Articles
PENERAPAN VONIS REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA (Study Kasus Pengadilan Negeri Denpasar Nomor. 304/Pid.Sus/2016/PN.Dps, Tentang Tindak Pidana Narkotika)
Ni Ketut Arie Setiawati;
A.A Gde Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 06, No. 02, April 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian yang berjudul Penerapan Vonis Rehabilitasi Bagi Pecandu Narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomer 304/Pid.Sus/2016/PN.Dps Tentang Tindak Pidana Narkotika, adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana penerapan vonis rehabilitasi bagi pecandu narkotika dan mengetahui apa saja yang menjadi dasar hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 304/Pid.Sus/2016/PN.Dps Dalam penelitian ini ditemukan bahwa penerapan pemidanaan berupa vonis rehabilitasi bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki para pecandu narkotika dari ketergantungan narkotika. Selain itu keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 menjadi suatu landasan hukum bagi Hakim dalam memberikan vonis rehabilitasi bagi pecandu narkotika.
PERANAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI TINGKAT PERADILAN PERTAMA DITINJAU DARI PERMA NO. 1 TAHUN 2016
Rozi Maulana;
A. A. Gede Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 07, No. 01, Jan 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai pihak netral yang tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan dan ia bekerja untuk membantu menyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak demi memperoleh kesepakatan akhir yang bersifat win-win solution. Mediasi merupakan proses penyelesaiaan sengketa di awal persidangan yang wajib ditempuh oleh para pihak yang bersengketa yang tujuannya untuk mempercepat, menekan biaya agar lebih ringan dan untuk menghindari penumpukan perkara di pengadilan serta mediasi tujuan lainnya yaitu untuk memberi akses yang luas bagi para pencari keadilan. Tidak ditempuhnya proses mediasi pada tingkat peradilan pertama maka mengakibatkan putusan dinyatakan batal demi hukum.
ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS.)
Ida Ayu Vera Prasetya;
A. A. Gede Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 05, No. 02, Juni 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan sehingga menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan bukan Pasal 287 ayat (1) KUHP. Makalah ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan perbandingan terhadap undang-undang.
KAJIAN TEORITIS TERHADAP KEDUDUKAN TERGUGAT II INTERVENSI DALAM SENGKETA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Ni Luh Mahisa Mahardini;
Anak Agung Gde Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 07, No. 05, November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN) menjadi salah satu peradilan yang ada di Indonesia. Warga Negara atau masyarakat dapat mengajukan gugatan kepada PTUN apabila ada Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha yang merugikan kepentingan warga negaranya. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua yakni Pihak Penggugat dan Tergugat. Dalam poses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara juga dikenal istilah pihak lainnya yaitu pihak ketiga yang dimungkinkan untuk ikut serta dalam pemeriksaan sengketa yang sedang berjalan antara penggugat dan tergugat dengan cara mengajukan gugatan intervensi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara teoritis terhadap kedudukan pihak tergugat II intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara. Jenis Penelitian hukum yang dilakukan adalah menggunakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji norma didalam hukum positif terkait dengan sengketa Tata Usaha Negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan masuknya Pihak Tergugat II Intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara dan Kedudukan Tergugat II Intervensi dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara apabila dikaitkan dengan asas Erga Omnes adalah tidak tepat apabila seseorang yang bukan berkedudukan sebagai “bestuursorganen” atau organ pemerintah didudukkan sebagai Tergugat II Intervensi dalam sengketa yang sedang berjalan. Kata Kunci : Kedudukan, Tergugat II Intervensi, Hukum Acara, PTUN.
ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN E-MAIL YANG BERUPA AKTA
I Gusti Ayu Mirah Kristina Dewi;
Anak Agung Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 01, No. 03, Juli 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
The sophistication of Internet technological can through the boundaries of time anddistance, so the physical boundaries of the state is no longer a barrier to communicationand interaction of the various interests of the community. The ability of the Internet haschanged the way of thinking, interacting and act that also impacts the law. The law isusually based on something real (physical) but the Internet has changed the real thing intosomething that is electronically, like send a letter via e-mail. This means it requires a broadunderstanding of the evidence in a civil case and to ensure the certainty of civil law Indonesia.
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI
Josi Dedi Gultom;
A. A. Gde Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 01, No. 03, Juli 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Clemency is an effort that may be filed by death row inmate to the President to ask for forgiveness or reduction of sentence to the President in order to avoid the implementation of the death penalty. In other words clemency was sentenced to death early efforts to preserve his life. By granting clemency to death row inmate is President authority as stipulated in the 1945 Constitution Article 14 paragraph (1) and the Act No. 5 of 2010 on the Amendment to the Law No. 22 Year 2002 on clemency.
PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha;
Anak Agung Gede Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 04, No. 01, Februari 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
This article discusses the role of judges in the application of the reversal of the burden of proof in proceedings of money laundering . How the role of judges in the application of reversal of the burden of proof in proceedings of money laundering . By using normative research methods , showed that the judge ordered the defendant in order to prove that the assets associated with the case not from or related to the crime referred to in article 2, paragraph 1 of Law No. 8 of 2010 on Money Laundering.
PEMIDANAAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DITINJAU DARI RESTORATIVE JUSTICE
Anak Agung Gede Ari Paramartha;
Anak Agung Gede Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 07, No. 01, Jan 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tulisan ini membahas mengenai pemidanaan anak yang melakukan tindak pidana ditinjau dari restorative justice yang digunakan pada sistem peradilan anak sebagai pelaku berbeda dengan sistem peradilan pidana biasa. Hal ini dikarenakan anak masih memiliki masa depan yang panjang. Selain itu juga, tulisan ini mengkaji mengenai permasalahan hukum yang terjadi pada suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan erat dengan perlindungan dan sistem peradilan pidana terhadap anak. Dimana sistem peradilan pidana anak mengenal adanya keadilan restoratif dan sistem diversi. Sehingga, terdapat perbedaan mendasar antara sistem peradilan pidana dan sistem peradilan pidana anak apabila ditinjau dari perspektif anak sebagai pelaku.
ANALISIS SAKSI ADAT/KEWAJIBAN ADAT MEPRAYASCITTA SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN DALAM RUU KUHP DI INDONESIA
Anak Agung Anisca Primadwiyani;
A.A. Gde Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 07, No. 02, Maret 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Judul dari jurnal ini adalah Analisis Sanksi Adat/Kewajiban Adat Maprayascitta Sebagai Pidana Tambahan Ditinjau dari Tujuan Pemidanaan Dalam RUU KUHP di Indonesia. Maprayascitta merupakan sanksi adat/kewajiban yang masih berlaku di Bali. Adanya pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dalam RUU KUHP membuka peluang pada hukum adat untuk masuk dalam lingkup hukum nasional. Permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah sanksi adat/kewajiban adat maprayascitta sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP serta apakah sanksi adat/kewajiban adat maprayascitta sesuai jika dijadikan sebagai pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat di Bali. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Analisa yang didapatkan yaitu sanksi adat/kewajiban adat maprayascitta merupakan suatu tindakan pemulihan keseimbangan dan menimbulkan rasa damai pada masyarakat. Maka sanksi adat/kewajiban adat maprayascitta sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP serta sanksi adat/kewajiban adat maprayascitta sesuai jika dijadikan sebagai pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat di Bali.Kata Kunci : Sanksi Adat/Kewajiban Adat, Maprayascitta, Tujuan Pemidanaan
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 Terhadap Hutan Adat dan Eksistensi Masyarakat Adat
Ni Luh Made Salya Nirmala Pravita;
A.A Gede Oka Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 4 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KW.2021.v10.i04.p05
Tujuan dari studi ini untuk mengetahui dan menganalisis tentang status hutan adat setelah keluarnya Putusan MK Nomor 35/2012 dan implikasi putusan tersebut terhadap hutan adat dan eksistensi masyarakat hukum adat. Studi ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa Putusan MK Nomor 35/2012 telah mengubah status hutan adat dari utan negara menjadi hutan hak dan mengkehendaki bahwa hutan adat haruslah dipahami sebagai hutan yang berada di kawasan MHA. UU Kehutanan yang memasukan hutan adat kedalam status hutan negara dianggap telah menggerus hak masyarakat hukum adat atas hutan adat yang merupakan bagian dari tanah ulayatnya. Dibentuknya beberapa peraturan-peraturan yang mengatur tentang hutan adat yang salah satunya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 312/MENLHK/SETJEN/PSKL.1/4/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat dan pembentukan peraturan daerah yang mengatur tentang pengukuhan dan hapusnya MHA sebagai Implikasi dari keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian atas wilayah hutan adat dan keberadaan MHA. Kata kunci: Hutan adat, Masyarakat Hukum Adat, Putusan Mahakamah Konstitusi. ABSTRACT The purpose of this study is to find out and analyze the status of customary forests after the issuance of the Constitutional Court Decision Number 35/2012 and the implications of this decision on customary forests and the existence of indigenous peoples. This study uses a normative research method with a statutory approach (statute approach) and a conceptual approach (conceptual approach). Based on the results of this study, it is known that the Constitutional Court Decision Number 35/2012 has changed the status of customary forests from state-owned orangutans to private forests and requires that customary forests must be understood as a forest within the territory of indigenous people. The Forestry Law, which enters customary forest into state forest status, is deemed to have eroded the rights of indigenous people to customary forests which are part of their customary land. The formation of several regulations governing customary forests, one of which is the Decree of the Minister of Environment and Forestry Number SK. 312 / MENLHK / SETJEN / PSKL.1 / 4/2019 concerning Maps of Customary Forests and Indigenous Areas of Indigenous Forests and the establishment of regional regulations governing the inauguration and removal of MHA as an implication of the issuance of the Constitutional Court Decision to provide certainty over customary forest areas and the existence of indigenous people. Keywords: customary forests, Indigenous Peoples, Constitutional Court Decision.