LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen"
:
20 Documents
clear
PENERAPAN ASAS PERADILAN SEDERHANA PADA PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI MANADO
Pasere, Alni
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan peradilan sederhana dalam perkara perdata dan bagaimana penerapan asas peradilan sederhana di Pengadilan Negeri Manado. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan tentang penyelesaian Gugatan Sederhana dalam PERMA No. 2 Tahun 2015 adalah upaya mengintrodusir konsep baru di dalam pelaksanaan asas peradilan sederhana yang mempunyai urgensi baik bagi lembaga peradilan dalam mencegah bertumpuknya berkas-berkas perdata, dan bagi pencari keadilan agar penyelesaian perkara berlangsung cepat. 2. Penerapan penyelesaian Gugatan Sederhana di Pengadilan Negeri Manado sudah berjalan, walaupun banyak di kalangan pencari keadilan yang belum mengetahui ketentuan PERMA tersebut.Kata kunci:Asas peradilan sederhana, perkara perdata
PRAPERADILAN SEBAGAI MEKANISME KONTROL TERHADAP TINDAKAN PENYIDIK DALAM MENETAPKAN TERSANGKA MENURUT PUTUSAN MK NOMOR: 21/PUU-XII/2014
Moningka, Paul Eliezer Tuama
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme penyidik Polri dalam melakukan penetapan status tersangka dan bagaimana alasan Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara yang diajukan terkait dengan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan menurut putusan MK No.21/PUU-XII/2014. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi utama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam proses penetapan status seseorang menjadi tersangka, Polri menjadi lembaga penegak hukum wajib menjunjung tinggi profesionalisme dan hak asasi manusia. syarat mutlak untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka yakni minimal memiliki 2 alat bukti. Pelanggaran terhadap prosedur yang ada dapat dikenai sanksi disiplin dan sanksi pidana. 2. Alasan Mahkamah Konstitusi memutuskan menambah norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan yaitu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Check and balance system diperlukan dalam penegakan hukum di Indonesia, dalam hal ini sesuai judul yang penulis angkat “Praperadilan sebagai mekanisme kontrol tindakan penyidik dalam menetapkan tersangkaâ€. Dimana penyidik Polri juga masih manusia biasa yang dapat melakukan kelalaian baik tidak sengaja maupun disengaja dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Pertimbangan hakim yang paling utama adalah mengenai sesuai prinsip due process of law dalam negara hukum dan yang paling krusial adalah mengenai realisasi penegakan hak asasi manusia pada proses praperadilan sebagai tersangka dalam penyidikan dan pemeriksaan.Kata kunci: Praperadilan, mekanisme control, tindakan penyidik, tersangka.
TINDAK PIDANA RUPIAH PALSU DALAM PASAL 36 DAN PASAL 37 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG
Mintalangi, Rian
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cakupan tindak pidana rupiah palsu dalam Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan bagaimana pengaruh Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 terhadap kejahatan memalsu mata uang atau uang kertas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tindak pidana Rupiah palsu dalam Pasal 36 dan Pasal 37 UU No. 7 Tahun 2011 memiliki cakupan yang luas, mulai dari (1) perbuatan memalsu Rupiah, (2) menyimpan Rupiah palsu, (3) mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah palsu, (4) membawa ke dalam atau ke luar Wilayah Indonesia Rupiah palsu, (5) mengimpor atau mengekspor Rupiah palsu, (6) perbuatan-perbuatan berkenaan dengan alat untuk membuat Rupiah palsu seperti memproduksi dan menyimpan pelat cetak untuk membuat Rupiah palsu, dan (7) perbuatan-perbuatan berkenaan dengan bahan baku Rupiah untuk membuat Rupiah palsu seperti memproduksi dan menyimpan bahan baku Rupiah (kertas untuk membuat Rupiah palsu dan sebagainya). 2. Pengaruh tindak pidana Rupiah palsu dalam Pasal 36 dan Pasal 37 UU No. 7 Tahun 2011 terhadap Buku II Bab X KUHPidana hanyalah sepanjang berkenaan dengan uang atau mata uang Rupiah. Jika terjadi pemalsuan Rupiah atau peredaran Rupiah palsu di Indonesia, maka yang akan diterapkan sekarang adalah ketentuan pidana dalam UU No. 7 Tahun 2011. Tetapi jika yang dipalsu atau diedarkan adalah mata uang asing (baik uang logam maupun uang kertas) maka yang akan diterapkan adalah ketentuan dalam Buku II Bab X KUHPidana karena berada di luar cakupan UU No. 7 Tahun 2011.Kata kunci: Tindak Pidana, Rupiah Palsu.
TINJAUAN YURIDIS PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA MENURUT KUHP
Ponglabba, Chant S. R.
