cover
Contact Name
Syarifah Gustiawati Mukri
Contact Email
mizan@uika-bogor.ac.id
Phone
+6281289705595
Journal Mail Official
mizan@uika-bogor.ac.id
Editorial Address
Fakultas Agama Islam UIKA Bogor Jl. H. Sholeh Iskandar Bogor Jawa Barat
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Mizan: Journal of Islamic Law
ISSN : 2598974X     EISSN : 25986252     DOI : 10.32507
Mizan: Journal of Islamic Law is a peer-reviewed journal on Islamic Family Law, Syari’ah and Islamic Studies his journal is published by the Islamic Faculty, Ibn Khaldun University of Bogor, in partnership with APSI (Association of Islamic Indonesia Lawyer). Editors welcome scholars, researchers and practitioners of Islamic Law around the world to submit scholarly articles to be published through this journal. All articles will be reviewed by experts before accepted for publication. Each author is solely responsible for the content of published articles. This journal encompasses original research articles, review articles, and short communications, including Islamic Family Law, Syari’ah, and Islamic Studies.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 243 Documents
Kewenangan Presiden dalam Pemberian Grasi Kepada Terpidana Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif Perspektif Fiqih Siyasah Jihadini Nur Azizah; Siti Ngainnur Rohmah
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 2 (2022): Mizan: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i2.1617

Abstract

Clemency is generally known as a pardon granted to a convict. The president has the authority to grant clemency. In Indonesia, the president grants pardons to convicts of ordinary crimes and those convicted of extraordinary crimes. One of the grants of clemency by the president to convicts of extraordinary crimes is the granting of clemency to drug convicts. The granting of clemency or the refusal of granting clemency by the president to drug cases has received various criticisms and responses from the public. In addition, the term granting clemency has been known during the reign of Islam. However, the granting of clemency to drug convicts had never happened at that time. Therefore, the author will analyze further the president's authority in granting clemency to drug convicts from a fiqh siyasah perspective. The data used in this research are laws and regulations, books, journals, scientific writings, dictionaries, and so on related to the title of this research. The results of this study are the authority of the president in granting clemency to drug convicts according to Indonesian laws and regulations. The granting of clemency to drug convicts does not violate the laws and regulations in Indonesia and the absence of laws and regulations prohibiting the granting of clemency by the president to drug convicts. In the perspective of siyasah fiqh, granting clemency to drug convicts can also be carried out and is the authority of the head of state or president in which the granting of clemency must aim for the benefit of the people. In granting clemency to drug convicts, the president must also really consider the impact and dangers of granting clemency.Keywords: Authority; President; Clemency; Drugs; Fiqh Siyasah AbstrakGrasi dikenal secara umum sebagai pengampunan yang diberikan kepada terpidana. Kewenangan pemberian grasi dimiliki oleh presiden. Di Indonesia, presiden memberikan grasi kepada terpidana kasus kejahatan biasa maupun terpidana kasus kejahatan luar biasa. Salah satu pemberian grasi oleh presiden kepada terpidana kasus kejahatan luar biasa adalah pemberian grasi kepada terpidana narkoba. Pemberian grasi ataupun penolakan pemberian grasi oleh presiden terhadap kasus narkoba mendapatkan berbagai kritikan dan tanggapan dari masyarakat. Selain itu, istilah pemberian grasi telah dikenal pada masa pemerintahan Islam. Akan tetapi, pemberian grasi kepada terpidana narkoba belum pernah terjadi pada masa itu. Oleh sebab itu, penulis akan menganalisis lebih lanjut mengenai kewenangan presiden dalam pemberian grasi kepada terpidana narkoba perspektif fiqih siyasah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, tulisan-tulisan ilmiah, kamus dan lain sebagainya yang terkait dengan judul penelitian ini. Hasil penelitian ini adalah kewenangan presiden dalam pemberian grasi kepada terpidana narkoba menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilakukan. Pemberian grasi kepada terpidana narkoba tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia dan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang melarang pemberian grasi oleh presiden kepada terpidana narkoba. Dalam perspektif fiqih siyasah, pemberian grasi kepada terpidana narkoba juga dapat dilakukan dan merupakan kewenangan dari kepala negara atau presiden yang mana dalam pemberian grasi tersebut harus bertujuan untuk kemaslahatan umat. Dalam pemberian grasi kepada terpidana narkoba, presiden juga harus benar-benar mempertimbangkan dampak dan bahaya akibat pemberian grasi tersebut.Kata Kunci: Kewenangan; Presiden; Grasi; Narkoba; Fiqih Siyasah 
Sanksi Hukum Bagi Suami Yang Menelantarkan Anak Pasca Perceraian (Studi Komparatif Antara Hukum Islam dan Hukum Positif) Bunga Nur Fauziyah; Yono Yono; Ahmad Mulyadi Kosim
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 2 (2022): Mizan: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i2.1427

