cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 19 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen" : 19 Documents clear
TANGGUNG JAWAB YURIDIS PERINTAH PENAHANAN PASCA PUTUSAN DIBACAKAN OLEH HAKIM PENGADILAN TINGGI DALAM PERKARA PIDANA Lopes, Fransisca P. L.
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk putusan hakim dalam teori dan praktek perkara pidana dan bagaimana tanggung jawab yuridis penahanan oleh hakim pengadilan tinggi pasca putusan dibacakan yang dengan menggunakanb metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Putusan hakim merupakan tindakan akhir oleh hakim dalam pengadilan  terbuka apakah di hukum atau tidak sih pelaku. Dalam KUHAP dikenal adanya tiga macam jenis putusan yaitu putusan pemindanaan, putusan lepas dari segala tuntutan, dan putusan bebas. Ketiga jenis putusan ini sangat bepengaruh terhadap perkara pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan namun dari ketiga jenis putusan ini terbagi dalam dua jenis aliran yaitu aliran dualistis dan aliran monolistis. Kedua aliran ini di bedakan dari aliran dualistis menganut unsur pidana dibedakan antara perbuatan dan akibat yang dilarang dengan pertanggungjawaban pidana sedangkan dalam aliran monolistis menganut yang tidak memisahkan perbuatan dan akibat dengan pertanggungjawaban pidana. Ketiga jenis putusan ini berpengaruh terhadap upaya hukum yang dapat dilakukan sebagaimana dalam : Putusan pemindanaan, Putusan lepas dari segala tuntutan , Putusan bebas. 2. Tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tingkat pengadilan negeri ke hakim pengadilan tinggi oleh KUHAP diberikan patokan/diatur secara tegas dalam pasal 238 ayat (2) yang mengatakan bahwa wewenang untuk menentukan penahanan berahli ke hakim pengadilan tinggi (PT) sejak saat diajukan permintaan banding. Dan dalam penjelasan pasal 238 ayat (2) tersebut di terangkan apabila dalam perkara pidana terdakwa menurut undang-undang dapat ditahan, maka sejak permintaan banding diajukan pengadilan tinggi yang menentukan ditahan atau tidak. Berdasarkan prinsip limitatif dalam arti kewenangan penahanan tersebut dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan apabila batas waktu tersebut dilampaui maka terdakwa harus dikeluarkan “demi hukum”.Kata kunci: perintah penahanan; hakim;
SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP KORPORASI AKIBAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA PANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN Robot, Sendy
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana denda apabila dilakukan oleh korporasi di bidang pangan dan bagaimana pemberlakuan sanksi pidana denda terhadap korporasi akibat melakukan tindak pidana pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang    Pangan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk perbuatan pidana korporasi yang dapat dikenakan sanksi pidana denda, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 133 sampai dengan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Bentuk-bentuk tindak pidana terjadi akibat korporasi melakukan perbuatan dengan dengan sengaja tidak menaati ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang telah mengatur standar keamanan pangan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. 2. Pemberlakuan sanksi pidana denda terhadap korporasi akibat melakukan tindak pidana pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai Pasal 145 selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap perseorangan. Selain pidana denda korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: pencabutan hak-hak tertentu; atau  pengumuman putusan hakim.Kata kunci: Sanksi Pidana, Denda, Korporasi, Pangan.
SISTEM PEMIDANAAN DAN KRITERIA PEMBERATAN SANKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK Turambi, Winsy C.
