cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 18 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen" : 18 Documents clear
PENCARIAN KEBENARAN MATERIAL DALAM PERKARA PIDANA MELALUI ALAT-ALAT BUKTI YANG SAH MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Makapuas, Novaldy Franklin
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan pencarian kebenaran material melalui alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana Indonesia dan bagaimana pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 terhadap tujuan pencarian kebenaran material, di mana dengan metode penelitian hukum normatifg disimpulkan bahwa: 1. Pencarian kebenaran material melalui alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana Indonesia, yaitu untuk tindak pidana umum alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan untuk beberapa tindak pidana khusus di luar KUHAP sselain alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP juga ditambah dengan alat bukti (dokumen) elektronik. Untuk mencegah jangan sampai pencarian kebenaran material tersebut menganut prinsip tujuan menghalalkan cara, maka penggunaan alat-alat bukti tersebut memiliki pembatasan-pembatasan, yaitu: 1. Pembatasan oleh pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dengan sitem accusatoir; dan 2. Pembatasan oleh sistem pembuktian menurut undang-undang sampai suatu batas (negatief-wettelijk bewijsleer). 2. Pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 terhadap tujuan pencarian kebenaran material yaitu mendorong hukum acara pidana Indonesia ke arah Due Process Model  yang menekankan pada pentingnya aspek prosedur atau tata cara dalam praktik perkara pidana.Kata kunci: kebenran; kebenaran material; alat bukti;
PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Eman, Natasha
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan tindak pidana korupsi dan bagaimana pengaturan beban pembuktian antara jaksa penuntut umum dan terdakwa menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Penentuan beban pembuktian dalam UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan hanya dapat diterima jika kita berada dalam situasi darurat sehingga memerlukan suatu hukum darurat. 2. UU No. 20 Tahun 2001 telah meletakkan beban pembuktian yang lebih berat lagi kepada terdakwa dibandingkan UU No. 3 Tahun 1971, yaitu: Untuk perkara pokok, yaitu tindak pidana dan harta benda yang disebutkan dalam dakwaan, terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri/suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (Pasal 37A ayat (1)).  Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka hal ini digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37A ayat (2)); Untuk harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi, terdakwa wajib membuktikan sebaliknya (Pasal 38B ayat (1)), sehingga merupakan pembuktian terbalik sepenuhnya. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara (Pasal 38B ayat (3)).Kata kunci:  Pengaturan Sistem Pembuktian, Pemberantasan, Tindak Pidana Korupsi
PERANAN ADVOKAT DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM Lukas, Marcelya
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan advokat dalam pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 dan bagaimana hubungan bantuan hukum dengan Hak Asasi Manusia, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Peran Advokat dalam sistem peradilan pidana Advokat bertindak sebagai penyeimbang terhadap upaya paksa yang diberikan oleh undang-undang kepada penegak hukum. 2. Advokat dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkannya tidak membedakan agama, ras, budaya, keturunan, pangkat dan jabatan, bahkan kaya atau miskin. Hal itu guna untuk mencapai kebenaran dan keadilan di depan hukum. 3. Advokat dalam memberikan jasa hukum dapat berperan sebagai kuasa hukum atas nama kliennya. 4. Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegak hukum karena setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepadanprofesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebesannya dalam UU advokat. Baik secara yuridis maupun sosologis advokat memiliki peranan yang sangat besar dalam penegakan hukum.Kata kunci: advokat; bantuan hukum;
DELIK TIDAK MEMENUHI PELAKSANAAN KEWAJIBAN SEBAGAI SAKSI, AHLI ATAU JURU BAHASA MENURUT PASAL 224 DAN PASAL 522 KUHP Purukan, Arvi Fladi
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP dan bagaimana hubungan antara Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP dalam penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pengaturan tindak pidana tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban sebagai saksi, ahli atau juru bahasa dalam Pasal 244 KUHP menekankan pada sifat sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya sebagai saksi, ahli atau juru bahasa; sedangkan pengaturan dalam Pasal 522 KUHP sudah merupakan pelanggaran jika orang yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum. Pasal 224 hanya mengancamkan pidana penjara maksimum 9 bulan dalam perkara pidana dan penjara maksimum 6 bulan dalam perkara lain; sedangkan Pasal 522 KUHP hanya mengancamkan denda maksimum Rp900.000,00 (sembilan ratus sribu rupiah).  2. Hubungan antara Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP dalam penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu paling tepat jika disusun dalam bentuk dakwaan subside, yaitu Pasal 224 ditempatkan sebagai dakwaan primer sedangkan Pasal 522 ditempatkan sebagai dakwaan subside.Kata kunci: Tidak  Memenuhi  Kewajiban,   Sebagai  Keterangan  Ahli,  Juru Bahasa
KEWENANGAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN PERANG Tatodi, Gracia In Junika