Abstract

The breakup of the marriage bond between husband and wife due to divorce does not actually become a barrier for both parents to escape their responsibilities towards their children. A father is still burdened with the same responsibility for his child in terms of providing maintenance as well as being the legal guardian of his daughter. Deliberate neglect of children is not only in the form of neglecting the child's livelihood but also all forms of actions that decide the rights of the child that he should get from his parents. Therefore, the purpose of this study is to find out about the rights of a child after parental divorce, legal sanctions for fathers who abandon children, and the similarities and differences between Islamic law and positive law regarding legal sanctions for fathers who abandon children after divorce. In conducting the research the author uses a normative juridical approach with a comparative descriptive research method. The data in this study are sourced from primary and secondary data which include; the Quran hadith, laws, law books, and the Criminal Code. The results showed that child neglect is an act that is prohibited and classified as a criminal act listed in Law no. 23 of 2004. In Islamic law and positive law, child neglect can be subject to sanctions and has a bad impact on children. The two laws clearly state that every crime will be recompensed in kind. Sanctions for child neglect in positive law are in the form of imprisonment or fines. Islam categorizes this action into Jarimah ta`zir whose form and level are left to ulil amri or the party authorized to determine the punishment.Keywords: Legal Sanctions; Child Abandonment; Divorce  Abstrak.Putusnya ikatan Pernikahan antara suami dan istri akibat perceraian sejatinya tidak menjadi penghalang bagi kedua orang tua untuk berlepas diri dari tanggung jawab terhadap anaknya. Seorang ayah masih dibebani tanggung jawab yang sama atas anaknya dalam hal pemberian nafkah serta menjadi wali yang sah bagi putrinya. Tindakan penelantaran anak yang dilakukan dengan penuh kesengajaan tidak hanya berupa pengabaian nafkah bagi anak, namun juga segala bentuk tindakan yang memutuskan hak-hak atas diri anak yang seharusnya ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui tentang hak-hak seorang anak pasca perceraian orang tua, sanksi hukum bagi ayah yang menelantarkan anak serta persamaan dan perbedaan hukum Islam dan hukum positif mengenai sanksi hukum bagi ayah yang menelantarkan anak pasca perceraian. Dalam melakukan penelitian penulis menggunakan pendekatan yuridis normative  dengan metode penelitian deskriptif komparatif. Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder yang meliputi; quran  hadits, Undang-undang, buku hukum dan KUHP. Hasil penelitian menunjukan bahwa Penelantaran anak merupakan suatu tindakan yang dilarang dan tergolong sebagai suatu tindak pidana yang tercantum dalam UU no 23 tahun 2004. Dalam hukum Islam maupun hukum positif penelantaran  anak dapat di kenakan sanksi dan mempunyai dampak yang buruk pada anak. Kedua hukum tersebut dengan tegas menerangkan bahwa setiap tindakan kejahatan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Sanksi pada tindakan penelantaran anak dalam hukum positif berupa penjara maupun denda. Adapun Islam mengkategorikan tindakan ini  kedalam jarimah ta`zir yang bentuk dan kadarnya diserahkan pada ulil amri atau pihak yang berwenang menetapkan hukuman. Kata Kunci: Sanksi Hukum; Penelantaran Anak; Perceraian
Menelusuri Makna Kebencian Antar Golongan Dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Yusman Yusman; Yusika Riendy
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 2 (2022): Mizan: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i2.1676

Abstract

The role of information and communication technology in the era of globalization has placed it in a very strategic position because it presents a world without boundaries, distance, space, and time which has an impact on increasing productivity and efficiency. The reason for the freedom to express opinions in public as stated in Article 28 of the 1945 Constitution and strengthened by Law Number 9 of 1998 concerning Freedom to Express Opinions in Public, so that it can be used as an excuse for account owners to post anything in accordance with the law. their will. As a result, the war of ridicule and insults on social networks is getting bigger. Accounts that provoke will actually be more satisfied with hot comments commenting on the status of their account. Ethnicity, religion, race, and intergroup (SARA) are social elements that have an important role in human life, therefore, the freedom of each party must be respected and guaranteed. The freedom of every society in developing individuals or groups can make a person able to eliminate discrimination; violation of the rights of every community; coercion that would interfere with a person's freedom. For example, some cases of posting can break the relationship between people of the nation.Keywords: Hate, Information; Electronic AbstrakPeranan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi telah menempatkan pada posisi yang amat strategis karena menghadirkan suatu dunia tanpa batas, jarak, ruang, dan waktu yang berdampak pada peningkatan produktivitas dan efisiensi. Dengan adanya alasan kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum seperti yang tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, sehingga dapat dijadikan alasan bagi para pemilik akun untuk memposting apapun sesuai kehendak mereka. Hasilnya, perang ejekan dan hinaan di jejaring sosial menjadi semakin besar. Akun yang memprovokasi justru akan semakin puas dengan komentar-komentar panas yang mengomentari status akunnya. Suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan elemen sosial yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, oleh sebab itu, kebebasan setiap pihak harus dihargai dan dijamin. Kebebasan setiap masyarakat dalam mengembangkan individu atau kelompok dapat menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi; pelanggaran terhadap hak setiap masyarakat; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang. Sebagai contoh beberapa kasus postingan yang dapat memecahkan hubungan antar umat berbangsa.Kata Kunci: Kebencian; Informasi; Teknologi
Batas Kebebasan Pers dan Hatespeech di Indonesia Dalam Demokrasi dan Fiqh Siyasah Haeru Risman; Abdur Rahim; Siti Ngainnur Rohmah
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 2 (2022): Mizan: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i2.1619

Abstract

Freedom of the press is the fourth pillar of a free democracy that will lead to an intelligent, wise and clean government. Through the freedom of government performance can be known, so that the mechanism of checks and balances, control over power, as well as the community itself. But in fact, press freedom sometimes causes hate speech. This paper provides an understanding of how the limits of press freedom and Hate Speech in a democracy and how the limits of press freedom and Hate Speech in fiqh siyasah. This research uses literature study method. Conclusion (1) Freedom of the press is limited in the Law of the Republic of Indonesia Number 40 of 1999 concerning the Press and the Law of the Republic of Indonesia Number 32 of 2002 concerning Broadcasting. Press freedom is also limited so as not to violate human rights. (2) Limitations on press freedom in siyasa fiqh are those that bind all rights that lead to broad problems, as stated in QS Al-Hujurat paragraph 12. Hate speech which can be categorized as slander in siyasa can be sentenced to ta'zir because it interferes with the public good.Keywords: Press Freedom; Hate Speech; Fiqh Siyasah AbstrakKebebasan pers merupakan pilar keempat demokrasi kebebasan yang akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan kinerja pemerintah dapat diketahui, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Namun faktanya, kebebasan pers terkadang menimbulkan hate speech. Tulisan ini memberikan pemahaman tentang bagaimana batas kebebasan pers dan Hate Speech dalam demokrasi dan bagaimana batas kebebasan pers dan Hate Speech dalam fiqh siyasah. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Kesimpulan (1) Kebebasan pers dibatasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. (2) Batasan kebebasan pers dalam fiqh siyasah adalah yang mengikat semua hak yang bermuara pada kemasalahatan luas, seperti yang termaktub dalam QS Al-Hujurat ayat 12. Ujaran kebencian (Hate Speech) yang dapat dikategorikan sebagai fitnah dalam siyasah dapat dijatuhi hukuman ta’zir karena mengganggu kemaslahatan umum.Kata Kunci: Kebebasan Pers; Hate Speech; Fiqh Siyasah 
Implementasi Harmonisasi Akad Perbankan Syariah dengan Hukum Positif di Indonesia Ahmad Mukri Aji; Syarifah Gustiawati Mukri; Gilang Rizki Aji Putra
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 2 (2022): Mizan: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i2.1639

Abstract

Artikel ini mengeksplorasi tentang penerapan Akad Syariah pada Produk Perbankan Syariah yang diharmonisasi dengan hukum positif. Penelitian ini akan membahas segala problematika dan permasalahan penerapan fikih muamalah/ fatwa dalam konteks hukum positif di Indonesia. Selama kurun waktu sejak adanya bank syariah di Indonesia, semua transaksi pembiayaan yang terjadi di lingkungan perbankan syariah saat ini, khususnya dalam pembuatan akad atau perjanjian lebih banyak dipengaruhi oleh hukum positif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif empiris, dengan sumber data primer dan sekunder bersifat normatif dan empiris. Pembiayaan syariah hakikatnya tidak mengatur adanya kewajiban jaminan dalam proses transaksinya, karena jaminan dalam Islam disebut dengan rahn atau kafalah yang mana jaminan tersebut harus tetap dikuasai oleh rahin. Sementara dalam hukum positif jaminan itu adalah sebagai bentuk agunan dalam peristiwa perikatan atau perjanjian sebagai jaminan jika terjadi wanprestasi dari pihak debitur. Adapun dalam konteks hukum nasional, jaminan merupakan hak kebendaan yang bersifat pelunasan utang yang melekat pada bank yang memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan. Dalam rangka meyakinkan kemitraan nasabah dan bank, maka perlu diikat dengan jaminan yang memiliki nilai ekonomis,  maka harus dituangkan dalam perjanjian yang jelas. Dalam hal perjanjian pembiayaan produk syariah ini lebih banyak dipengaruhi oleh hukum positif, maka dalam pembuatan akad atau perjanjian harus memperhatikan regulasi terkait. 
Perspektif Fiqih tentang Kebersihan dan Relevansinya bagi Kesehatan Sahmiar Pulungan
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 3 (2022): MIZAN: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i3.1701

Abstract

Menjaga kesehatan sebagai unsur terpenting dalam kedokteran dalam pandangan syariat Islam, Kesehatan adalah rahmat Tuhan yang sangat besar, karena itu, agama Islam sangat menekankan agar manusia menjaga kesehatannya, juga menjaga setiap penyebab yang dapat menjadikannya menderita sakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pandangan ulama fiqih terhadap kebersihan dan apa relepansinya dengan kesehatan. Penelitian ini adalah penelitian gabungan antara library research dan field reserach dengan metode kualitatif. Sumber data berasal dari studi kepustakaan berupa Al-Qur’an, hadis, buku, jurnal. Analisis data terdiri dari tiga tahap yang dilakukan secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah pandangan-pandangan ulama fiqih bahwa Islam sangat mengedepankan pola hidup sehat, seperti anjuran tentang menjaga kesehatan, kebersihan, pola makan, menjaga kehormatan dari perbuatan keji, menjauhkan diri dari mengonsumsi khamar dari berbagai zat adiktif, dan lain-lain. Di samping kesehatan phisik, Islam juga memperhatikan kesehatan jiwa dengan perhatian yang tinggi. Kesehatan mental merupakan satu cabang dari ilmu jiwa.
Implementasi Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah Pada Pernikahan Usia Muda Perspektik Islam: Studi Kasus Alumni PPMS Ulil Albaab
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 3 (2022): MIZAN: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i3.1264

Abstract

Marriage is one of the efforts to strengthen the relationship between men and women by making them husband and wife to meet their biological needs.  Marriage is done to build a family, especially to build SAMARA family (Sakinah, MAwaddah, and Rahmah). So the concept of a sakinah mawadddah warahmah family is a family that is controlled by the basis of Islamic Shari'ah and on the guidance of the Prophet Muhammad who has been ordered through the marriage process as an agreement to Allah subhanahu wa ta'ala which is based on love, affection between two sides and also trust between both.  Building a sakinah mawaddah wa rahmah family is to strive for the form of a family whose rights are fulfilled as well as obligations, and to love, cherish, love, and accept each other's shortcomings and strengths.Keywords: Marriage; Family Concept; Sakinah; Mawaddah; Warahmah AbstrakPernikahan adalah salah satu upaya mempererat hubungan laki-laki dan perempuan dengan menjadikan keduanya pasangan suami-istri untuk memenuhi kebutuhan biologis. Pernikahan dilakukan untuk membangun keluarga, khususnya membentuk keluarga SAMARA (SAkinah, MAwaddah, dan Rahmah). Maka konsep keluarga sakinah mawadddah warahmah adalah keluarga yang dibina atas dasar Syari’at Islam dan atas tuntunan Nabi Muhammad yang telah diperintahkan melalui proses perkawinan sebagai perjanjian kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang dilandasi oleh cinta, kasih sayang antara dua belah pihak dan juga kepercayaan antara keduanya. Membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah adalah mengupayakan wujudnya keluarga yang haknya terpenuhi begitupun kewajibannya, serta saling mencintai, menyayangi, mengasihi dan menerima kekurangannya maupun kelebihannya satu sama lain.Kata Kunci: Pernikahan; Konsep Keluarga; Sakinah; Mawaddah; Warahmah 
Analisis Hukum Ekonomi Islam Terhadap Pendapatan Freelancer Desain yang Menggunakan Software Editing Ilegal Wilson Junio
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 3 (2022): MIZAN: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i3.1265

Abstract

Pembajakan software merupakan praktik penyalinan yang illegal dan melanggar Undang-Indang Hak Cipta dan hal tersebut marak terjadi baik di kalangan pekerja maupun mahasiswa dalam menunjang aktifitasnya sehari-hari salah satu contoh pengguna yang sering menggunakan software adalah freelancer. Dalam hukum islam, praktik tersebut merupakan praktik yang dilarang karena melanggar hukum dan merugikan orang lain, sehingga hasil pendapatan dari pekerjaan tersebut dapat dikatakan haram karena diperoleh dengan cara yang dzholim, namun ada beberapa kondisi dimana menurut kaidah fikih hal tersebut tidak dihukumi haram secara mutlak karena kondisi khusus. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas praktik, implikasi hukum islam, serta solusi terhadap penghasilan dari pekerjaan yang menggunakan aplikasi bajakan tersebut. Metode penelitian yang dipakai adalah dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan content analysis yang menggunakan data primer dan sekunder yaitu hasil wawancara dan kajian litelatur. Hasil penelitian ini mengungkapkan berdasarkan hukum islam dilarang dan haramnya praktik plagiasi atau pembajakan software. Tetapi, sesuai yang sudah peneliti jabarkan jika ada pada suatu kondisi darurat sebagaimana dijelaskan seorang freelancer yang masih terkendala finansial dalam hal ini adalah mahasiswa yang ada pada kondisi darurat, maka hukum baginya melakukan plagiasi atau pembajakan software menjadi boleh karena ada darurat yang lebih tinggi yaitu jika ia tidak melakukan plagiasi tersebut ia tidak bisa melanjutkan kuliah atau studinya maka dipilih mudharat yang lebih kecil. Adapun seorang freelancer tersebut tidak hanya terlepas beban syariat begitu saja, tetapi freelancer juga harus berikhtiar untuk membeli lisensinya secepatnya ketika sudah mampu dan bersedekah atas nama dirinya dan pemegang hak cipta yang ia zalimi.
Right of expression in Pergub D.I Yogyakarta Number 1 Year 2021Perspective Siyasah Dusturiyyah Siti Saadah Siagian
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 3 (2022): MIZAN: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i3.1613

Abstract

The Government of the Special Region of Yogyakarta issues and stipulates the Governor's Regulation (Pergub) DIY Number 1 of 2021 concerning implementing Public Expression of Opinions in Open Space. Article 5 of the Pergub reads that "Public Opinion is carried out in an open space for the public in the Region by the provisions of the legislation, except in the State Palace Area, the Great Building, the Kraton of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate, the Kraton of the Duchy of Pakualaman, Kotagede; and Malioboro a polemic amid society because it is considered to violate the fundamental rights of citizens, especially in the human rights scheme in Islam which is regulated in the Siyasah Dusturiyyah. The purpose of this research is to explain the perspective of Siyasah Dusturiyyah and explain the concrete solution to the problem. This type of research is library researching a juridical-normative approach. This study found that the Regulation of the Governor of the Special Region of Yogyakarta Number 1 of 2021 juridically does not contradict the laws and regulations above it. Still, philosophically the norms in the human rights scheme in Islam adhere to several principles, namely the principle of equality, the principle of freedom, and the principle of respect for fellow human beings who experience anomalies and are injured, where policymakers should be able to guarantee, maintain and protect the fundamental rights of citizens, in this case, the right to express opinions by not castrating the rights of some people and then for the sake of some other people's rights. At this point, the responsibility holders must jointly be able to accommodate all rights so that they can be carried out together properly.Keyword: Rights; Govenor Regulation; Siyasah Dusturiyyah AbstrakPemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan dan menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Pasal 5 dalam Pergub tersebut berbunyi bahwa “Penyampaian Pendapat Di Muka Umum dilaksanakan di ruang terbuka untuk umum di Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di Kawasan Istana negara gedung agung, kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kraton Kadipaten Pakualaman, kotagede; dan malioboro menimbul polemik ditengah-tengah masyarakat karena dianggap melanggar hak-hak dasar warga negara, terlebih dalam skema HAM dalam Islam yang diatur dalam paradigma Siyasah Dusturiyyah. Tujuan dalam penelitian ini adalah menjelaskan perspektif Siyasah Dusturiyyah dan menjelaskan solusi konkrit atas persoalan tersebut. Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif. Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2021 secara yuridis tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, namun secara norma filosofis dalam skema HAM dalam Islam yang menganut beberapa prinsip yakni prinsip persamaan, prinsip kebebasan serta prinsip penghoramatan terhadap sesama manusia mengalami anomali dan terciderai, di mana seyogyanya pemangku kebijakan dapat menjamin, menjaga dan melindungi hak-hak dasar warga negara dalam hal ini hak menyampaikan pendapat dengan tidak mengebiri hak sebagian masyarakat lalu demi sebagian hak masyarakat yang lain. Pada titik ini pemangku kewajiban harus sama-sama bisa mengakomodir semua hak agar dapat terlaksana bersama-sama dengan baik.Kata Kunci: Hak; Peraturan Gubernur; Siyasah Dusturiyyah
Nikah Tanpa Wali Dalam Perspektif Ulama Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam Ramadhan Syahrul Mubarak; Sutisna Sutisna; Mulyadi Mulyadi
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 6, No 3 (2022): MIZAN: Journal of Islamic Law
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v6i3.1356

Abstract

Marriage is one of the ways to be able to build a sakinah family, with the aim of creating quality offspring, then the conditions and pillars of marriage must be fulfilled, one of which is the existence of a guardian who has rights in a woman's marriage contract, among scholars there are different opinions on the issue of marriage without a guardian, some say it is okay and some are not allowed and among the community, there are also many who do not know the law of marriage without a guardian Therefore, the author tries to examine the problem. This research method uses a literature review method that uses sources from books and other sources using a qualitative approach. The result obtained from the researcher is that in marriage without a guardian there are two different great views, namely Imam Shafi'i and Imam Hanafi, the opinion of Imam Shafi'i says that marriage without a guardian is invalid because the guardian is the pillar of the marriage that must be fulfilled whereas in the opinion of Imam Hanafi said that marriage in the absence of a guardian is permissible because the woman who is already baligh can choose her own partner. from the analysis of the most correct opinion according to the researcher is the opinion of Imam Shafi'i because the guardian is the pillar of marriage as well as the opinion of the KHI also says that the marriage cannot take place before the harmony and conditions are met and according to the KHI the guardian includes the pillars and conditions of marriage.Keywords: Marriage Without Guardian, Ulama Perspective, Compilation of Islamic Law Abstrak.Pernikahan adalah salah satu jalan untuk bisa membangun keluarga yang sakinah, dengan tujuan menciptakan keturunan yang berkualitas, maka syarat dan rukun nikah harus terpenuhi salah satunya adanya wali yang memiliki hak dalam akad nikah seorang perempuan, di kalangan ulama ada yang berbeda pendapat tentang masalah nikah tanpa wali, ada yang mengatakan boleh dan ada juga yang tidak membolehkan serta di kalangan masyarakat juga masih banyak yang belum mengetahui hukum nikah tanpa wali. Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji permasalahan tersebut. Metode penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka yang menggunakan sumber dari buku dan sumber yang lainnya dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil yang diperoleh dari peneliti adalah bahwasanya nikah tanpa wali ada dua pandangan besar yang berbeda yaitu Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, pendapat Imam Syafi’i mengatakan bahwa nikah tanpa wali itu tidak sah karena wali adalah rukun dari pernikahan yang harus di penuhi sedangkan menurut pendapat Imam Hanafi mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya wali itu di bolehkan karena wanita yang sudah baligh dapat memilih pasangannya sendiri. dari analisis pendapat yang paling benar menurut peneliti adalah pendapat dari Imam Syafi’i karena wali adalah rukun dalam pernikahan begitu pula dengan pendapat dari KHI juga mengatakan bahwa pernikahan tidak dapat dilangsungkan sebelum rukun dan syarat terpenuhi dan menurut KHIwali termasuk dar rukun dan syarat pernikahan.Kata Kunci: Nikah Tanpa Wali, Perspektif Ulama, Kompilasi Hukum Islam