Islam merupakan agama yang sangat besar perhatiannya pada institusi keluarga. Hukum Islam ketika membicarakan tentang keluarga begitu detail dan rinci dikupas dan dibicarakan, mulai dari memilih pasangan hidup, tata cara perkawinan, tata cara dan tata karma hubungan suami istri dan lain sebagainya. Salah satu factor penting bagi keabsahan pernikahan dalam hukum islam menurut madzhab Syafi’i adalah adanya wali. Sebagai salah satu syarat sahnya nikah adalah seorang wali, sebab itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan. Seperti diketahui dalam prakteknya, yang mengucapkan “Ijab” adalah pihak perempuan yang di lakulakan oleh seorang wali dan yang mengucapkan ikrar “Qobul” adalah dari pihak pengantin laki-laki, disinilah peranan wali sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon pengantin perempuan. Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun nikah, oleh karena itu Imam Syafi‟i berpendapat bahwa nikah dianggap tidak sah atau batal, apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. Hal itu berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa wali nikah tidak merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah sekalipun tanpa wali. Para fuqaha’ telah mengklasifikasikan wali nikah menjadi beberapa bagian: pertama, ditinjau dari sifat kewaliannya terbagi menjadi wali nasab (wali yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaannya terbagi menjadi wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Ketiga, ditinjau dari kekuasaannya terbagi menjadi wali mujbir dan ghairu mujbir. Menurut pendapat Imam Syafi’i, wali yang paling utama adalah ayah kandung, kemudian kakek dari jalur ayah, kemudian saudara laki-laki se-ayah dan se-ibu, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah, kemudian paman, kemudian anak laki-laki paman berdasarkan urutan ini.