cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 20 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen" : 20 Documents clear
ASPEK YURIDIS PERAN BPK TERHADAP PENCEGAHAN KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 Lamba, Aftar
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Peranan Badan Pemeriksaan Keuangan  dalam memeriksa keuangan negara menurut UU No. 15 Tahun 2006 dan bagaimanakah peran Badan Pemeriksaan Keuangan dalam pencegahan korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemriksaan Keuangan (BPK), peran BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, Bpk sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap keuangan negara yang dikelolah oleh pengelola keuangan negara. menyusun laporan hasil pemeriksaan, menyerahkan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR, DPD,  DPRD dan menyerahkan pula kepada Presiden, Gubernur/walikota untuk di tindak lanjuti, menilai dan menetapkan kerugian negara dan menjadi saksi ahli dalam peradilan. 2. Prioritas audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dewasa ini adalah diarahkan pada aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda terpenting. Pada sisi pengeluaran, pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada objek-objek yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina, Bank Indonesia, serta BUMN lainnya. Prioritas kedua adalah pengeluaran negara yang rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Prioritas ketiga pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah sektor-sektor yang strategis bagi perekonomian dan penting bagi  hajat hidup orang banyak, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen kesehatan, Departemen Pemukiman asset negara dan Pemda, termasuk divestasi asset PPA, dan tukar guling aset negara. dan Prasarana Wilayah, Bulog dan Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada penerimaan pajak, penerimaan negara non pajak, penjualan.Kata kunci: Aspek Yuridis, Peran, Badan Pemeriksaan Keuangan, Pencegahan korupsi.
PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA AKIBAT TIDAK MEMENUHI STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN Kurniawan, Indrayanto Abdirangga
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hukum di bidang perindustrian mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan bagaimanakah pemberlakuan sanksi pidana akibat tidak memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan standarisasi industri menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian, memberlakukan larangan bagi setiap orang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri atau memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; yang diberlakukan secara wajib. Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri wajib menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri. 2.  Pemberlakuan sanksi pidana akibat tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian diterapkan apabila setiap orang yang dengan sengaja atau karena kelalaian memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri. Sanksi pidana yang diberlakukan yaitu pidana penjara dan pidana denda.Kata kunci: Kajian Yuridis, Hak-Hak Tersangka, Pemeriksaan, Hukum Acara Pidana.
INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Sumakul, Ayrene E.
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum yang mempengaruhi independensi kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi independesi kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur kejaksaan tidak memberikan  independensi terhadap kejaksaan khususnya dalam penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan undang-undang kejaksaan No.16 tahun 2004 sebagai landasan hukum independensi kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. 2. Ketiadaan  independensi jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor normatif juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, antara lain, faktor politis (yang mengakibatkan birokrasi kejaksaan tidak netral, penyidikan korupsi tidak transparan dan berpengaruh terhadap persepsi perilaku dan gaya manajerial), faktor sosiokultural, faktor integritas personal, faktor ekonomi/kesejahteraan dan faktor promosi.Kata kunci: Independensi Kejaksaan,  Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi.
TATA CARA PELAPORAN DAN PENETAPAN STATUS GRATIFIKASI BAGI PEGAWAI NEGERI/ PENYELENGGARA NEGARA MENURUT PERATURAN KPK NO. 02 TAHUN 2014 Lerah, Roys Mohede
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna dan implementasi tata cara pelaporan dan penetapan status gratifikasi bagi pegawai negeri/penyelenggara negara dan bagaimana gratifikasi yang berkembang dalam praktek yang wajib dilaporkan kepada KPK. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Implementasi tata cara/peneyelenggara negara dalam penetapan status gratifikasi secara jelas telah diatur dalam  Pasal 1 angka 7 Peraturan KPK No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi bagi Pegawai Negeri dan penyelenggara negara. 2. Adapun beberapa kategori gratifikasi yang berkembang dalam praktik antara lain:Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat, terkait dengan tugas dan proses penyusunan anggaran, terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring, dan evaluasi, terkait dengan perjalanan dinas, terkait dengan proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai, terkait dengan perjanjian kerjasama kontrak/kesepakatan dengan pihak lain, terkait dengan ucapan terima terkait dengan proses pengadaan barang/jasa, terkait dengan pejabat/pegawai atau pihak ketiga pada hari raya keagamaan, terkait dengan pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugasnya.Kata kunci: Tata Cara, Pelaporan, Penetapan Status, Gratifikasi, Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
PENANGANAN BENDA SITAAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALULINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Tamburian, Lifandi R.
