LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
20 Documents
Search results for
, issue
"Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen"
:
20 Documents
clear
JENIS-JENIS PIDANA DAN PELAKSANAAN PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA MILITER
Sarayar, Reygen Rionaldo
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan jenis-jenis pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dan bagaimana pelaksanaan pemidanaan terhadap anggota militer menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer, tidak di depan umum, dan belum boleh dilaksanakan sebelum turun keputusan presiden mengenai pelaksanaanya (grasi).               Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan Militer atau dapat juga ditempat lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila terpidana dipecat dari Dinas Keprajuritan, maka pidana yang dijatuhkan itu dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum. Pidana kurungan ditetapkan apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan dan kepadanya dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi 3 bulan. Hukuman tutupan dapat menggantikan hukuman penjara apabila terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Pidana bersyarat dijatuhkan kepada terpidana di mana tidak perlu dijalani, dengan syarat-syarat khusus berkelakuan baik dan menjalankan hal tertentu selama masa percobaan. Pemecatan berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari Angkatan Bersenjata selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun hanya akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun. Apabila pemecatan berbarengan dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan medali-medali atau tanda-tanda pengenalan, sepanjang kedua-duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan dinasnya yang dahulu. Penurunan pangkat terhadap seorang militer jika oleh hakim mempertimbangkan tidak pantas atau tidak layak untuk tetap pada tingkatan yang ditetapkan kepadanya.            Setelah melewati jangka waktu pencabutan, dalam keadaan luar biasa atas pertimbangan Menteri Pertahanan dan Keamanan dapat dipanggil untuk memenuhi dinas militer yang diharuskan baginya dalam masa dinasnya, atau dapat diijinkan untuk mengadakan ikatan pada dinas militer sukarela.Kata kunci: pidana; militer;
DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DALAM PERKARA PIDANA ANAK DI PENGADILAN NEGERI MANADO PUTUSAN NOMOR.32/PID.SUS-ANAK/2017/PN.MND DAN PUTUSAN NOMOR.51/PID.SUS-ANAK/2016/PN.MND
Marentek, Sintia Gloria
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Penganiayaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan mengapa Terjadi Disparitas pada Putusan Nomor No.32/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Mnd dan No.51/ Pid.Sus-Anak/2016/ PN.Mnd. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan penganiayaan menurut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang terdapat dalam Bab XX (dua puluh) yaitu penganiayaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaan berencana, penganiayaan berat, dan penganiayaan berat berencana. Dalam pengaturan sanksi pidana ini, diterapkan Hukuman Penjara dan Denda. 2. Terjadinya Disparitas Putusan Perkara Pidana No. 32/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Mnd dan No. 51/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mnd disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi Putusan Hakim dalam kedua perkara ini dengan memperhatikan tuntutan Penuntut Umum, sifat baik dan buruk terpidana, keyakinan Hakim berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Kata kunci: Disparitas Pemidanaan, Penganiayaan, Pidana Anak
TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN (PASAL 374 KUHP) SEBAGAI BAGIAN DARI KEJAHATAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN (KAJIAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1243/K/PID/2015)
Wurangian, Garcia
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memngetahui bagaimana pengaturan tindak pidana penggelapan dalam jabatan pada Pasal 374 KUHP dan bagaimana praktik penerapan tindak pidana penggelapan dalam jabatan menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 1243 K/Pid/2015. Dengan menggunakan metode penelitan yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan tindak pidana penggelapan dalam jabatan pada Pasal 374 KUHP yaitu harus dibuktikan adanya semua unsur penggelapan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 372 KUHP ditambah dengan unsur bahwa pelaku adalah orang yang penguasaanya terhadap barang disebabkan: (a) karena ada hubungan kerja; atau (b) karena pencarian; atau (c) karena mendapat upah untuk itu. 2. Praktik penerapan tindak pidana penggelapan dalam jabatan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 1243 K/Pid/2015, yaitu jika majikan memberikan sejumlah uang kepada buruh untuk melakukan pembayaran sesuai tugasnya sebagai kasir maka pemberian itu merupakan tindakan dalam hubungan kerja, yang menjadi dasar untuk pengenaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan (Pasal 374 KUHP), bukan pemberian dalam hubungan keperdataan antarpribadi (pinjam meminjam pribadi, dan sebagainya).Kata kunci: Tindak Pidana Penggelapan, Jabatan, Kejahatan, Harta Kekayaan
PENERAPAN PENGAWASAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP TERPIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Hamin, Fiqih Hidayat
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembinaan terpidana dalam sistem pemasyarakatan dan bagaimana penerapan pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Proses pembinaan kepada warga binaan tidak berhasil tanpa dukungan sarana dan prasaran (gedung yang memadai, pembinaan warga binaan, petugas yang profesional), namun ini masih jauh dari harapan karena masih sering terjadi warga binaan yang lari, petugas yang terima suap. Sistem pembinaan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, PP No. 31 Tahun 1999 termasuk hak-haknya juga hak asasi manusianya. 2. Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat, dilaporkan kepada Ketua Pengadilan, akan tetapi tidak saja dapat menentukan kebijaksanaan pembinaan narapidana di penjara atau Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, tetapi juga ada tolak ukur dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Di samping itu, masih menjabat sebagai hakim aktif menangani dan mengadili perkara.Kata kunci: Penerapan pengawasan, putusan pengadilan, terpidana.
SUATU TINJAUAN TERHADAP PERKARA YANG DIKESAMPINGKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM KARENA KEPENTINGAN HUKUM BERDASARKAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Tjoanto, Hendrika Roberto
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa wewenang Jaksa Penuntut Umum yang ditentukan oleh Undang-undang dan bagaimanakah Proses Penghentian Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Bahwa wewenang jaksa penuntut umum yaitu meneliti berkas perkara apakah tersangka dapat dilimpahkan pemeriksaan ke sidang pengadilan ataukah tidak, atas dasar alasan yang benar-benar penting menurut hukum, guna kepentingan pemeriksaan atau penuntutan. 2. Bahwa penghentian penuntutan demi kepentingan hukum oleh jaksa penuntut umum sangatlah adil karena jaksa penuntut umum telah meneliti berkas perkara tersebut: a. tidak cukup bukti, b. perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (ne bis in iem) c. perkara sudah daluwarsa. d. tersangka telah meninggal dunia. Jadi apabila berkas perkara dipaksakan untuk dilimpahkan ke sidang pengadilan, sudah barang tentu hakim akan memutus perkara tersebut yaitu dalam bentuk Putusan Bebas (Vrejpraak) atau Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervorging). Dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat bukti baru, bukti yang cukup beralasan untuk diproses kembali atau dapat dilimpahkan kembali ke sidang pengadilan. Lain halnya dengan penyampingan perkara demi kepentingan umum, yaitu sangatlah tidak adil, karena semua berkas perkara setelah diteliti memenuhi syarat yaitu syarat material dan syarat formil sudah terpenuhi untuk diajukan ke sidang pengadilan namun dikesampingkan (dideponer) oleh Jaksa Penuntut Umum.Kata kunci: Perkara yang dikesampingkan, Jaksa, kepentingan hukum
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA INTIMIDASI MELALUI MEDIA SOSIAL (Cyber Bullying)
Sengkey, Friandy J.
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Kajian hukum Terhadap tindak pidana Cyber bullying dan bagaimana Sistem Pembuktian Tindak Pidana Cyber bullying. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan Tindak Pidana Cyberbullying, Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemanfaatan dan penyalahgunaan teknologi informasi yang diatur dalam KUHP dan beberapa undang-undang di luar KUHP, Namun Kebijakan formulasi terhadap Tindak pidana Cyberbullying baik dalam hal kriminalisasinya, jenis sanksi pidana, perumusan sanksi pidana, subjek dan kualifikasi tindak pidana berbeda-beda dan sampai saat ini belum mengatur secara tegas dan jelas terhadap tindak pidana tersebut. 2. Sistem pembuktian terhadap Tindak pidana, Cyberbullying,yang masih di dasari oleh KUHAP, secara legalitas belum mengatur tentang ketentuan mengenai alat bukti dan data elektronik, hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 yang telah mengakui, pembuktian berdasarkan alat bukti dan data elektronik. Namun mengingat dalam sistem hukum di Indonesia dalam hal pembuktian, seorang Hakim diberikan kewenangan untuk memutus suatu perkara walaupun ketentuannya masih belum jelas.Kata kunci: Perspektif  hukum pidana, tindak pidana, intimidasi, media sosial (CAYBER BULLYING)
KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN DOKTER FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENGGUNAKAN ZAT-ZAT BERBAHAYA ATAU RACUN
Kumean, Putri G.
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan dokter forensik dalam mengungkap kasus pembunuhan yang menggunakan zat-zat berbahaya atau racun di Pengadilan dan bagaimana akibat hukum terhadap penyimpangan oleh dokter forensik yang menangani kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dasar hukum forensik terdapat dalam KUHP sehubungan dengan keterangan ahli termasuk dokter ahli forensic diatur dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP, sedangkan dalam KUHAP mengenai ahli kedokteran diatur dalam Pasal 133 ayat (1), juga dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian. Peran dokter forensik dapat dilakukan pada tahap Penyelidikan yakni saat Pemeriksaan di TKP dan analisis data yang ditemukan, selanjutnya tahap Penyidikan yakni Pembuatan visum et repertum dan BAP saksi ahli dan hingga tahap Persidangan di Pengadilan. Kewenangan dokter forensik dalam memberikan keterangan sebagai saksi ahli juga menjelaskan kaitan mengenai hubungan kausalitas antara korban dan pelaku kejahatan berdasarkan laporan dalam visum et repertum. 2. Akibat hukum terhadap penyimpangan di dalam praktek kedokteran forensik dalam kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun sama dengan penyimpangan dalam praktek kedokteran umum. Peraturan yang mengatur tentang praktek kedokteran dan medis terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedoteran. Di samping peraturan yang terdapat dalam undang-undang mengenai praktek kedokteran terdapat juga standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional yang semua dokter harus patuh terhadap standar profesi kedokteran dan atau standar prosedur operasional tersebut. Dan apabila seorang dokter tidak patuh atau melanggar standar profesi kedokteran dan atau standar prosedur operasional tersebut dapat dikenakan sanksi berupa dikeluarkan dalam Ikatan Dokter Indonesia dan atau di cabut izin praktek.Kata kunci: forensik; racun; zat berbahaya
PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENGGELAPAN KENDARAAN JAMINAN FIDUSIA MENURUT UU NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
Tewal, Christovel Allan
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang penjaminan fidusia kendaraan bermotor berdasarkan  peraturan perundang-undangan dan bagaimana penerapan pidana terhadap pelaku penggelapan pada penjaminan fidusia kendaraan bermotor roda dua. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Sistem penjaminan fidusia dalam jual beli kendaraan bermotor secara kredit dalam pencicilan telah diatur dalam Undang-Undang Fidusia 42 Tahun 1999. Sistem penjaminan fidusia adalah sistim dimana pembeli secara angsuran sudah bisa menguasai kendaraan roda dua walaupun belum melunasinya. Sistem penguasaan terhadap kendaraan bermotor roda dua karena ada jaminan kepercayaan dari pihak penjamin fidusia. Jaminan kepercayaan ini menyebabkan pembeli yang masih berstatus sebagai penyewa bisa menggunakan dan menguasai kendaraan bermotor roda dua walaupun belum melunasinya. 2. Tindak pidana penggelapan kendaraan bermotor dalam sistem penjaminan fidusia terjadi karena etikat buruk dari kedua belah pihak. Etikat buruk untuk menggelapkan kendaraan bermotor yang terutama ada pada pembeli yang menguasai kendaraan roda dua walaupun belum melunasinya. Pasal 373 KUHP. Potensi terjadinya tindak pidana penggelapan kendaraan bermotor roda dua karena adanya niat jahat atau etikat tidak baik terutama dari pembeli yang belum melunasi kendaraan. Dengan terjadinya penggelapan kendaraan bermotor maka sudah terjadi tindak pidana.Kata kunci: Penerapan pidana, pelaku penggelapan kendaraan, jaminan fidusia.
UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP PUTUSAN PIDANA BERDASARKAN PASAL 244 KUHAP
Sangkay, Hessed Rindorindo
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk putusan hakim dalam pemeriksaan suatu perkara pidana berdasarkan KUHAP dan bagaimana pengaturan upaya hukum kasasi terhadap putusan pidana berdasarkan Pasal 244 KUHAP, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Putusan hakim dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP yakni putusan pemidanaan apabila hakim bependapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, putusan bebas jika hakim berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. 2. Upaya hukum kasasi terhadap putusan pidana di dalam KUHAP diatur sebagai upaya hukum biasa yang dapat dimintakan oleh terdakwa dan penasehat hukum dan jaksa atau penuntut umum kepada Mahkamah Agung dan sebagai upaya hukum luar biasa yakni kasasi demi kepentingan hukum yang dapat dimintakan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung secara tertulis melalui panitera pengadilan negeri yang menuntut perkara pada tingkat pertama. Kata kunci: upaya hukum; kasasi; putusan pidana; PENDAHULUANA. Latar Belakang Terhadap putusan hakim yang mengandung pemidanaan, maka hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa apa yang menjadi hak-haknya. Dengan adanya hak-hak terdakwa tersebut maka terhadap setiap putusan hakim yang mengandung pemidanaan di mana terdakwa merasa tidak puas, dapat mengajukan permintaan tingkat banding kepada Pengadilan Tinggi dan selanjutnya tingkat kasasi kepada Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP yang menentukan, terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Upaya hukum yang dapat digunakan oleh terdakwa atau penuntut umum untuk menolak putusan Pengadilan Negeri yaitu dengan mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi, dan seterusnya dapat pula mengajukan permohonan kasasi pada Mahkamah Agung, jika tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi.
KEBIJAKAN DAN STRATEGI FUNGSI RESERSE KRIMINAL POLRI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN, DALAM MELAKUKAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN MENURUT UU NO. 2 TAHUN 2002
Mandagi, Marianus Glenn
LEX CRIMEN Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemandirian Polri selaku penyidik tindak pidana dalam sistim peradilan pidana dan bagaimana kebijakan dan strategi fungsi reserse kriminal Polri dalam mewujudkan penyidik yang professional. Dengan mernggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Kepolisian negara Republik Indonesia adalah salah satu alat negara dan pemerintahan sekalipun sebagai alat penegak hukum yang merupakan bagian dari sistim peradilan pidana di Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, antara lain: Polri merupakan alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, mengayomi masyarakat. Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional. 2. Penyidik profesional dan mandiri adalah polisi yang mengemban pekerjaan yang khusus dicapai melalui pendidikan dan latihan khusus, didasarkan pada pengetahuan teoretis dan mampu menerapkan dan mendapat pengakuan dari masyarakat.Kata kunci: Fungsi reserse kriminal, penyelidikan dan penyidikan