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kejahatan seksual terhadap anak dan bagaimana sistem pemidanaan dalam tindak pidana pemerkosaan anak. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk perbuatan kejahatan seksual terhadap anak seperti dieksploitasi secara seksual” dengan pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. Bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengan pelaku atau dengan orang lain dan melakukan tipu muslihat dan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Bentuk perbuatan lainnya seperti menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak. 2. Sistem pemidanaan untuk tindak pidana pemerkosaan Anak telah meninggalkan sistem pemidanaan dalam KUHPidana, yaitu dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak telah dianut: (1) adanya minima khusus untuk pidana penjara, dan (2) ancaman  pidana secara kumulatif antara pidana penjara dan pidana denda. Sedangkan kriteria pemberatan sanksi dalam Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak dan sanksi tindak pidana pemerkosaan anak, yaitu dasar filosofis berupa hak asasi Anak dan Anak merupakan masa depan bangsa, serta dasar sosiologis adalah karena kekerasan seksual.Kata kunci: Sistem Pemidanaan; Kriteria Pemberatan Sanksi; Tindak Pidana Pemerkosaan; Anak
PEMBERLAKUAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP PERSONEL INTELIJEN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Ributu, Adi
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Inteleijen Negara dan bagaimana pemberlakuan ketentuan pidana terhadap Personel Intelijen Negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1.  Bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Inteleijen Negara, seperti Setiap Personel Intelijen Negara yang membocorkan upaya, pekerjaan, kegiatan, Sasaran, informasi, fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan, dan/atau Personel Intelijen Negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi dan aktivitas Intelijen Negara. Setiap Personel Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Perbuatan orang perorangan yang dengan sengaja mencuri, membuka, dan/atau membocorkan Rahasia Intelijen atau karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen. 2. Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap Personel Intelijen Negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara seperti dipidana dengan pidana penjara dan/atau pidana denda baik bagi orang perorangan maupun Personel Intelijen Negara sesuai dengan jenis-jenis perbuatan pidana yang dilakukan. Pemberlakuan ketentuan pidana ini merupakan bagian dari penegakan hukum atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.Kata kunci:  Pemberlakuan Ketentuan Pidana,  Personel,  Intelijen Negara.
PEMERIKSAAN PERKARA ANAK DI LUAR PENGADILAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Tooy, Charlis P.
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tujuan peradilan pidana anak dalam rangka perlindungan anak dan bagaimana tujuan pemeriksaan perkara anak di luar pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Tujuan peradilan pidana anak dalam rangka perlindungan anak adalah memberikan yang terbaik bagi anak yang melakukan tindak pidana, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibawa hukum, mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang telah ia lakukan. 2. Tujuan pemeriksaan perkara anak di luar pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku tindak pidana, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan apabila dijatuhi pidana penjara dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan anak serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak yang berkonflik dengan hukum untuk kepentingan terbaik anak.Kata kunci: Perlindungan Perkara Anak, di Luar Pengadilan.
PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Rewah, Clief Daniel
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yang mengakibatkan terjadinya kerugian Negara dan bagaimana tatacara pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara terutama adalah nafsu untuk hidup mewah oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan atau memerintah, kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya sehingga harus berusaha memperoleh pendapatan tambahan, latar belakang dan kultur Indonesia di mana pejabat cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri, manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif terhadap keuangan negara dan modernisasi yang membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru pejabat-pejabat negara. 2. Pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dilakukan melalui pidana tambahan   melalui pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Namun pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi belum berjalan secara maksimal, karena pembayaran uang pengganti dapat diganti dengan pidana penjara apabila terpidana tidak mampu membayar uang pengganti.Kata kunci: Pengembalian, Kerugian Negara, Tindak Pidana, Korupsi
PEMBERLAKUAN KETENTUAN PIDANA TERHADAP BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PERKEBUNAN Tooy, Brando