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana unsur-unsur tindak pidana dan bagaimana aspek yuridis penyertaan dalam tindak pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya dijabarkan kepada 2 (dua) macam unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan, sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana. 2. Pada prinsipnya KUHP menganut sistem dapat dipidananya peserta pembantu tidak sama dengan pembuat. Pidana pokok untuk pembantu diancam lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat di dalam Pasal 57 ayat 1 dan ayat 2 KUHP di atas yang menyatakan bahwa maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga, dan apabila kejahatan yang dilakukan diancamkan dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka maksimum pidana pokok untuk pembantu adalah lima belas tahun penjara.Kata kunci: Penyertaan, tindak pidana
PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI
Mangalede, Devit
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hukum mengatur tentang tindak pidana bagi anggota militer yang melakukan disersi dan bagaimana proses penyelesaian terhadap anggota militer yang melakukan disersi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tindak Pidana Desersi merupakan suatu kejahatan yang terjadi dikalangan militer terhadap kedinasannya, dalam pasal 87 KUHPM dapat dilihat bentuk-bentuk desersi yang terdiri dari: desersi murni dapat diketahui dengan cara atau keadaan pada waktu terjadinya desersi seperti: militer yang pergi dengan maksud untuk menarik diri selamanya dari segala bentuk kewajiban kedinasannya, Militer yang pergi dengan maksud menghindari bahaya dalam peperangan, Militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke pihak musuh, Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara tertentu atau kekuasaan tertentu tanpa dibenarkan untuk itu dan juga ketidakhadiran tanpa izin dalam kedinasannya. 2.Mengenai proses penyelesaian tindak pidana militer terhadap anggota militer yang terbukti melakukan desersi adalah wewenang dari peradilan militer untuk mengadilinya serta tahapan-tahapannya berupa penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer atas perintah dari Atasan yang berhak menghukum kemudian berkas penyelidikan diberikan kepada oditur Militer untuk dipelajari, maka oditur militer membuat surat dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan militer, setelah peradilan merasa cukup dengan berkas dari Oditur Militer, maka peradilan militer akan mengadili anggota militer yang didakwakan melakukan desersi.Kata kunci: Penerapan Hukum, Anggota Militer, Desersi
KAJIAN HUKUM EFEKTIFITAS PENERAPAN (ASAS CONTANTE JUSTITIE) ASAS PERADILAN CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN
Rau, Budi
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang asas contante justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan) dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana efektifitas penerapan asas Contante Justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan). Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Keberadaan asas contante justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan) terdapat dalam hukum acara pidana, yaitu terdapat dalam beberapa pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Perumusan tentang proses pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik, yaitu tidak diberikan batasan berapa kali berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum dapat dikembalikan, yang menimbulkan akibat berkas perkara hasil penyidikan yang telah diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum bolak batik terus menerus sehingga berakibat berlarut-larutnya suatu proses dalam acara pidana. 2. Efektifitas penerapan asas contante justitie (asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan) tersebut tidak mempunyai sanksi yang mengikat bagi para pelanggar. Kemudian Pasal 67 KUHAP tidak dapat menjerat pelaku tindak pidana yang telah diputus bebas oleh pengadilan tingkat pertama karena dalam ketentuan Pasal 67 KUHAP tersebut tidak dapat dimintakan banding terhadap pengadilan tingkat banding terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.Kata kunci: Asas Contante Justitie,s Peradilan Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan.
KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP
Syamsuddin, Arwin
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas menurut KUHAP dan bagaimana pertanggungjawaban dan sanksi terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas pada prinsipnya sama dengan proses pemeriksaan pada perkara biasa namun terdapat 2 (dua) perbedaaan dalam hal aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan cara bekerja dari tim yang melakukan penyidikan dan hal ini disebutkan dalam Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa aparat yang berwenang dalam melakukan penyidikan untuk perkara koneksitas terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur penyidik Polri, Polisi Militer dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi, sedangkan cara bekerja tim tetap ini disesuaikan dengan kewenagan yang ada pada masing-masing unsur tim, yaitu tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri sedangkan tersangka pelaku anggota militer diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer dan Oditur Militer. Kemudian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka susunan majelis hakim peradilan koneksitas sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang. apabila diaperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, maka Hakim ketua adalah dari Hakim peradilan Umum sedangkan hakim anggotanya 1 (satu) dari lingkungan peradilan umum dan 1 (satu) dari lingkungan peradilan militer, apabila diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, Hakim Ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota diusulkan oleh Menteri Kehakiman (menteri Hukum dan HAM), dimana untuk hakim anggota dari lingkungan peradilan umum akan diberikan pangkat militer ‘tituler’. 2. Sebagai seorang anggota militer maka dia dianggap mampu untuk mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukannya secara bersama dengan orang sipil, maka penerapan pidana terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas adalah sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan yang diatur dalam Buku II KUHP dan pemidanaannya akan diterapkan sesuai jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan juga sesuai yang diatur dalam Pasal 6 KUHPM.Kata kunci: Anggota Militer, Melakukan Tindak Pidana, Perkara Koneksitas, KUHAPâ€