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui apa saja kewenangan Mahkamah Pidana Internasioanal dalam kasus kejahatan perang dan apakah yang menjadi factor kelemahan Mahkamah Pidana Internasional dalam penyelasian kasus kejahatan perang, di mana dengan metode penelitian hokum normatif disimpulkan bahwa: 1. Kejahatan perang merupakan suatu kejahatan internasional  (international crime) yang tergolong kedalam kejahatan yang luarbiasa (extraordinary crime) dan tindak kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini kejahatan perang merupakan kejahatan internasional yang masuk pada kompetensi International Criminal Court (ICC) untuk mengadili, maka yurisdiksi yang berlaku pada tindak pidana kejahatan perang adalah yurisdiksi territorial dan yurisdiksi nasional aktiv. Pengaruh Mahkamah Pidana Internasional terhadap pengadilan nasional akan selalu mempunyai yurisdiksi atas sejumlah kejahatan. Berdasarkan prinsip saling melengkapi, Mahkamah Pidana Internasional hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan pengadilan dapat menjatuhkan hukuman kepada para tersangka kejahatan menurut hukum internasional. 2. Dewan keamanan adalah suatu lembaga politik maka nuansa politiknya sama sekali tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya hak veto yang dimiliki lima Negara anggota tetapnya ( inggris, prancis, amerika serikat, rusia, dan cina) praktis kelima Negara ini tidak akan pernah terkena resolusi dewan keamanan PBB yang merugikan dirinya sendiri. Secara lebih konkrit, jika disalah satu dari kelima Negara itulah terjadinya kasus kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi mahkamah tetapi Negara itupun tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap si pelakunya, maka sudah pasti tidak akan berhasil dibahas didalam persidangan dewan keamanan PBB. Kalaupun dibahas dan akan diambil keputusan menyerahkannya kepada jaksa penuntut pada mahkamah, sudah pasti akan diveto oleh Negara tersebut. Demikian juga jika terjadi disalah satu atau lebih Negara yang tidak menjadi peserta Statuta yang kemudian dibahas dalam Dewan keamanan tetapi berkat keberhasilan Negara itu mendekati salah satu dari lima Negara anggota tetap supaya menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang akan di ambil, maka praktis pelakunya juga akan menikmati impunitas. Kata kunci: kejahartan perang; mahkamah pidana internasional;
EKSISTENSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERHADAP PEMENUHAN HAK NARAPIDANA Kloer, Anggia Tasalonika
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini yakni untuk mengetahui bagaimana hak-hak narapidana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan bagaimana eksistensi Lembaga Pemasyarakatan berkenaan dengan pemenuhan hak narapidana, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Hak-hak Narapidana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 14 ayat (1), yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 dan perubahan-perubahannya, yang mencakup 13 (tiga belas) hak, di mana yang paling sering menjadi perdebatan yaitu hak remisi karena dalam peraturan pemerintah pelaksanaannya dibedakan antara Narapidana umum dan Narapidana  tindak pidana 1) terorisme, 2) narkotika dan prekursor narkotika, 3) psikotropika, 4) korupsi, 5) kejahatan terhadap keamanan negara, 6) kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta 7) kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yang memiliki persyaratan tambahan. 2. Eksistensi (keberadaan) Lembaga Pemasyarakatan berkenaan dengan pemenuhan hak narapidana, yaitu keberadaan LAPAS itu antara lain untuk melaksanakan program pembinaan Narapidana, di mana sebagai suatu negara hukum (Rechtsstaat), petugas LAPAS dalam bertugas seharusnya bertindak memenuhi hak Narapidana yang sudah ditentukan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.  Dalam kenyataan, selain telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, pemenuhan hak Narapidana mempunyai manfaat praktis, yaitu menjadi solusi permasalahan kelebihan kapasitas LAPAS atau Rutan, serta penghematan dana, khususnya berkenaan dengan pemenuhan hak Narapidana berupa remisi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.Kata kunci: lembaga pemasyarakatan; narapidana; hak narapidana;
KAJIAN YURIDIS TENTANG PSIKOPAT BERDASARKAN PASAL 44 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Poli, Marsel
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan Pasal 44 KUHP tentang gangguan kejiwaan yang mengakibatkan pengidapnya tidak dapat dipertanggungkan atas perbuatannya itu dan bagaimana psikopat dilihat dari sudut Pasal 44 KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pengaturan Pasal 44 KUHP tentang gangguan kejiwaan yaitu berkenaan dengan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan, di mana yang umumnya dimasukkan di sini yakni golongan idiot dan golongan imbesil dan jiwanya terganggu karena penyakit, di mana yang umumnya dimasukkan di sini yaitu orang-orang yang dipandang gila (skizofrenia). 2. Psikopat dilihat dari sudut Pasal 44 KUHP bukanlah termasuk yang dikecualikan dari pidana berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan juga tidak dapat diperintahkan oleh hakim pidana untuk dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (2); melainkan yang dapat dijatuhkan oleh hakim untuk psikopat.Kata kunci: Kajian Yuridis, Psikopat.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN DI BIDANG KESEHATAN Kawenas, Josua Gideon
