LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
18 Documents
Search results for
, issue
"Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen"
:
18 Documents
clear
TINDAK PIDANA PENIPUAN,MANIPULASI PASAR, PERDAGANGAN ORANG DALAM, BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995
Ratu, Fael Hendra Imanuel
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana manfaat dan peran Pasar Modal bagi perekonomian suatu Negara dan bagaimana tindak pidana penipuan, manipulasi pasar dan Perdagangan orang dalam berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Salah satu ciri-ciri negara industri maju maupun negara industri baru adalah adanya pasar modal yang tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari angka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), kita bisa mengetahui kondisi perusahaan-perusahaan yang listing di bursa efek. IHSG juga dapat mencerminkan kondisi perekonomian suatu negara. Merosotnya IHSG secara tajam mengindikasikan sebuah negara sedang mengalami krisis ekonomi. Pasar modal juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengundang masuknya investor asing dan dana-dana asing guna membantu kemajuan perekonomian negara. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal secara tegas melarang kegiatan perdagangan efek yang mengandung unsur penipuan, manipulasi, dan perdagangan orang dalam. Larangan ini dibuat untuk melindungi kepentingan masyarakat investor/pemodal, serta untuk menjamin agar proses perdagangan efek dapat berlangsung secara jujur dan sehat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap industri Pasar Modal Indonesia dapat terus terjaga dan bertahan lama.Kata kunci: Tindak Pidana; Penipuan; Manipulasi Pasar; Perdagangan Orang Dalam
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PENYIDIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN
Kolomban, Cindy
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yakni untuk mengetahui bagaimanakah tindak pidana perdagangan yang dapat dilakukan penyidikan oleh penyidik dan bagaimanakah penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Tindak pidana perdagangan yang dapat dilakukan penyidikan oleh penyidik, harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 104 sampai dengan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Pemberlakuan sanksi pidana atas tindak pidana perdagangan terdiri dari pidana penjara dan/atau pidana denda sesuai dengan jenis tindak pidana yang dilakukan. 2. Penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan dilakukan oleh penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.Kata kunci: tindak pidana; perdagangan; penyidik;
PENERAPAN PASAL 359 KUHP TERHADAP KECELAKAAN LALULINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Tewu, Dano Timothy Heaven
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan dan bagaimana penerapan tentang tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Peraturan hukum mengenai perkara kecelakaan lalu lintas di jalan raya sudah cukup jelas mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 14 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan Raya, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas. Namun pada saat perkembangan zaman yang serba teknologi pemerintah didesak untuk membuat suatu peraturan lalu lintas khusus terhadap anak. 2. Polisi memegang peran yang sangat penting dalam penanganan kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang menyebabkan luka ringan, luka berat dan bahkan meninggal dunia. Sebagai seorang Polisi dalam menyidik suatu kasus kecelakaan lalu lintas haruslah seimbang dengan penyidikan yang dilakukan oleh pelaku. Karena banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh Polisi baik dari segi fisik, mental dan masa depan para pihak. Setiap kesalahan harus dapat dipertanggungjawabkan, mampu bertanggungjawab merupakan masalah dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.Kata kunci: Penerapan, Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan.
ASAS CULPA IN CAUSA (PENYEBAB KESALAHAN) SEBAGAI PENGECUALIAN TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA MENURUT PASAL 49 AYAT (1) KUHP
Malasai, Landi
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas Culpa in Causa dalam pembelaan terpaksa (noorweer) dan bagaimana peran asas Culpa in Causa dalam hukum pidana Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Penerapan asas culpa in causa dalam pembelaan terpaksa berkenaan dengan unsur “pembelaan harus terpaksa†dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, di mana jika suatu serangan justru ditimbulkan oleh ulah atau provokasi orang itu sendiri yang menyebabkan orang lain menyerangnya, maka pembelaan diri yang dilakukannya itu sebenarnya bukan merupakan pembelaan yang bersifat terpaksa. 2. Peran asas Culpa in Causa dalam hukum pidana Indonesia merupakan sesuatu yang pada dasarnya dapat diterima karena seseorang seharusnya tidak berhak memperoleh manfaat dari kesalahan diri sendiri, sehingga berkurangnya kesadaran karena kesalahan diri akibat minuman beralkohol, penggunaan obat terlarang (narkotika dan psikotropika) ataupun ulah/provokasi yang memancing serangan, tidak boleh dimanfaatkan sebagai suatu alasan penghapus pidana.Kata kunci: Asas, Culpa In Causa (Penyebab Kesalahan), Pengecualian, Pembelaan Terpaksa.
KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Cahyadi, Alexander Liman
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan alat bukti elektronik di Indonesia yang menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian hukum pidana dan bagaimana pengecualian terhadap keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian hukum pidana di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pengaturan alat bukti elektronik di Indonesia yang menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian hukum pidana, yaitu dalam KUHAP belum diterima adanya alat bukti eletronik, tetapi alat bukti elektronik dapat diperlakukan sbagai barang buktu (corpus delicti), sedangkan dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus, alat bukti elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah walaupun masih ada perbedaan dalam merumuskan alat bukti elektronik tersebut dalam beberapa undang-undang yang bersangkutan. 2. Pengecualian terhadap keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian hukum pidana di Indonesia yaitu apabila alat bukrti elektronik tersebut diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, antara lain diperoleh bukan oleh atau atas perintah penegak hukum.Kata kunci: Keabsahan, Alat Bukti Elektronik, Pembuktian, Hukum Pidana.
EKSEPSI ATAS KEWENANGAN MENGADILI PERKARA PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Raifaldy, Jefier
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah bentuk dan prosedur diajukannya eksepsi dalam suatu Perkara Pidana menurut KUHAP dan bagaimanakah faktor yang dapat menyebabkan gugurnya kewenangan mengadili Perkara Pidana, di mana dengan berdasarkan metode penelitian hukumn normatif disimpulkan: 1. Eksepsi merupakan hak dari terdakwa yang diajukan penasehat hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP. Eksepsi atau keberatan merupakan dasar dari pembelaan yang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan secara tegas hal-hal yang dapat dilakukan eksepsi yakni dalam bentuk : Eksepsi atau keberatan tidak berwenang mengadili; eksepsi atau keberatan dakwaan tidak dapat diterima dan eksepsi atau keberatan surat dakwaan harus dibatalkan atau batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materil sebagaimana diatur dalam Pasal 144 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Proses pengajuan eksepsi hanya boleh diajukan terhadap hal-hal yang bersifat prosedural, eksepsi tidak diperkenankan menyentuh materi perkara yang akan diperiksa dalam sidang pengadilan yang bersangkutan, dengan perkataan lain eksepsi hanya ditunjukan kepada aspek formil yang berkaitan dengan penuntutan atau pemeriksaan perkara tersebut oleh pengadilan. 2. Gugurnya kewenangan mengadili perkara pidana dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya telah kadaluarsa (Pasal 78 KUHP), adanya asas nebis in idem, apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Dan apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.Kata kunci:Â eksepsi; perkara pidana;
PASAL 310 AYAT (3) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA SEBAGAI SUATU ALASAN PENGHAPUS PIDANA KHUSUS
Akay, Putra
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan Pasal 310 ayat (3) KUHP sebagai suatu alasan penghapus pidana khusus dan bagaimana kedudukan Pasal 310 ayat (3) KUHP sebagai dasar kekebalan penasihat hukum/Advokat setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan Pasal 310 ayat (3) KUHP sebagai alasan penghapus pidana khusus memuat dua hal yang bersifat umum yaitu perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, yang dapat diartikan “agar umum waspada kepada oknum yang dicemarkanâ€, atau terpaksa untuk membela diri, yang dapat diartikan “untuk menghindarkan diri dari suatu kerugian yang tidak semestinya menjadi bebannyaâ€.2. Kedudukan Pasal 310 ayat (3) KUHP dikaitkan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 3 Januari 1973 dalam kasus terdakwa Yap Thian Hien masih tetap relevan untuk masa sekarang sekalipun telah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat karena berlaku untuk semua penasihat hukum baik Advokat maupun bukan Advokat serta menekankan hal penting yaitu “asal saja perbuatan-perbuatan membela diri dilakukan dengan baik dan dengan cara yang tidak berlebihanâ€.Kata kunci:  Alasan Penghapus, Pidana Khusus
SISTEM PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
Misah, Frens H.
LEX CRIMEN Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan sistem pembuktian dan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan bagaimana efektivitas pembuktian tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pengaturan sistem pembuktian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu terhadap ketentuan umum sistem pembuktian KUHAP (Pasal 183 dihubungkan dengan Pasal 66) bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya; di mana kepada terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian; maka ketentuan khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu terdakwa ada dibebani kewajiban pembuktian, yakni menurut Pasal 77 dan Pasal 78 terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan pengaturan alat bukti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu selain alat bukti menurut KUHAP, juga sudah ditambah dengan alat bukti (dokumen) elektronik sebagai alat bukti. 2. Peran sistem pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 untuk meningkatkan efektivitas pembuktian terlihat dari beberapa putusan pengadilan di mana tidak dapatnya terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, telah digunakan oleh hakim untuk memperkuat pembuktian Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana asal (korupsi) dan tindak pidana pencucian uang. Sedangkan adanya alat bukti (dokumen) elektronik telah berperan penting sebagai dasar bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memeriksa dan melaporkan adanya aliran dana ke rekening terdakwa. Kata kunci: sistem pembuktian; alat bukti; pencucian uang;