Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Kisi Berkelanjutan: Sains Medis dan Kesehatan

[Update] Frekuensi seksual berisiko pada ibu hamil meningkatkan risiko abortus: Penelitian observasional Nasrawati, Nasrawati; Yulita, Hendra; Aisa, Sitti
Kisi Berkelanjutan: Sains Medis dan Kesehatan Vol 1 No 4 (2024): Oktober-Desember
Publisher : PT Karya Inovasi Berkelanjutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan dan Metode  Abortus, didefinisikan sebagai kelahiran janin pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, menjadi salah satu perhatian utama kesehatan ibu hamil. Beberapa faktor predisposisi, termasuk maternal, janin, dan eksternal, dapat meningkatkan risiko abortus. Salah satu faktor yang masih jarang diteliti di Indonesia adalah hubungan frekuensi seksual selama kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan frekuensi seksual pada ibu abortus dengan kejadian abortus. Penelitian observasional ini dilakukan di RSUD Kardinah Kota Tegal dari November 2019 hingga Juli 2020 dengan desain case-control. Sampel sebanyak 112 responden terdiri dari 56 ibu yang mengalami abortus (kasus) dan 56 ibu yang tidak mengalami abortus (kontrol) dipilih menggunakan metode proporsional. Data dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur dan rekam medis. Frekuensi seksual dikategorikan sebagai berisiko (≥1 kali per minggu) dan tidak berisiko (<1 kali per minggu atau ≥1/3 kali per bulan). Analisis dilakukan dengan uji chi-square dan Odds Ratio (OR) pada tingkat signifikansi p<0,05.  Hasil  Hasil menunjukkan bahwa 55,4% responden mengalami abortus, dan 34,8% memiliki frekuensi seksual berisiko. Uji chi-square menunjukkan hubungan signifikan antara frekuensi seksual berisiko dan kejadian abortus (p=0,000). Ibu hamil dengan frekuensi seksual berisiko memiliki kemungkinan 11,96 kali lebih besar mengalami abortus dibandingkan yang tidak berisiko (OR=11,96; 95% CI=4,397-32,509).  Kesimpulan dan Saran  Frekuensi seksual yang berisiko berhubungan signifikan dengan terjadinya abortus. Frekuensi seksual yang berisiko dapat meningkatkan kemungkinan abortus 11,96 kali dibandingkan pada hubungan seksual dengan frekuensi tidak berisiko. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan predisposisi abortus dan frekuensi seksual ibu hamil. Edukasi dalam pelayanan antenatal perlu mempertimbangkan topik terkait aktivitas seksual selama kehamilan. 
Faktor ibu dalam pemenuhan gizi Balita: Studi pola asuh dan status pekerjaan ibu di wilayah kerja Puskesmas Poasia, Kota Kendari Sarita, Sultina; Halijah, Halijah; Saraswati, Endah; Aisa, Sitti; Longulo, Olkamien Jesdika
Kisi Berkelanjutan: Sains Medis dan Kesehatan Vol 1 No 4 (2024): Oktober-Desember
Publisher : PT Karya Inovasi Berkelanjutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan dan Metode Gizi merupakan komponen esensial dalam pertumbuhan fisik dankecerdasan anak, khususnya pada Balita usia 24-59 bulan yang rentan mengalami kekurangan gizi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pekerjaan dan pola asuh ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Poasia. Penelitian observasional analitik ini menggunakan desain cross-sectional dengan sampel 54 ibu yang dipilih melalui teknik accidental sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, timbangan injak, dan tabel antropometri, kemudian dianalisis menggunakan uji statistik chi-square. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga (63%) dan berusia 21-30 tahun (87,1%). Sebanyak 72,2%ibu memiliki pola asuh yang baik, dan 68,6% balita memiliki status gizi baik berdasarkan indeks BB/U, sementara 31,5% balita mengalami gizi kurang. Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pekerjaan ibu dan status gizi Balita (p=0,002) serta antara pola asuh ibu dan status gizi Balita (p=0,001). Kesimpulan dan Saran Pola asuh ibu yang baik berkontribusi secara signifikan terhadapstatus gizi balita. Intervensi penelitian lanjutan disarankan untuk mengeksplorasi faktor-faktor lain, seperti pendidikan, akses layanan kesehatan, dan dukungan sosial, guna memperluas pemahaman tentang determinan status gizi Balita. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan program kerja yang berkaitan dengan pelayanan gizi kepada masyarakat.