cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
AL-MUQARANAH-Jurnal Program Studi Perbandingan Mazhab
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 2 (2025): AL MUQARANAH : JULI" : 5 Documents clear
PRAKTIK MAHAR SELAIN BENDA: PERSPEKTIF USHUL FIQH TERAPAN Nasution, Muhammad Hasan; Yuslem, Nawir; Khairi, Nispul
Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab Vol 3, No 2 (2025): AL MUQARANAH : JULI
Publisher : Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract:This research examines the application of non-material mahr (dower) in Islamic law through the lens of usul al-fiqh (Islamic legal theory). Mahr, as a mandatory gift from the groom to the bride in a marriage contract, is not limited to tangible assets but may also take the form of non-material benefits, such as the recitation or teaching of the Qur'an or a spiritual commitment. In contemporary Muslim communities, particularly among those who prioritize religious values and simplicity in marriage, the practice of non-material mahr has become increasingly accepted. This study employs a normative qualitative method with a juridical-theological and usul fiqh approach, using descriptive-analytical techniques based on primary sources (the Qur’an, Hadith, classical and contemporary Islamic legal texts) and secondary sources (scholarly journals and field observations). The findings indicate that non-material mahr is legally valid in Islamic jurisprudence, provided it brings benefit (maslahah), is mutually agreed upon, and does not contradict Islamic legal principles. From the perspective of usul al-fiqh, concepts such as maslahah mursalah, istihsan, and ‘urf justify and strengthen the permissibility and social relevance of non-material mahr. This form of mahr offers a practical and spiritually meaningful solution to modern marital challenges while aligning with the objectives of Islamic law (maqasid al-shari‘ah). Keywords: Mahr Non material, Usul al-Fiqh, Maslahah, Istihsan, ‘Urf Abstrak:Penelitian ini mengkaji penerapan mahar nonmateri dalam hukum Islam melalui sudut pandang ushul fiqh (teori hukum Islam). Mahar, sebagai pemberian wajib dari mempelai pria kepada mempelai wanita dalam suatu akad nikah, tidak terbatas pada harta berwujud, tetapi juga dapat berupa manfaat nonmateri, seperti pembacaan atau pengajaran Al-Qur'an atau komitmen spiritual. Dalam masyarakat Muslim kontemporer, khususnya di kalangan yang mengutamakan nilai-nilai agama dan kesederhanaan dalam perkawinan, praktik mahar nonmateri semakin diterima. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif normatif dengan pendekatan yuridis-teologis dan ushul fiqh, dengan menggunakan teknik deskriptif-analitis berdasarkan sumber-sumber primer (Al-Qur'an, Hadits, teks-teks hukum Islam klasik dan kontemporer) dan sumber-sumber sekunder (jurnal-jurnal ilmiah dan pengamatan lapangan). Temuan penelitian menunjukkan bahwa mahar nonmateri sah secara hukum dalam yurisprudensi Islam, dengan syarat membawa manfaat (maslahah), disepakati bersama, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Dari perspektif ushul fiqh, konsep-konsep seperti maslahah mursalah, istihsan, dan ‘urf membenarkan dan memperkuat kebolehan dan relevansi sosial dari mahar non-material. Bentuk mahar ini menawarkan solusi praktis dan bermakna secara spiritual terhadap tantangan perkawinan modern sekaligus sejalan dengan tujuan hukum Islam (maqasid al-shari‘ah).Kata kunci: Mahar Non material, Usul al-Fiqh, Maslahah, Istihsan, ‘Urf
Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Perkembangan Emosional Anak Aditya, Panca; Mubarok, Ahmad Raihan; Situmorang, M Rizqi; Khoir, Achmad Faatihul
Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab Vol 3, No 2 (2025): AL MUQARANAH : JULI
Publisher : Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study aims to investigate the impact of authoritarian parenting on children’s emotional development. The problem addressed in this research concerns how strict parenting styles affect children's ability to regulate and express emotions in a healthy manner. Using a qualitative approach with a case study method, the research involved five children aged 6–12 years and their parents who exhibit authoritarian parenting behaviors. Data were collected through in-depth interviews, participatory observation, and documentation, and were analyzed using the interactive model by Miles and Huberman. The findings indicate that children raised under authoritarian parenting tend to be emotionally suppressed, anxious, and have difficulty expressing their feelings. They also show signs of fear and hesitation in communicating with their parents. In contrast, some children develop passive-aggressive tendencies as a coping mechanism. These results support previous findings on the negative psychological impacts of authoritarian parenting and highlight the need for more emotionally supportive parenting practices. The study concludes that authoritarian parenting has a significant negative influence on the emotional well-being of children. Recommendations include promoting parenting education that balances discipline with empathy and emotional nurturing, especially in Muslim families where parenting is often influenced by cultural and religious values.Keywords: authoritarian parenting, emotional development, children, parenting style, qualitative study Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pola asuh otoriter terhadap perkembangan emosional anak. Masalah yang diamati dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana pola pengasuhan yang ketat memengaruhi kemampuan anak dalam mengelola dan mengekspresikan emosi secara sehat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, melibatkan lima anak berusia 6–12 tahun beserta orang tuanya yang menerapkan pola asuh otoriter. