Isni Maulina Sukmara, Isni Maulina
Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Media Dermato-Venereologica Indonesiana

VERUKA VULGARIS LUAS AKIBAT PENYALAHGUNAAN KORTIKOSTEROID TOPIKAL PADA IBU HAMIL: SEBUAH LAPORAN KASUS Sukmara, Isni Maulina; Wibawa, Larisa Paramitha; Rakasiwi Ningrum, Rizki Irianti; Kusumaningrat, I Gst. Ayu Mirah
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 1 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i1.521

Abstract

Pendahuluan: Veruka vulgaris merupakan lesi jinak akibat infeksi human papilloma virus (HPV) yang perjalanan klinisnya dipengaruhi oleh sistem imun. Kondisi imunosupresi dapat mencetuskan reaktivasi infeksi HPV laten dan meningkatkan derajat keparahan penyakit. Kasus: Seorang wanita hamil berusia 40 tahun mengeluhkan papul-plak hiperkeratotik eritematosa pada pipi dan hidung sejak dua bulan yang diperberat dengan penggunaan kortikosteroid topikal potensi tinggi secara oklusi selama satu bulan. Pemeriksaan dermoskopi didapatkan gambaran densely packed papillae, central red dotted vessels, whitish halo, dan dark red hemorrhagic crust. Pasien didiagnosis veruka vulgaris, disarankan untuk menghentikan penggunaan kortikosteroid topikal dan diberikan pelembap krim ambiphilic hipoalergenik. Dalam pemantauan, lesi mengalami perbaikan dan menghilang spontan dalam waktu 1,5 bulan. Diskusi: Diagnosis veruka vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dermoskopi. Perubahan sistem imun yang dialami oleh wanita hamil serta penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan imunosupresi lokal pada kulit sehingga meningkatkan risiko veruka vulgaris. Veruka vulgaris dapat mengalami regresi spontan pada pasien imunokompeten. Penghentian kortikosteroid topikal dapat membantu menghentikan progresivitas penyakit. Kesimpulan: Kami melaporkan satu kasus veruka vulgaris yang diprovokasi oleh kortikosteroid topikal potensi tinggi jangka panjang. Kasus ini menekankan pentingnya penggunaan kortikosteroid topikal secara rasional disertai pemantauan ketat terutama pada ibu hamil agar efek samping terapi dapat dihindari. 
NEVUS LIPOMATOSUS SUPERFISIALIS MULTIPEL DENGAN KLINIS SERUPA FIBROMA MOLE Irianti Rakasiwi Ningrum, Rizki; Krisanti, Roro Inge Ade; Sirait, Sondang P; Sukmara, Isni Maulina; Zaneta, Nabila
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 3 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i3.512

Abstract

Pendahuluan: Nevus lipomatosus superfisialis merupakan lesi hamartoma kulit yang jarang ditemui, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Gambaran klinisnya dapat menyerupai tumor jinak lain, salah satunya adalah fibroma mole. Laporan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran klinisi terhadap variasi klinis nevus lipomatosus superfisialis. Kasus: Seorang perempuan berusia 63 tahun, datang dengan keluhan benjolan bertangkai sewarna kulit multipel di punggung atas tanpa keluhan gatal maupun nyeri. Pemeriksaan dermoskopi didapatkan gambaran irreguler epidermal projections dengan yellowish structureless area pada penekanan. Pasien dilakukan pemeriksaan histopatologi dan didapatkan gambaran sesuai dengan nevus lipomatosus superfisialis. Diskusi: Laporan kasus ini menunjukkan kasus menyerupai fibroma mole secara klinis, namun pemeriksaan dermoskopi dan histopatologi memberikan petunjuk penting. Gambaran yellowish structureless area pada dermoskopi mengarah pada keberadaan adiposit dermis yang khas pada nevus lipomatosus superfisialis. Kesimpulan: Nevus lipomatosus superfisialis merupakan lesi hamartomatosa kulit yang jarang dan sering salah didiagnosis sebagai fibroma mole. Gambaran dermoskopi berupa area kuning tanpa struktur berkorelasi dengan adanya adiposit dermis, dan bila dikombinasikan dengan pemeriksaan histopatologi menjadi sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Kasus ini menekankan pentingnya menggabungkan temuan klinis dan pemeriksaan diagnostik untuk menghindari salah diagnosis.
PENDEKATAN KONSERVATIF PADA SINDROM BART: SEBUAH LAPORAN KASUS Sukmara, Isni Maulina; Agustin, Triana; Astriningrum, Rinadewi
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 3 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i3.544

Abstract

Pendahuluan: Sindrom Bart (SB), dikenal sebagai aplasia kutis kongenita (AKK) tipe VI, adalah kelainan genetik yang jarang ditemui, ditandai dengan AKK, pembentukan bula pada kulit dan selaput lendir, serta deformitas kuku. Pilihan pengobatan meliputi intervensi bedah terutama pada lesi yang luas. Pendekatan terapi secara konservatif berperan penting dalam mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut dan mendukung proses penyembuhan. Kasus: Seorang bayi perempuan berusia 4 hari dibawa ibunya berobat dengan luka pada kedua tungkai bawah sejak lahir. Riwayat serupa ditemukan pada ayah pasien. Pasien lahir melalui persalinan pervaginam tanpa komplikasi. Pemeriksaan fisis menunjukkan kehilangan kulit dengan erosi-ekskoriasi pada kedua tungkai bawah, disertai krusta merah-kekuningan, skar hipopigmentasi, dan milia. Luka dirawat dengan balutan antibakteri, busa silikon, dan perban elastis yang diganti setiap tiga hari. Dalam dua bulan, luka menyembuh namun terjadi pembentukan bula pada kaki dan mukosa mulut hingga usia enam bulan. Berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis, pasien didiagnosis sebagai SB. Diskusi: Diagnosis SB terutama ditegakkan berdasarkan temuan klinis. Epitelisasi cepat pada lesi AKK di ekstremitas telah dilaporkan pada beberapa kasus. Terapi konservatif efektif dalam mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut dan mendukung penyembuhan. Kesimpulan: Laporan kasus ini menyoroti keberhasilan penggunaan terapi konservatif dalam menangani SB, sehingga tidak memerlukan intervensi bedah.