toEustachian tube dysfunction than the control group. OR: 2.5 (95% CI 2.36-2.99) p= 0.000.Keywords: allergic rhinitis, Eustachian tube dysfunction, Mean Ear Pressure.
Biofilm bakteri pada penderita rinosinusitis kronis: laporan seri kasus berbasis bukti Silvia, S; Munir, Delfitri; Rambe, Andrina Yunita Murni; Simanjuntak, Amran; Chrestella, Jessy; Ashar, Taufik
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 2 (2017): Volume 47, No. 2 July - December 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.162 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i2.227

Abstract

Latar belakang: Rinosinusitis kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada bagian telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Melalui berbagai macam teknik pencitraan, biofilm dijumpai pada mukosa sinonasal dari pasien rinosinusitis kronis. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa biofilm adalah penyebab yang umum dari infeksi persisten kronis. Peranan biofilm pada penderita rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis pada penyakit tersebut. Ketersediaan pewarnaan hematoksilin-eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktik klinis. Tujuan: Mempresentasikan ekspresi biofilm bakteri pada penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional. Kasus: Sebanyak 33 pasien rinosinusitis kronis menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di beberapa rumah sakit di Sumatera Utara selama bulan Januari-Desember 2016. Prevalensi biofilm didapati pada 22 pasien (66,7%) penderita rinosinusitis kronis. Pada penderita rinosinusitis kronis dengan biofilm positif dijumpai jenis kelamin pria lebih banyak, umur lebih tua, lama gejala lebih singkat, keberadaan polip lebih sering, dan keluhan hidung tersumbat lebih sering. Metode: Pencarian literatur melalui Pubmed dengan kata kunci: chronic rhinosinusitis and biofilm. Setelah melalui proses skrining didapati 2 literatur yang dianalisis. Hasil: Penatalaksanaan rinosinusitis kronis dengan medikamentosa, meliputi pemberian antibiotik, dekongestan, kortikosteroid dan mukolitik disertai terapi tambahan irigasi hidung, serta pembedahan. Bila dijumpai biofilm, maka regimen pemberian antibiotik memakai protocol Marshall. Kesimpulan: Prevalensi biofilm pada penderita rinosinusitis kronis cukup tinggi, pemeriksaan biofilm dapat dipertimbangkan pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional. Kata kunci: Biofilm, rinosinusitis kronis, hematoksilin-eosin, bedah sinus endoskopi fungsional ABSTRACT Background: Chronic rhinosinusitis is a disease that often found in otorhinolaryngology. Its pathogenesis is not fully understood. Using variety techniques, biofilms have been found in the mucosa of chronic rhinosinusitis patients. Some researchers have suggested that biofilm is a common cause of chronic persistent infection. The role of biofilms in patients with chronic rhinosinusitis can help explain the clinical manifestations of the disease. The extensive availability of hematoxylin-eosin staining in clinical pathology laboratories makes it a very practical method for detecting biofilms in clinical practice. Purpose: To present bacterial biofilm expression in chronic rhinosinusitis patients who had underwent functional endoscopic sinus surgery. Cases:About 33 chronic rhinosinusitis patients who had underwent functional endoscopic sinus surgery in several hospitals in North Sumatera during January-December 2016.Biofilms were found in 22 (66.7%) patients with chronic rhinosinusitis. Chronic rhinosinusitis patients with positive biofilms found mostly male, older in age, shorter duration of symptoms, more frequent polyps, and more frequent nasal congestion complaints. Method: Literature study was conducted through Pubmed with keywords chronic rhinosinusitis and biofilm. After screening process, we obtained two articles that were analyzed based on the critical appraisal. Result: Management of chronic rhinosinusitiswas medical treatment with antibiotic, decongestant, corticosteroid and mucolytic, accompanied by additional nasal irrigation therapy, and surgery. If biofilm was found, antibiotic regimen given using Marshal protocol. Conclusion: The prevalence of biofilms in patients with chronic rhinosinusitis was quite high. Biofilm examination should be considered in patients with chronic rhinosinusitis who undergo functional endoscopic sinus surgery. Keywords: Biofilm, chronic rhinosinusitis, hematoxylin-eosin, fungsional endoscopic sinus surgery
Proporsi karakteristik penderita rinosinusitis kronis dengan kultur jamur positif Siska Indriany; Delfitri Munir; Andrina Yunita Murni Rambe; Adlin Adnan; Rina Yunita; Sorimuda Sarumpaet
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 1 (2016): Volume 46, No. 1 January - June 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (394.737 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i1.144