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan ketentuan pidana terhadap bentuk-bentuk tindak pidana perkebunan dan bagaimana pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya tindak pidana perkebunan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap bentuk-bentuk tindak pidana perkebunan dapat diterapkan kepada perorangan dalam pengolahan hasil perkebunan, pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha perkebunan, pelaku usaha perkebunandan korporasi atau pejabat yang terbukti secara sah menurut hukum melakukan tindak pidana perkebunan. Ketentuan pidana diberlakukan berupa pidana penjara dan denda sesuai dengan perbuatan pidana yang terbukti secara sah telah dilakukan. 2. Pembinaan dan pengawasan untuk mencegah terjadinya tindak pidana dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin penegakan hukum dan terselenggaranya usaha perkebunan. Pengawasan dilakukan melalui pelaporan dari pelaku usaha perkebunan; dan/atau pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil usaha perkebunan dan pemeriksaan terhadap proses dan hasil perkebunan.Kata kunci: Pemberlakuan, Ketentuan Pidana, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana,  Perkebunan
PEMBAHASAN ATAS PENERAPAN PASAL 242 KITAB UNDANG-UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA PADA PEMBERIAN KETERANGAN PALSU DI ATAS SUMPAH Weenas, Alexa Inca
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana arti pentingnya pengambilan sumpah terhadap kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam perkara pidana di Pengadilandan bagaimana kekuatan hukum sumpah terhadap sumpah palsu dan keterangan palsu dalam proses peradilan pidana yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Arti penting pengambilan sumpah terhadap kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam proses peradilan pidana dapat diketahui dari beberapa hal. Seperti dari tujuan dilakukannya sumpah yang diharapkan untuk mendorong saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya (jujur) karena telah dikuatkan dengan sumpah. Kemudian dari sisi keabsahan alat bukti keterangan saksi, karena ketika seorang saksi menolak untuk disumpah maka nilai dari alat bukti keterangan saksi tersebut menjadi tidak sah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, hanya dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak dalam beberapa hal antara lain: a. Hal kualitas menjadi saksi. b. Hal apa yang diterangkan saksi. c. Hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. d. Syarat sumpah atau janji. e. Syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi dengan isi keterangan saksi lain atau isi alat bukti lain. Oleh karena itu sumpah menjadi salah satu faktor yang penting terhadap kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi. 2. Kekuatan hukum sumpah dalam perkara pidana terhadap tindak pidana sumpah palsu dan keterangan palsu, telah dirumuskan pada Pasal 242 KUHP. Salah satu unsurnya menghendaki agar dapat dikatakan suatu tindak pidana keterangan yang disampaikan harus di bawah sumpah. Selain itu supaya dapat dihukum saksi pemberi keterangan harus mengetahu bahwa ia memberi keterangan dengan sadar yang bertentangan dengan kenyataan, serta telah memberikan keterangan palsu dibawah sumpah. Suatu keterangan palsu dapat dikatakan sebagai tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap saksi yang bersangkutan telah selesai dalam memberikan keterangannya. Selama saksi itu masih diperiksa, saksi tersebut masih dapat menarik kembali keterangannya dan belum terjadi tindak pidana sumpah palsu yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP. Berdasarkan Pasal 174 KUHAP, hakim berwenang memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. Apabila seseorang telah disumpah atau mengucapkan janji sebagai saksi tetapi kesaksian atau keterangan yang diberikannya sebagai saksi disangka palsu dan hakim telah memperingatkan saksi mengenai konsekuensinya. Namun dalam prakteknya seringkali hakim menyerahkan hak menuntut tersebut terhadap pihak Penuntut Umum ataupun pihak Penasehat Hukum (terdakwa). Hal tersebut dikarenakan hakim sebagai pengadil sudah terbebani oleh tugasnya yang bukan hanya untuk menyelesaikan perkara namun juga untuk menyelesaikan konflik antara pihak-pihak yang berperkara dipersidangan.Kata kunci: keterangan palsu; pasal 242 kuhp;
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA JUDI (SABUNG AYAM) Prang, Gianiddo Marcelino
LEX CRIMEN Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang Sabung Ayam sebagai tindak Pidana perjudian dalam sistem hukum Pasal 303 KUHP danbagaimana Tanggung jawab pelaku perjudian baik Bandar maupun pelaku lainya sesuai KUHP dan aturan lainya yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Judi sabung ayam sesuai Pasal 303 KUHP merupakan tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut praktek sabung ayam merupakan perbuatan melawan hukum dan bisa diancam dengan hukum pidana. Undang-undang Perjudian No. 7 Tahun 1974 menegaskan bahwa, setiap bentuk kegiatan perjudian adalah merupakan tindak pidana dan diancam dengan hukuman pidana. Berdasarkan hal tersebut, sangat jelas bahwa judi sabung ayam walaupun secara tradisional diakui keberadaannya tetapi secara hukum terutama hukum pidana merupakan perbuatan pidana yang bisa diancam dengan hukuman penjara. 2. Pertanggungjawaban pidana pelaku perjudian sabung ayam, sama dengan pelaku tindak pidana lainnya yang akan diancam dengan hukuman sesuai Pasal yang dilanggar. Pelaku perjudian sabung judi melanggar Pasal 303 KUHP sedangkan hukuman yang akan diterima sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana sesuai dengan pertimbangan dan keputusan hakim.  Pelaku dan pihak terkait juga akan dihukum tindak pidana bersama-sama atau tindak pidana penyertaan sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP. Dengan demikian, pihak-pihak terkait juga akan dituntut pertanggungjawaban pidana dalam perjudian sabung ayam.Kata kunci: tindak pidana judi; sabung ayam;

Page 2 of 2 | Total Record : 19


Filter by Year

2019 2019


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue