Articles
16 Documents
Search results for
, issue
"Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum"
:
16 Documents
clear
Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Migran
Se tiono
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (694.844 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1708
Pekerja Migran Indonesia (PMI) memiliki peran yang cukup penting dalam pembangunan ekonomi lokal maupun nasional. Namun perhatian pada perlindungan hukum terhadap buruh migran Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri masih belum maksimal dan dianggap masih menjadi dilema. Bahkan kebijakan publik itu sendiri dirasa masih ambivalen, karena implementasi dari kebijakan tersebut belum mengena pada sasaran secara tepat. Nyatanya Pekerja Migran Indoensia masih mengalami berbagai permasalahan-permasalahan yang cukup dilema, baik itu secara sosial ataupun hukum
Kebiri Kimiawi Dalam Perspektif Hukum Islam
Wahyudi Wahyudi
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (589.673 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1551
Abstract Increased sexual violence against children can jeopardize the survival of a nation, child development will be disrupted if experienced sexual violence. The government has an important role to protect children as assets of the next generation one of the forms of protection as a deterrent effect for perpetrators of sexual violence against children by giving a weighting penalty with chemical castration punishment. Even though the Indonesian State is not an Islamic State, the majority of the population is Muslim, so that in every decision of the laws and regulations, especially those related to chemical castration punishment are in connecting with Islamic law. This study uses a normative juridical method, which is assessed by the the statute approach meaning that a problem will be seen from the legal aspect by examining the laws and regulations, in addition to that also by the method of library research. The results of this study concluded that the chemical castration penalty contained in Articles 81 and 82 of Constitutions Number 17 Year 2016 Regarding the Establishment of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2016 Regarding the Second Amendment of Law Number 23 Year 23 concerning Child Protection. Chemical castration according to Islamic Law is unlawful based on the Qur'an and Sunnah which is the highest legal source of Islamic law. In various books of the hadith Bukhari and Muslim explained that Rasulallah SAW forbade castration to humans.
Paradigma HAM dalam Pembatasan Organisasi Masyarakat KeagamaanKontra Pancasila
Faiq Tobroni
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (716.964 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1701
Abstrak Penelitian ini mengungkap paradigma HAM di balik pembatasan organisasi masyarakat keagamaan yang kontra terhadap Pancasila. Dengan metode penelitian kualitatif, penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut. Hak berorganisasi memang telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Kegiatan berorganisasi juga berkonsekuensi kepada pelaksanaan hak meyakini kepercayaan (Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945) yang artinya sama saja merupakan perwujudan hak berorganisasi keagamaan dalam konteks organisasi tersebut merupakan wadah kegiatan beragama. Akan tetapi, negara juga bisa saja membatasi (baca: membubarkan) organisasi keagamaan yang kegiatannya bertentangan dengan Pancasila sesuai amanat Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Konstitusionalitas pembatasan HAM atas berorganisasi keagamaan tersebut mendapatkan legitimasi teoritisnya dengan paradigma HAM universalisme relatif. Abstract This research reveals the human rights paradigm behind the restrictions on the religious organization that are counter to Pancasila. With qualitative research methods, this study produced the following findings. The right to organize has indeed been guaranteed in Article 28 of the 1945 Constitution. Organizational activities also have consequences for the exercise of the right to believe the faith (Article 28E Paragraph (2) of the 1945 Constitution), which means an embodiment of the right to perform in a religious organization in the context of the organization as a container for religious activities. However, the state can also limit (read: dissolve) religious organizations whose activities are contrary to Pancasila in accordance with the mandate of Article 28J Paragraph (2) of the 1945 Constitution. The constitutionality of human rights restrictions on religious organization is gaining theoretical legitimacy with the human rights paradigm of relative universalism.
Menggali Dan Menemukan Konsep Maqasid Syari’ah Dalam Pohon Ilmu Hukum Indonesia
Nurul Ma'rifah
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (801.885 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1707
Hukum Islam merupakan hukum yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat Islam berdasarkan pada hukum syara’, illat-illat dan hikmah pembuatannya, dengan kata lain hukum Islam harus sejalan dengan maqasid syari’ah yang senantiasa berdasarkan pada kemaslahatan manusia. Sasaran Islam adalah dasar perundangan dan target moral yang paling luhur. Dasar yang bersifat moral ini berdasarkan kepada sikap menghormati kehidupan, melanggengkan kebaikan, dan memusnahkan kejahatan. Dari dasar ini ditegaskan dua hal berikut:Pertama, penegasan yang mendalam akan pekerjaan dan kehidupan. Penegasan ini menyimpulkan bahwa manusia harus bekerja demi menjaga agama, hidup, harta, keturunan, dan akalnya.Kedua, target maksimal yang termasuk faktor yang bersifat moralitas. Apabila penegasan pertama merupakan inti kehidupan maka penegasan kedua ini merupakan inti agama. Harta dan cara menghasilkannya dengan cara yang halal, serta menjaganya merupakan tujuan utama kehidupan
MPR Di Persimpangan Jalan: Refleksi Paradigmatik Penguatan Kelembagaan MPR Pasca Amendemen UUD 1945
M Imam Nasef
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (847.233 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1705
Amendemen UUD 1945 telah menghasilkan perubahan yang sangat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amendemen tersebut telah mereposisi kedaulatan rakyat yang sebelumnya berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikembalikan lagi kepada rakyat yang pelaksanaannya tunduk pada konstitusi. Implikasinya, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, sebab hubungan antar lembaga negara tidak lagi bersifat vertikal-hirarkis, akan tetapi lebih bersifat horizontal-fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (checks and balances). Itulah paradigma ketatanegaraan yang diadopsi setelah amendemen UUD 1945. Namun dalam perjalannya sistem yang demikian itu mulai menimbulkan persoalan, sehingga muncul wacana untuk memperkuat kembali kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan. Dalam upaya mewujudkan kelembagaan MPR yang lebih kuat, sebenarnya MPR memiliki banyak alternatif pilihan jalan yang bisa ditempuh. Akan tetapi, tentu tidak mudah mewujudkan hal tersebut, mengingat amendemen UUD 1945 telah merubah secara fundamental sistem ketatanegaraan Indonesia.
Intersection Principles Between Islamic And International Humanitarian Law
Himmah A'la Rufaida
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (732.583 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1632
Abstract The universal nature as inherent in Islamic Law and International Humanitarian Law makes these two laws often compared. The comparison in terms of the principles between the two legal instruments is very interesting considering they both originate from two poles of thought which are always competing and without being insulated by space. There is no law that is permanent and final, that is what happened to those two legal methods. Law develops according to the era without reducing values. Islamic values were born much earlier than International Humanitarian Law. The basic principles of Islamic Law concerning the relationship of humanity in society between nations and nations during wars have become a strong foundation for international humanitarian law norms. For example, such as legal principles that contain the principles of equality, freedom, peace, humanity and so on
Transformasi Negosiasi Dalam Penyelesaian Sengketa E-Commerce Di Era Digital
Ikhwan Fuad Ahsan;
Lukman Santoso
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (692.398 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1703
E-commerce merupakan bentuk transaksi perdagangan yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan e-commerce di Indonesia juga menimbulkan masalah-masalah yang baru. Dari data YLKI, didapati bahwa pengaduan terhadap e-commerce menempati peringkat ketiga dari 781 pengaduan langsung dan 1.038 pengaduan melalui telepon. Di mana salah satu permasalahan utamanya adalah penyelesaian sengketa. Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai cara penyelesaian sengketa e-commerce. Sehingga para pihak memiliki kebebasan dalam memilih penyelesaian sengketa berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Negosiasi merupakan penyelesaian sengketa yang paling dasar yang dilakukan tanpa adanya pihak ketiga. Sehingga rahasia para pihak tetap terjaga. Namun dalam e-commerce dimungkinkan para pihak berada di tempat yang jauh di mana membutuhkan biaya dan waktu yang cukup banyak untuk melakukan pertemuan dan negosiasi langsung. Sedangkan dalam negosiasi online tidak terhalang oleh tempat, batas waktu dan biaya. Para pihak hanya dituntut untuk melakukan penawaran dan permintaan secara online dalam menentukan penyelesaian sengketa yang dipilih. Efektifitas dan efiensi begitu nampak dalam negosiasi online. Namun dalam negosiasi online tidak ada sentuhan kemanusiaan sehingga tidak ada aspek emosional antara para pihak yang memberikan kesan yang berbeda.
Penentuan Kriteria Tindak Pidana Penghinaan Pasal 45 Ayat (1) Juncto Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
Ari Wibowo
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (584.843 KB)
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1709
Tindak pidana penghinaan yang dilakukan menggunakan sarana elektronik diatur dalam Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Beberapa kasus tindak pidana tersebut menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, khususnya menyangkut perbedaan kriteria tindak pidana penghinaan dengan kritik yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Penelitian ini bertujuan melakukan analisis terhadap putusan pengadilan bagaimana hakim dalam menentukan kriteria tindak pidana penghinaan. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan pendekatan kasus dan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria tindak pidana penghinaan dalam putusan pengadilan meliputi: isi ujaran, cara menyampaikan ujaran, apakah ujaran tersebut sesuai fakta atau tidak, etika Bahasa yang digunakan dalam ujaran, sumber ujaran, kedudukan korban, perasaan korban, dan dampak ujaran bagi masyarakat.
Kebiri Kimiawi Dalam Perspektif Hukum Islam
Wahyudi, Wahyudi
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1551
Abstract Increased sexual violence against children can jeopardize the survival of a nation, child development will be disrupted if experienced sexual violence. The government has an important role to protect children as assets of the next generation one of the forms of protection as a deterrent effect for perpetrators of sexual violence against children by giving a weighting penalty with chemical castration punishment. Even though the Indonesian State is not an Islamic State, the majority of the population is Muslim, so that in every decision of the laws and regulations, especially those related to chemical castration punishment are in connecting with Islamic law. This study uses a normative juridical method, which is assessed by the the statute approach meaning that a problem will be seen from the legal aspect by examining the laws and regulations, in addition to that also by the method of library research. The results of this study concluded that the chemical castration penalty contained in Articles 81 and 82 of Constitutions Number 17 Year 2016 Regarding the Establishment of Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2016 Regarding the Second Amendment of Law Number 23 Year 23 concerning Child Protection. Chemical castration according to Islamic Law is unlawful based on the Qur'an and Sunnah which is the highest legal source of Islamic law. In various books of the hadith Bukhari and Muslim explained that Rasulallah SAW forbade castration to humans.
Intersection Principles Between Islamic And International Humanitarian Law
Rufaida, Himmah A'la
Istinbath : Jurnal Hukum Vol 16 No 2 (2019): Istinbath : Jurnal Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.32332/istinbath.v16i2.1632
Abstract The universal nature as inherent in Islamic Law and International Humanitarian Law makes these two laws often compared. The comparison in terms of the principles between the two legal instruments is very interesting considering they both originate from two poles of thought which are always competing and without being insulated by space. There is no law that is permanent and final, that is what happened to those two legal methods. Law develops according to the era without reducing values. Islamic values were born much earlier than International Humanitarian Law. The basic principles of Islamic Law concerning the relationship of humanity in society between nations and nations during wars have become a strong foundation for international humanitarian law norms. For example, such as legal principles that contain the principles of equality, freedom, peace, humanity and so on