KEDUDUKAN SAKSI DE AUDITU DALAM PRAKTIK PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA
Wangke, Asprianto
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan saksi De Auditu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bagaimana fungsi keterangan saksi De Auditu dalam sistem pembuktian tindak Pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan alat-alat bukti dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah ditentukan secara limitatif. Artinya, tidak boleh ada alat bukti yang lain selain yang ditentukan oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang ditentukan oleh KUHAP terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hakim terikat dengan alat-alat bukti tersebut, kalaupun hakim menyimpang dari ketentuan KUHAP tersebut, maka berkonsekuensi tidak sahnya alat bukti tersebut, kecuali penggunaan alat bukti diluar ketentuan KUHAP tersebut telah ditentukan lain oleh undang-undang (khusus). Namun setelah dikeluarkannya putusan MK No 65/PUU-VIII/2010 yang berimplikasi pada perluasan makna dari saksi, sehingga saksi de auditu dapat dihadirkan dan di dengar keterangannya oleh hakim di persidangan. 1. Fungsi Keterangan saksi de auditu dalam hukum pembuktian di Indonesia pada prinsipnya dalam hukum Indonesia keterangan saksi de auditu tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti saksi, baik dalam acara perdata maupun dalam acara pidana. Tetapi, secara umum dapat juga dikatakan bahwa keterangan saksi de auditu tersebut sebenarnya dapat menjadi alat bukti langsung (dalam acara perdata) dan alat bukti persangkaan dalam acara perdata atau alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Keterangan saksi de auditu sebenarnya dapat dipakai sebagai alat bukti petunjuk dalam acara pidana atau alat bukti persangkaan dalam acara perdata. Untuk itu, patut dipertimbangkan oleh hakim kapan saatnya keterangan saksi de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk atau persangkaan tersebut. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak memberikan batasan yang cukup jelas mengenai sejauh mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai saksi. Pertimbangan hakim yang diberikan oleh majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan.Kata kunci: Kedudukan Saksi De Auditu, Sistem Peradilan Acara Pidana.
PERANAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA CYBERCRIME
Jacob, Hedriyanto Kusno
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apakah yang merupakah cybercrime yang dapat dipidana di Indonesia dan bagaimana peranan Penyidik dalam penyidikan tindak pidana cybercrime. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Perbuatan-perbuatan cybercrime yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 telah mencakup hampir semua perbuatan yang dipandang sebagai cybercrime oleh para pengguna komputer dan internet, kecuali: 1) perbuatan yang merupakan spam; dan 2) perbuatan yang merupakan cyberterrorism. 2. Peranan Penyidik dalam penyidikan tindak pidana cybercrime yaitu: 1) mempunyai pengetahuan dasar mengenai sarana-sarana Teknologi Informasi dan Komunikasi; dan 2) mengoptimalkan penggunaan ahli untuk memberikan keterangan ahli dalam bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi.Kata kunci: Peranan Penyidik, Tindak Pidana, Cybercrime
TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN SESEORANG YANG BELUM MENIKAH MENURUT KUHP
Saada, Marlisa Frisilia
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk perwujudan delik aborsi menurut KUHP dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku aborsi pemilik kandungan yang belum menikah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan (aborsi) merupakan tindak pidana yang objeknya adalah kandungan. Istilah kandungan dalam konteks tindak pidana ini menunjuk pada pengertian kandungan yang sudah berbentuk manusia maupun kandungan yang belum berbentuk manusia. Perwujudan Delik aborsi didalam KUHP terbagi menjadi empat macam yang diatur dalam pasal yang berbeda, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan sendiri (Pasal 346), pengguguran kandungan yang dilakukan orang lain tanpa persetujuan wanita pemilik kandungan (Pasal 347), pengguguran kandungan yang dilakukan orang lain dengan persetujuan wanita pemilik kandungan (Pasal 348), dan pengguguran kandungan oleh mereka yang mempunyai kualitas tertentu, yang dilakukan atas persetujuan wanita pemilik kandungan tersebut (Pasal 349). 2. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku aborsi yang belum menikah pada dasarnya sama dengan pertanggungjawaban pidana pada jenis delik pidana umum yang lainnya. KUHP tidak menjelaskan dan memberikan pembedaan perihal pelaku aborsi baik yang sudah menikah ataupun belum. Intinya adalah selama subjek atau pelaku delik tersebut mampu bertanggungjawab dan padanya tidak terdapat alasan pemaaf, maka hukuman atau pidana dapat ditimpakan kepadananya. Ini juga merupakan bagian dari setiap rumusan unsur delik yang ada didalam KUHP yang pada dasarnya selalu mencantumkan unsur “barang siapaâ€, artinya siapa saja selama ia mampu bertanggungjawab secara hukum dan tidak ada alasan pemaaf.Kata kunci: Aborsi, Belum Menikah, Menurut KUHP