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi  dasar hukum pelayanan kesehatan dan bagaimana penegakan hukum pidana bagi pelaku kejahatan/tindak pidana di bidang kesehatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pengaturan mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. 2.   Penegakan hukum pidana bagi pelaku kejahatan/tindak pidana di bidang kesehatan  seperti dokter dan tenaga medis lainnya dapat dilakukan dengan menerapkan pasal-pasal tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kealpaan atau kelalaian yang diatur dalam KUHP dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran serta UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal-pasal yang ada dalam KUHP adalah: Pasal 267, 294 ayat (2), Pasal 304, Pasal 531, Pasal 322, Pasal 299, Pasal 346 – Pasal 349, Pasal 344 dan Pasal 345 tentang ‘kesengajaan’ dan Pasal 359, Pasal 360 serta Pasal 361 tentang ‘kealpaan atau kelalaian’; sedangkan pasal-pasal dalam UU No. 29 Tahun 2004 adalah: Pasal 79 huruf  ‘c’ yang menunjuk pada Pasal 51 yang berisikan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter dan Pasal 192 sampai dengan Pasal 199 UU No. 36 Tahun 2009.Kata kunci: Penegakan Hukum Pidana,  Pelaku Kejahatan, Kesehatan
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TINDAKAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN DALAM KAITANNYA DENGAN MASALAH PEMBUKTIAN Rafael, Pramono Sandi
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum pertanggungjawaban pidana atas tindakan malpraktek kedokteran dan bagaimana ketentuan hukum tentang pembuktian berkaitan dengan malpraktek. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Bahwa ketentuan hukum untuk memintakan pertanggungjawaban seorang dokter yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan, dalam arti melakukan tindakan malpraktek tetap menggunakan pasal-pasal dalam KUHP dan KUHAP sebab dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tidak mengatur pertanggung jawaban pidana seorang dokter. Malpraktik medik dokter dalam pelayanan medis dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Yang dapat dipertanggung jawabkan dalam malpraktek medik itu hanyalah berupa kelalaian dokter dalam melaksanakan tindakan medis. Demikian juga kesalahan bersifat delik dolus (sengaja) apabila ada unsur dengan sengaja, yaitu perbuatan pidana itu didasarkan pada kehendak batin atau sengaja untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.  2.Tanggung jawab Malpraktek dalam hukum Pidana sangat erat kaitannya dengan pembuktian perbuatan seseorang (dokter/para medis) untuk dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice, manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat bukti tersebut.Kata kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Malpraktek Kedokteran, Pembuktian
SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA BAGI PENYELENGGARA PEMERINTAH DESA MENURUT UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Abarang, Sahlan
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sanksi administrasi bagi penyelenggara pemerintah desa menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan bagaimana sanksi pidana bagi penyelenggara pemerintah desa menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana dengan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sanksi administrasi bagi penyelenggara pemerintah desa dikenakan bagi kepala desa dan perangkat desa. Sanksi administrasi bagi kepala desa dibedakan atas dua jenis perbuatan yaitu: sanksi karena tidak melaksankan kewajiban dan sanksi karena melanggar larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014, sanksi administratif tersebut berupa : teguran lisan dan teguran tertulis. Sanksi administrasi dapat dikenakan apabila kepala desa tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27, dan sanksi dapat dikenakan apabila kepala desa melanggar larangan sebagaimana dalam Pasal 29 UU No. 6 Tahun 2014. Sedangkan sanksi administrasi bagi perangkat desa diberikan karena perbuatan sanksi karena melanggar larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014, sanksi administrasi tersebut berupa : teguran lisan dan teguran tertulis. Sanksi administrasi dapat dikenakan apabila perangkat desa melanggar larangan sebagaimana dalam Pasal 51 UU No. 6 Tahun 2014. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa sanksi administratif dalam ketentuan UU No. 6 Tahun 2014 terhadap pemerintah desa yakni kepala desa dan perangkat desa terkait sanksi administratif hanyalah berupa teguran lisan dan teguran tertulis, sedangkan sanksi pemberhentian sementara dan sanksi pemberhentian tidak dijelaskan sebagai sanksi administratif. 2. Sanksi pidana merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum dan penerapanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak mengatur sama sekali kentuan sanksi pidana sebagaimana umumnya undang-undang. Akan tetapi UU Desa mengatur banyak larangan yang hakikatnya berisfat yuridis dan diancam dengan pidana dalam perundang-undangan lain. Dalam  UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa terdapat larangan bagi Kepala Desa sebagai penyelenggara pemerintah desa yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 29 huruf b dan huruf j yang jika dilanggar dapat berakibat pidana dalam UU Pemilu. Sedangkan bagi Perangkat Desa sebagai penyelenggara pemerintah desa terdapat larangan yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 51 huruf c huruf  f UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang jika jika dilanggar dapat berakibat pidana dalam UU Tipikor. Terkait dengan pemberian sanksi pidana bagi pemerintah desa yakni kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud diatas harus melalui proses pengadilan dan tergantung pada keputusan pengadilan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya sanksi pidana bagi penyelenggara pemerintah desa diberikan oleh pengadilan dengan melihat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sanksi pidana berdasarkan sebab kasus perbuatannya.Kata kunci: desa; sanksi administrasi; sanksi pidana;

Page 1 of 2 | Total Record : 18


Filter by Year

2019 2019


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue