Timbo Mangaranap Sirait
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Perseroan Perorangan yang Melakukan Merger Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Undang-Undang Cipta Kerja M. Yogi Arie Dewanto; Timbo Mangaranap Sirait
BINAMULIA HUKUM Vol 11 No 1 (2022): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v11i1.602

Abstract

Menyongsong disrupsi ekonomi dan Revolusi Industri 4.0 pemerintah mengantisipasi dengan lahirnya bentuk badan hukum baru Perseroan Perorangan melalui Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat dimiliki oleh satu orang pemegang saham. Tujuan penelitian mencari jawaban di mana dengan kepemilikan satu orang, bagaimana jika Perseroan Perorangan melakukan merger setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai unconstitutionally condition. Metode penelitian dilakukan dengan yuridis normatif, terdapat hasil pembahasan dan disimpulkan bahwa badan usaha yang dikenal dalam ketentuan sebelumnya adalah Perseroan Terbatas (sebagai badan usaha yang didirikan minimal 2 orang) karena itu Perseroan Perorangan merupakan bentuk badan usaha yang sangat baru di Indonesia, namun karena pemerintah ingin memberikan kemudahan berusaha sehingga dimungkinkan dibentuk PT Perorangan terutama bagi sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan kriteria tertentu yang harus dipenuhi termasuk ketika merger tetap berlaku walau telah terbit Putusan MK dengan syarat pemerintah sesegera mungkin melalukan perbaikan substansi materiil dan syarat formil pembentukan perundang-undangan atas Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
Kesalahan Penerapan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Kasus Pencabulan Anak (Studi Kasus Putusan MA Nomor 195PK/Pid.Sus/2017) Winas Halim; Timbo Mangaranap Sirait
JURNAL HUKUM STAATRECHTS Vol 5, No 1 (2022): JURNAL STAATRECHTS
Publisher : Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52447/sr.v4i2.6095

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dasar penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana pencabulan pada anak pada putusan MA perkara Nomor 195PK/Pid.Sus/2017. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan cara membaca dokumen putusan dan peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang berhubungan dengan tindak pidana pencabulan pada anak yang penulis lakukan dalam penelitian yang tertuang dalam skripsi. Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data yang tersedia dipelajari dan dianalisa secara kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan sebagai berikut, (1) putusan MA Nomor 195PK/Pid.Sus/2017 telah salah menerapkan dakwaan pada Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (dakwaan ke 3) yang seharusnya menerapkan dakwaan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (dakwaan ke 1), karena Pasal 63 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan : ayat (1) jika suatu perbuatan pidana masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat; ayat (2) jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus itulah yang diterapkan. (2) Majelis Hakim dalam persidangan terlalu fokus ke Dakwaan Alternatif Ketiga (Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dengan mengabaikan dakwaan lainnya (Dakwaan Alternatif Kesatu / Lex Specialis) pada saat semua unsur pada dakwaan alternative ketiga terpenuhi, sehingga selain tidak menjalankan Pasal 63 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Majelis Hakim juga mengabaikan peraturan perundang-undangan dalam hal ini Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang dibuat oleh Legislatif dan disahkan serta diundangkan oleh negara dengan tujuan memperberat sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana pencabulan pada anak sekalian sebagai upaya untuk menekan angka tindak pidana pencabulan pada anak.Kata Kunci : Tindak Pidana Pencabulan Pada Anak, Aturan Pidana
Perseroan Perorangan yang Melakukan Merger Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Undang-Undang Cipta Kerja M. Yogi Arie Dewanto; Timbo Mangaranap Sirait
Binamulia Hukum Vol. 11 No. 1 (2022): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v11i1.303

Abstract

Menyongsong disrupsi ekonomi dan Revolusi Industri 4.0 pemerintah mengantisipasi dengan lahirnya bentuk badan hukum baru Perseroan Perorangan melalui Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat dimiliki oleh satu orang pemegang saham. Tujuan penelitian mencari jawaban di mana dengan kepemilikan satu orang, bagaimana jika Perseroan Perorangan melakukan merger setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai unconstitutionally condition. Metode penelitian dilakukan dengan yuridis normatif, terdapat hasil pembahasan dan disimpulkan bahwa badan usaha yang dikenal dalam ketentuan sebelumnya adalah Perseroan Terbatas (sebagai badan usaha yang didirikan minimal 2 orang) karena itu Perseroan Perorangan merupakan bentuk badan usaha yang sangat baru di Indonesia, namun karena pemerintah ingin memberikan kemudahan berusaha sehingga dimungkinkan dibentuk PT Perorangan terutama bagi sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan kriteria tertentu yang harus dipenuhi termasuk ketika merger tetap berlaku walau telah terbit Putusan MK dengan syarat pemerintah sesegera mungkin melalukan perbaikan substansi materiil dan syarat formil pembentukan perundang-undangan atas Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
Electronic and Information Technology Law as a Control Tool and Legal Umbrella for Communities and Business Actors in Facing the Demographic Bonus 2030 Dave Advitama; Tuti Widyaningrum; Rio Christiawan; Timbo Mangaranap Sirait
JURNAL HUKUM SEHASEN Vol 10 No 2 (2024): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Dehasen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37676/jhs.v10i2.6536

Abstract

In the year 2030, the number of productive age groups will double, and this demographic bonus presents an opportunity for Indonesia to enhance productivity as it enters the digital transformation era. In its implementation, the demographic bonus in the era of digitalization and information technology, while offering positive effects on productivity, also carries negative consequences. These include an increase in criminal activities facilitated by the use of information and electronic transaction technologies, and due to the ease and sophistication of available technology, these crimes can transcend national boundaries. To address these challenges, efforts in enforcement and prevention, particularly in criminal law, need to be undertaken while still considering the norms prevailing in society. The existence of Law No. 11 of 2008 Concerning Electronic Information and Transactions and Republic of Indonesia Law No. 19 of 2016 Concerning Amendments to Law No. 11 of 2008 Concerning Electronic Information and Transactions ('UU ITE') is expected to serve as a legal framework for society and business actors, thereby maximizing the productivity of the demographic bonus and achieving societal well-being.