Abstract

Latar belakang: Rinosinusitis dengan infeksi jamur atau disebut juga rinosinusitis jamur adalahinflamasi mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh infeksi jamur. Gejala klinik rinosinusitis jamurmirip dengan rinosinusitis kronis. Apabila rinosinusitis tidak mengalami perbaikan sesudah terapimedikamentosa maksimal, perlu dipikirkan kemungkinan infeksi jamur.Tujuan: Mengetahui proporsikarakteristik penderita rinosinusitis kronis dengan kultur jamur positif.Metode: Penelitian observasionaldeskriptif terhadap 74 kasus rinosinusitis kronis tahun 2013-2015.Hasil: Dari 74 kasus rinosinusitis kronisyang dilakukan tindakan bedah sinus endoskopi fungsional, terdapat 30 positif jamur (40,5%). Dari 30kasus rinosinusitis dengan kultur jamur positif, 60% pada umur 20-40 tahun, 53,3% laki-laki, keluhanutama hidung tersumbat (66,6%). Hasil kultur 50% Aspergillus fumigatus. Uji statistik Fisher Exact Testp>0,05 tidak terdapat perbedaan hasil kultur jamur berdasarkan umur dan jenis kelamin pada penderitarinosinusitis kronis.Kesimpulan: Pada laporan ini penderita rinosinusitis kronis dengan kultur jamurpositif tahun 2013-2015 sebanyak 30 kasus. Rinosinusitis kronis dengan kultur jamur positif terjadi lebihbanyak pada laki-laki dengan rentang usia 20-40 tahun dan keluhan yang ditemukan hampir sama denganrinosinusitis kronis. Beberapa jenis jamur ditemukan pada hasil kultur, tetapi yang terbanyak Aspergilusfumigatus. Secara statistik tidak didapat perbedaan hasil kultur jamur berdasarkan umur dan jenis kelaminpada penderita rinosinusitis kronis. Pemberian antijamur tidak dapat diberikan pada rinosinusitis kronisdengan kultur jamur positif, karena antijamur hanya diindikasikan pada rinosinusitis jamur invasif. Kata kunci: Rinosinusitis kronis, kultur jamur positif, rinosinusitis jamur invasif ABSTRACTBackground: Fungal infection in paranasal sinuses were mostly undetected. The clinical symptomsof fungal rhinosinusitis were very similar to bacterial chronic rhinosinusitis. When maximal medicaltherapy remained unsuccessful, we must consider the possibility of fungal infection. Objective: To findout the characteristic proportion of positive fungal cultures in chronic rhinosinusitis patients. Methods:Descriptive observational study in 74 cases of chronic rhinosinusitis between 2013-2015. Results: From 74cases of chronic rhinosinusitis who underwent FESS, there were 30 positive fungal cultures (40,5%). Fromthese 30 cases, 60% were between 20-40 years old, 53,3% males, with nasal blockage (66,6%) and facialpain (16,7%) as the main complaints. Result of the cultures were 50% Aspergillus fumigatus. StatisticalFisher Exact Test p>0.05 showed that there were no differences in the results of fungal culture based onthe age and sex of patients with chronic rhinosinusitis. Conclusion: In our study, positive fungal culturein chronic rhinosinusitis cases occurred more frequently in 20-40 years of age males, and the clinicalcomplaints were similar to chronic rhinosinusitis. Several types of fungus were found on culture results,mostly were Aspergillus fumigatus. Statistically there were no differences of fungal culture based on ageand sex in chronic rhinosinusitis patients. Antifungal could not be prescribed in chronic rhinosinusitiswith positive fungal culture only. It is indicated only for invasive fungal rhinosinusitis. Keywords: Chronic rhinosinusitis, positive fungal culture, invasive fungal rhinosinusitis