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penanganan benda sitaan yang berhubungan dengan tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan dan bagaimana tata cara penyitaan benda dalam penanganan perkara pidana lalu lintas dan angkutan jalan.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Penanganan benda sitaan dalam perkara tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita. 2. Tata cara penyitaan benda untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.Kata kunci: Penanganan Benda Sitaan, Tindak Pidana, Lalulintas dan Angkutan Jalan
TANGGUNG JAWAB PIDANA DOKTER ATAS PEMBERIAN OBAT BIUS YANG MENYEBABKAN PASIEN MENINGGAL DUNIA Kapoh, Kharisma Jiferson
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah prosedur penyelesaian kasus Malpraktik dan bagaimanakah Tanggung Jawab Pidana Dokter Atas Pemberian Obat Bius yang Menyebabkan Pasien Meninggal Dunia, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Dalam menyelesaikan kasus sengketa medis yang terjadi maka pasien ataupun pihak keluarga dapat melaporkannya atau menyelesaikannya lewat beberapa pihak yang terkait. Pertama, melalui Mahkamah Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Kedua, melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Ketiga, kasus sengketa medis pun dapat dilaporkan dan diselesaikan lewat jalur peradilan baik perdata maupun pidana. 2. Perbuatan dokter dalam pemberian obat bius yang menyebabkan pasien meninggal dunia merupakan perbuatan malpraktik. Tetapi dalam malpraktik tersebut, unsur pidananya adalah kealpaan/kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia dalam hal ini kurangnya sifat kehati-hatian dari seorang dokter pada saat pemberian obat bius kepada pasien. Jika melihat hal tersebut, maka berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dokter tersebut dapat diminta pertanggung jawabannya secara pidana berdasarkan Pasal 359 Jo. Pasal 361 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana dapat ditambah sepertiga serta pencabutan surat izin praktik.Kata kunci: dokter, obat bius
SISTEM PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Mokodompit, Moh. Fajry
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan sistem pembuktian terhadap tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan bagaimana pengaturan alat bukti menurut Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan sistem pembuktian terhadap tindak pidana pencucian uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu undang-undang ini memiliki ketentuan khusus dalam Pasal 77 yang menentukan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana,   tetapi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak memiliki pasal yang mengatur konsekuensi hukum dalam hal terdakwa dapat atau tidak dapat membuktikannya.  2. Pengaturan alat bukti menurut Pasal 73 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sudah lebih luas dari pada alat bukti menurut Pasal 183 ayat (1) KUHAP, di mana alat bukti dalam Pasal 73 sudah ditambahkan dengan informasi elektronik dan dokumen elektronik (Pasal 73 huruf b).Kata kunci: Sistem Pembuktian, Alat Bukti, Pencegahan dan Pemberantasan, Tindak Pidana, Pencucian Uang
PENCUCIAN UANG YANG DIAKIBATKAN OLEH PENYELAHGUNAAN KEWENANGAN BERDASARKAN UU NO 8 TAHUN 2010 Mintje, Cheasy
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pencucian uang yang diakibatkan penyalahgunaan kewenangan dan bagaimana akibat pencucian uang yang diakibatkan penyalahgunaan kewenangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pencucian uang dapat dilihat ada proses pencucian uang yang dalam 3 tahap yaitu :  Tahap penempatan (placement). Pada tahap penempatan (placement) bentuk uang diubah karena sebagian besar aktifitas kejahatan modern khususnya pengederan obat bius (narkoba) bergantung pada uang tunai sebagai alat pertukaran utama, mekanisme penempatan biasanya melibatkan pengubahan mata uang menjadi bentuk lainnya. Tahapan pelapisan (Layering). Pada tahapan pelapisan (layering) pelaku pencucian uang berusaha mengurangi dampak jejak diatas kertas asal mula uang tersebut sesuai namanya. Tahapan Penggabungan (Intergration). Jika pada tahap penempatan dan pelapisan telah berhasil diselesaikan maka pelaku akan berusaha menggabungkan kembali dana yang dicuci dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku, mekanisme intergration menggunakan institusi finansial atau penyedia jasa keuangan dan alat yang sama digunakan dalam tahap-tahap lainnya, pada tahap ini pelaku sekarang perlu membuat dana tersebut seperti asalnya. 