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi, kemudian dianalisis menggunakan model interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang diasuh secara otoriter cenderung mengalami penekanan emosi, merasa cemas, dan kesulitan mengekspresikan perasaannya. Anak juga menunjukkan tanda-tanda ketakutan dalam berkomunikasi dengan orang tua. Di sisi lain, sebagian anak mengembangkan kecenderungan agresif pasif sebagai bentuk respons terhadap tekanan yang dialami. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya mengenai dampak negatif psikologis dari pola asuh otoriter, serta menekankan pentingnya praktik pengasuhan yang lebih mendukung kebutuhan emosional anak. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pola asuh otoriter memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan emosional anak. Rekomendasi yang diajukan meliputi perlunya pendidikan pengasuhan yang menyeimbangkan antara disiplin dan empati, terutama dalam konteks keluarga muslim yang dipengaruhi nilai-nilai budaya dan agama.Kata Kunci: pola asuh otoriter, perkembangan emosional, anak, gaya pengasuhan, studi kualitatif
Analisis Madzhab Syaf’i Dan Hanafi Tentang Batasan Usia Perkawinan Hanifah, Abu; Nasa, Raihan; Hafiz, Maulan Abdul
Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab Vol 3, No 2 (2025): AL MUQARANAH : JULI
Publisher : Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Determining the age limit for marriage is an important issue in Islamic law because it is closely related to the physical, mental, and social maturity of the prospective bride and groom. This article examines a comparison of the views of the Shafi'i and Hanafi schools of thought particularly the opinion of Imam Abu Hanifah regarding the age of puberty as a condition for a valid marriage contract. The research method used is normative research with a juridical-empirical approach through a literature study of classical fiqh literature and positive legal regulations in Indonesia. The results of the study show that the Shafi'i school of thought sets the maximum age of puberty at 15 years for both males and females, while Imam Abu Hanifah sets it at 18 years for males and 17 years for females. Although both agree that the validity of marriage is not only determined by age, but also by the attainment of puberty and the ability to bear household responsibilities, the modern context demands the strengthening of legal protection for children through restrictions on the minimum age of marriage. Based on an analysis of maqāṣid al-syarī‘ah, Imam Shafi'i's opinion, which focuses on puberty as an indicator of maturity with adjustments to health and psychological standards is considered the most valid to be integrated into the contemporary family law system.Keywords: Minimum Age for Marriage, Islamic Law, Shafi'i School of Thought, Hanafi School of Thought, Maqasid al-Shari'ah Abstrak:Penentuan batas usia perkawinan merupakan isu penting dalam hukum Islam karena berkaitan erat dengan kematangan fisik, mental, dan sosial calon mempelai. Artikel ini mengkaji perbandingan pandangan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi khususnya pendapat Imam Abu Hanifah mengenai batas usia baligh sebagai syarat sahnya akad nikah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan pendekatan yuridis-empiris melalui studi pustaka terhadap literatur fikih klasik dan regulasi hukum positif di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa Mazhab Syafi’i menetapkan usia baligh maksimal 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan, sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Meskipun keduanya sepakat bahwa syarat sah nikah tidak hanya ditentukan oleh usia, melainkan pada tercapainya baligh dan kemampuan memikul tanggung jawab rumah tangga, konteks modern menuntut penguatan perlindungan hukum bagi anak melalui pembatasan usia minimal perkawinan. Berdasarkan analisis maqāṣid al-syarī‘ah, pendapat Imam Syafi’i yang berfokus pada baligh sebagai indikator kematangan—dengan penyesuaian terhadap standar kesehatan dan psikologis—dinilai paling rajih untuk diintegrasikan dalam sistem hukum keluarga kontemporer.Kata Kunci: Batas Usia Perkawinan, Hukum Islam, Mazhab Syafi’I, Mazhab Hanafi, Maqāṣid al-Syarī‘ah 
Urgensi Wahdatul Ulum dalam Reformasi Hukum: Perspektif Antara Ilmu Hukum dan Ilmu Keislaman At Thaariq, Dimas
Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab Vol 3, No 2 (2025): AL MUQARANAH : JULI
Publisher : Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Wahdatul Ulum, a concept that emphasizes the unity of knowledge, plays an important role in the context of legal reform, especially when viewed from the perspective of Islamic law and jurisprudence. This abstract explores the urgency of Wahdatul Ulum in contemporary legal discourse, highlighting its potential to bridge the gap between secular legal systems and Islamic legal traditions. By fostering a holistic understanding of law that combines legal science and Islamic principles, Wahdatul Ulum can contribute to the development of a more just and comprehensive legal framework. This approach is particularly relevant in Muslim-majority societies where the need to align modern legal systems with deeply rooted Islamic values is increasingly pressing. This research further investigates the challenges and potential opportunities associated with the implementation of Wahdatul Ulum in legal reform. This research examines how this concept can play an important role in addressing contemporary legal issues, such as human rights, gender equality, and economic justice, while remaining faithful to the core principles of Islamic jurisprudence. By promoting interdisciplinary dialogue and collaboration between legal scholars and Islamic scholars, Wahdatul Ulum can facilitate the creation of legal solutions that are based on Islamic traditions and responsive to the evolving needs of modern society.Keywords: Wahdatul ulum, Sience law, IslamicAbstrakWahdatul Ulum sebuah konsep yang menekankan kesatuan pengetahuan, memainkan peran penting dalam konteks reformasi hukum, terutama jika dilihat dari perspektif hukum dan yurisprudensi Islam. Abstrak ini mengeksplorasi urgensi Wahdatul Ulum dalam wacana hukum kontemporer, menyoroti potensinya untuk menjembatani kesenjangan antara sistem hukum sekuler dan tradisi hukum Islam. Dengan menumbuhkan pemahaman holistik tentang hukum yang menggabungkan ilmu hukum dan prinsip-prinsip Islam, Wahdatul Ulum dapat berkontribusi pada pengembangan kerangka hukum yang lebih adil dan komprehensif. Pendekatan ini sangat relevan dalam masyarakat mayoritas Muslim di mana kebutuhan untuk menyelaraskan sistem hukum modern dengan nilai-nilai Islam yang berakar kuat semakin mendesak. Penelitian ini menyelidiki lebih lanjut tantangan dan potensi peluang yang terkait dengan implementasi Wahdatul Ulum dalam reformasi hukum. Penelitian ini mengkaji bagaimana konsep ini dapat memainkan peran penting dalam menangani isu-isu hukum kontemporer, seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keadilan ekonomi, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama fikih Islam. Dengan mempromosikan dialog interdisipliner dan kolaborasi antara para sarjana hukum dan sarjana Islam, Wahdatul Ulum dapat memfasilitasi terciptanya solusi hukum yang didasarkan pada tradisi Islam dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern yang terus berkembang.Kata Kunci: Wahdatul Ulum, Ilmu Pengetahuan Hukum, Islam
Kajian Komparatif Tentang Pencatatan Nikah Dalam Madzhab Syafi'i Dan Hanafi Aditya, Panca; Hasby, Muhammad Abdillah; Bangun, Asnaria Cevinta
Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab Vol 3, No 2 (2025): AL MUQARANAH : JULI
Publisher : Al-Muqaranah : Jurnal Perbandingan Hukum dan Mazhab

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study explores the similarities and differences in the perspectives of two major Islamic legal schools Syafi’i and Hanafi on marriage registration. While classical Islamic jurisprudence does not consider formal registration as a prerequisite for a valid marriage, modern legal systems view registration as essential for ensuring legal protection. The aim of this research is to analyze how both schools interpret the concept of marriage registration and relate their views to contemporary legal frameworks in Muslim-majority countries such as Indonesia. The study employs a qualitative, normative-comparative method using literature analysis from classical fiqh texts and modern academic sources. The findings reveal that the Syafi’i school maintains that marriage is valid without formal registration as long as the religious pillars are met. In contrast, the Hanafi school demonstrates greater flexibility, considering administrative registration as legally necessary when public interest (maslahah) is involved. The discussion highlights the importance of contextualizing classical jurisprudence within modern realities, advocating for a reinterpretation of Islamic law through the lens of maqashid al-shariah. This approach supports state-mandated registration as a means to protect women's and children's rights and ensure legal certainty. Therefore, marriage registration should not merely be seen as an administrative act but as a critical component of social and legal protection in contemporary Muslim societies.Keywords: marriage registration, Syafi’i school, Hanafi school, Islamic law, maqashid al-shariah.Abstrak:Penelitian ini membahas perbedaan dan persamaan pandangan dua madzhab utama dalam fiqh Islam, yaitu Syafi’i dan Hanafi, terhadap pencatatan nikah. Dalam konteks hukum Islam klasik, pencatatan nikah bukan merupakan syarat sah, namun dalam praktik hukum modern, pencatatan menjadi instrumen penting untuk menjamin kepastian hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah pendapat fiqhiyah kedua madzhab mengenai urgensi pencatatan nikah serta mengaitkannya dengan konteks hukum positif kontemporer, khususnya di negara-negara Muslim seperti Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan normatif-komparatif, melalui kajian pustaka terhadap literatur klasik dan kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Madzhab Syafi’i tidak menjadikan pencatatan sebagai bagian dari keabsahan nikah secara syar’i, sementara Madzhab Hanafi lebih terbuka terhadap pencatatan sebagai bagian dari kemaslahatan hukum. Dalam pembahasan, disimpulkan bahwa pencatatan nikah dapat diberlakukan sebagai kewajiban legal oleh negara demi perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak. Kajian ini memberikan kontribusi dalam memahami relevansi fiqh klasik dalam konteks modern serta urgensi reinterpretasi hukum Islam melalui pendekatan maqashid al-shariah. Dengan demikian, pencatatan nikah tidak hanya berfungsi administratif, tetapi juga sebagai bagian integral dari perlindungan sosial dan hukum dalam masyarakat Muslim.Kata Kunci: pencatatan nikah, madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi, hukum Islam, maqashid al-shariah

Page 1 of 1 | Total Record : 5