Kejaksaan Agung menerbitkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice (selanjutnya ditulis Perja No. 15/2020). Berdasarkan aturan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam perkara tertentu, apabila korban dan terdakwa telah sepakat untuk mencapai kesepakatan damai. Adanya Perja Nomor 15 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan sebuah terobosan dalam penyelesaian tindak pidana. Restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam penyelesaian tindak pidana yang saat ini kembali disuarakan di berbagai negara. Melalui pendekatan keadilan restoratif, korban dan pelaku tindak pidana diharapkan dapat mencapai perdamaian dengan mengedepankan win-win solution, serta menekankan agar kerugian korban diganti dan korban memaafkan pelaku kejahatan. Batasan suatu tindak pidana dapat berupa penghentian penuntutan demi hukum dan diselesaikan di luar pengadilan dengan pendekatan keadilan restoratif yang terdiri dari orang atau pelaku menjadi tersangka pertama yang melakukan tindak pidana. Lalu, ada dua syarat mengenai kejahatan tersebut. Pertama, tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Kedua, tindak pidana tersebut dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian akibat tindak pidana tersebut tidak lebih dari 2,5 juta rupiah. Artinya, pada prinsipnya perkara pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Restorative Justice, yang dibatasi hanya pada pelaku yang baru saja melakukan dan bukan merupakan residivis, serta hanya pada jenis tindak pidana ringan tertentu.