2. Pelaku pencucian uang untuk memperkarya diri mereka dari tindakan pelanggaran hukum dengan cara menyamarkan jejak dana mereka motivasi dilanjutkan dengan beberapa tindakan antara lain placement layering integrating yang mereka harap tindakan tersebut dapat aparat penegak hukum sehingga pelaku pencucian uang tersebut dapat menikmati dana mereka dengan tenang. Pemerintah Indonesia merespon resiko dari tindakan pencucian uang dengan mengeluarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Bank Indonesia yang mengenai kebijakan nasabah mengharuskan suatu bank untuk memiliki suatu prosedur yang dapat berfungsi untuk mengenali transaksi dan profil dari nasabah yang ada pada bank tersebut.Kata kunci: Pencucian uang, penyalahgunaan, kewenangan
PENERAPAN AJARAN DEELNEMING DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Moningka, Franco Marcello
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk penerapan Deelneming terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam praktik dan bagaimana batas ? batas pertanggung jawaban ajaran Deelneming terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam praktik, di mana dengan menggunakan metode penelitian hokum normatif disimpulkan bahwa: 1. Penerapan ajaran Deelneming atau penyertaan, hal ini diatur dalam pasal 55 sampai dengan pasal 62 KUHP pidana: pada prinsipnya yang dapat dipidana karna perbuatan perbuatan tindak pidana kepada mereka yang melakukan menturuh melakukan, turut serta melakukan perbuatan dan mereka mengajukan perbuatan, dalam tindak pidana korupsi tidak jarang bagi pelaku ? pelakunya terhindar dari ajaran Deelneming ( penyertaan), banyak terlihat korupsi berjamaah, (suami dan istri,anak) atau (satu lembaga/satu instansi) dari bentuk ? bentuk ajaran Deelneming terhadap perbuatan tindak pudana korupsi yang dapat / pasti diancam pidana. 2. Pertanggung jawaban ajaran Deelneming (penyertaan) tindak pidana korupsi antara lain pelaku menyuruh melakukan dan menggerakkan atau menganjurkan , ada tiga perbedaan prinsip. Pertama Doenplegen harus tetap dikecualikan dari penidanaan. Sedangkan orang yang digerakkan atau dianjurkan melkukan perbuatan pidana dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana. Kedua  upaya dalam uitlokking bersifat limiatif sementara dalam doenplegen dapan digunakan sarana apa pun. Ketiga uit lokken atau orang menggerakkan atau menganjurkan tidak mungkin mewujudkan semua unsure yang ada dalam rumusan delik.Kata kunci: korupsi, deelneming
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN DAN PENYELIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Sumual, Rudy Andriyo
LEX CRIMEN Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan kejaksaan dalam penyidikan dan penyelidikan pada umumnya dan bagaimana kewenangan kejaksaan dalam penyidikan dan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kejaksaan pada umumnya tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan tindak pidana umum, tetapi berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan tambaha, yang menurut penjelasan pasal syaratnya yaitu: 1) tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara; 3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana; dan, 4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik. 2. Kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan dan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi memiliki dasar hukum dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP, yang kemudian lebih dipertegas dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d dan penjelasan pasalnya, serta dalam Penjelasan Umum alinea 4 dan alinea 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.Kata kunci: Kewenangan, Kejaksaan, Penyidikan Dan Penyelidikan,Tindak Pidana Korupsi

Page 1 of 2 | Total Record : 20


Filter by Year

2018 2018


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue