cover
Contact Name
M.Ya’kub Aiyub Kadir
Contact Email
kanun.jih@usk.ac.id
Phone
+62651-7552295
Journal Mail Official
kanun.jih@usk.ac.id
Editorial Address
Redaksi Kanun: Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh 23111
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 08545499     EISSN : 25278428     DOI : 10.24815/kanun.v20i3.11380
Core Subject : Social,
anun: Jurnal Ilmu Hukum (KJIH), the Indonesian Journal of Autonomy Law, is an international journal dedicated to the study of autonomy law within the framework of national and international legal systems. Published thrice annually (April, August, December), KJIH provides valuable insights for scholars, policy analysts, policymakers, and practitioners. Managed by the Faculty of Law at Syiah Kuala University in Banda Aceh, Indonesia, KJIH has been fostering legal scholarship since its establishment in June 1991, with the ISSN: 0854 – 5499 and e-ISSN (Online): 2527 – 8428. In 2020, it received national accreditation (SINTA 2) from the Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia and the National Research and Innovation Agency. KJIH is actively pursuing indexing in prestigious databases like Scopus, Web of Science and other global indexes. We publish in English for accessibility, not as a political statement. The Editorial Board shall not be responsible for views expressed in every article.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)" : 10 Documents clear
The Role of Adat Justice and Its Adat Institutons in Preventing Transnational Crimes in Aceh Province, Indonesia Sri Walny Rahayu
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

More than one decade after Law Number 11/2006 on the Government of Aceh entered into force, the adaptive ability of adat justice and acehnese adat institutions survived because of their strong legal basis in indonesian laws and regulations. On the other hand, the implementation of the Asean Economy Community (AEC) since December 31, 2015, imposes threats like the emergence of various forms of transnational crime that crosses national boundaries, committed by perpetrators from two or more countries with modern modus operandi. The enactment of the  AEC in Aceh poses a challenge to exploit the opportunities adat justice and adat institute to anticipate such crimes. Based on data from the Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime (ASEAN-PACTC), There are eight (8) types of transnational organized crime, illicit drug trafficking, human trafficking, sea piracy, arms smuggling, money laundering, terrorism, international economic crime and cyber crime. This paper describes the adaptive ability of adat justice, and acehnese adat institute and intervention model of adat justice in aceh, the era of AEC in facing transnational crime. The power of adat justice and acehnese adat institutions should be expanded facing - the challenges - of transnational crime as a result of the implementation of the AEC in Indonesia Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Pencegahan Kejahatan Transnasional di Provinsi Aceh, Indonesia Lebih dari satu dekade setelah berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kemampuan adaptif peradilan adat dan lembaga adat Aceh terus bertahan karena memiliki dasar legalitas penormaan yang kuat diatur dalam undang-undang dan peraturan di Indonesia. Di sisi lain jika dikaji, konsekuensi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) efektif berlaku 31 Desember 2015 di Indonesia berpotensi menimbulkan ancaman seperti munculnya berbagai bentuk kejahatan transnasional yang melintasi perbatasan suatu negara, dilakukan oleh pelaku dari dua atau lebih negara dengan modus operandi modern. Berlakunya MEA bagi Aceh merupakan tantangan memanfaatkan peluang peradilan adat dan lembaga adat mengantisipasi kejahatan tersebut. Berdasarkan data dari ASEAN Rencana Aksi untuk memerangi kejahatan transnasional terdapat delapan bentuk kejahatan yaitu, perdagangan gelap narkoba, perdagangan manusia, laut-pembajakan, penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme, kejahatan ekonomi internasional dan cyber crimes. Tulisan ini bertujuan menjelaskan kemampuan adaptif peradilan adat, lembaga adat Aceh, dan model intervensi peradilan adat di Aceh menghadapi kejahatan transnasional era MEA.
Budaya Hukum Dokter Gigi dalam Pelimpahan Wewenang dan Konsekuensi Hukumnya Endang Sutrisno; Riris Eka Sri Rahayu
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keterbatasan jumlah dokter gigi mengharuskan pelimpahan wewenang agar pelayanan kesehatan berjalan dengan baik. Penekanan studi kepada bagaimanakah budaya hukum dokter gigi dalam pelaksanaan pelimpahan wewenang dan akibat hukumnya, dengan pendekatan penelitian metode socio-legal. Temuan penelitian tidak ada satupun dokter gigi melakukan pelimpahan wewenang kepada perawat gigi secara tertulis sesuai kewenangan dan kompetensi perawat gigi sebagai pelaksana tugas berdasarkan UU No. 38/2014 tentang Keperawatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2052/MEN-KES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Budaya hukum dokter gigi cenderung mengabaikan sehingga tidak ada pemahaman prosedur pelimpahan wewenang yang benar disebabkan pengetahuan hukum dokter gigi sangat terbatas sehingga sulit untuk menuntut kesadaran dan kepatuhan hukum. Konsekuensi yuridis bila pelaksanaan pelimpahan wewenang tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan Permenkes No. 2052/MENKES/PER/X/2011 penerapan sanksi administratif dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan Surat Izin Praktik. Legal Culture of Dental Doctors in The Authority of The Author and the Consequences of Law Limitations on the number of dentists require delegation of authority to make health services work well. The emphasis of the study on how the dental legal culture in the implementation of the delegation of authority and its legal consequences, with research approach socio-legal method. The findings of the study of none of the dentists delegated authority to dental nurses in writing in accordance with the authority and competence of dental nurses as executors of duties based on Law No. 38/2014 on Nursing, and Regulation of the Minister of Health No. 2052/MENKES/PER/X/2011 on Practice License and Implementation of Medical Practice. The dental legal culture tends to ignore so that there is no understanding of proper delegation procedures due to the limited knowledge of dental law that it is difficult to demand legal awareness and compliance. The juridical consequences when the implementation of the delegation of authority is not carried out in accordance with the Minister of Health Decree no. 2052/MENKES/PER/X/2011 the application of administrative sanctions may include oral warning, written up to the revocation of Practice License.
Perkembangan Politik Hukum Kalangan Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia Nina Mirantie Wirasaputri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gerakan refomasi sebagai proses menata kembali kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia telah dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan terberat adalah penataan kembali peran militer dalam konteks hubungan sipil dan militer yang demokratis. Terkait dengan persoalan ini, masalah redefinisi peran dan keterlibatan militer dalam konteks transisi demokrasi dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya proses demokratisasi itu sendiri. Militer tidak menyadari bahwa dalam masa demokratisasi ini, militer hanya pelaksana dari pemerintahan sipil. Paradigma baru militer tidak mengubah secara signifikan budaya dan posturnya dalam ruang sosial-politik, militer tetap berada dalam ruang konservatisme dengan kepercayaan pada supremasi sipil dalam pengelolaan negara. The Politics of Law Development of The Military Entitlement in Indonesia's Democracy Transition The reform movement as a process rearrangers the statehood and society that refers to the values of democracy and human rights has been faced with numerous challenges. The toughest challenge is the restructuring of the role of the military in the context of civil and military relations. Problem of related to this issue redefinition of the role and involment of the military in the context of democratic transition can influence the success of failure of the democratic process itself. Military its mot realize that in the future this democratization as norms that are exposed in the front and military is implementing from a civilian government. In other words the new military paradigm its not significantly change the posture military cultural and socio political space conservatism with confidence on civilian supremacy in the management of the state.
Pelabuhan Indonesia sebagai Penyumbang Devisa Negara dalam Perspektif Hukum Bisnis Elfrida Gultom
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan pokok setiap pelabuhan, memenuhi kebutuhan para pelanggan pelabuhan. Secara umum, para pelanggan jasa pelabuhan memerlukan fasilitas dan pelayanan untuk kapal, barang, barang, penumpang, dan transportasi darat dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Jadi terdapat suatu keterkaitan yang erat antara pelabuhan dan kapal-kapal sebagai pengguna jasanya, karena pelabuhan merupakan lingkungan kerja dimana kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman dan murah, terhindar dari bahaya-bahaya yang mengancam kapal yang ditimbulkan oleh gelombang, angin dan sebagainya, dalam melaksanakan kegiatan bongkar barang, hewan dan penumpang. Suatu pelabuhan dapat dikatakan efektif dan efisien apabila kapal tidak menunggu lama di laut, dapat melakukan bongkar muat dengan cepat dan lancar serta didukung dengan fasilitas peralatan atau sarana dan prasarana yang memadai, karena hal tersebut sangat penting bagi perusahaan pelayaran. Sudah menjadi kewajiban pelabuhan untuk menyumbang-kan devisa bagi Negara. Indonesian Ports as a Country Devised in Business Legal Perspective The main goal of each port, meeting the needs of port customers. In general, port service customers need facilities and services for ships, goods, goods, passengers, and land transport can be done effectively and efficiently. Thus there is a close connection between the port and the ships as its service users, since the port is a working environment where ships can be docked safely and cheaply, avoiding the dangers that threaten the vessel caused by waves, winds and so forth, in carry out unloading activities of goods, animals and passengers. A port can be said to be effective and efficient if the ship does not wait long in the sea, can perform loading and unloading quickly and smoothly and supported by facilities equipment or facilities and adequate infrastructure, because it is very important for shipping companies. It is the duty of the port to contribute foreign exchange to the State.
Perlindungan dan Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Domestik PT LAI Kepada Konsumen Selaku Penumpangnya Lukmanul Hakim; Sri Walny Rahayu
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perlindungan hukum terhadap konsumen yang merupakan penumpang perusahaan penerbangan domestik di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 1/2009 tentang Penerbangan jo. Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan perundang-undangan menjelaskan tanggung jawab perusahaan penerbangan, perlindungan hukum dan jumlah ganti rugi terhadap penumpang yang dirugikan. Dalam praktiknya, belum semua perusahaan penerbangan niaga domestik menjalankan sepenuhnya aturan terkait tanggung jawab terhadap penumpang. Penumpang selaku konsumen yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan. Disarankan kepada Kementerian Perhubungan untuk menindak tegas maskapai yang melanggar peraturan perundang-undangan, dan peninjauan kembali jumlah nilai ganti rugi bagi penumpang yang dirugikan. The Protection and Responsibility of Domestik Airlines Company PT LAI to Consumers as Its The Passengers Legal protection for consumers who are passengers of domestic airlines in Indonesia is governed by Law No. 1/2009 on Flight jo. Law No. 8/1999 on Consumer Protection. Legislation explains the responsibility of airlines, legal protection and the amount of compensation for injured passengers. In practice, not all domestic commercial airlines have fully implemented the rules regarding passenger liability. Passenger as a consumer who suffers a loss may file a accusation or claim to the airline. Settlement of disputes can be pursued through in court and out of court. It is advisable to the Ministry of Transport to take firm action against airlines in violation of legislation, and review of the amount of compensation value for injured passengers.
Teori Maqâshid Al Syarî’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum Ali Mutakin
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kemaslahatan sebagai inti dari maqâshid al-syarî‘ah, memiliki peranan penting dalam penentuan hukum Islam. Sebab hukum Islam diturunkan mempunyai tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian sesungguhnya maqashid al-syarî‘ah memiliki hubungan yang sangat erat dengan metode istinbath hukum, dengan kata lain bahwa setiap metode istinbath hukum berdasar pada kemaslahatan. Adapun cara yang digunakan oleh para ulama dalam menggali kemaslahatan tersebut ada dua macam yakni: Pertama metode ta’liîlî (metode analisis substantif) yang meliputi qiyas dan istihsân. Kedua metode istishlâhî (metode analisis kemaslahatan) yang meliputi al-mashahah al-mursalah dan al-dharî’ah baik kategori sadd al-dzarî’ah maupun fath al-dzarî’ah. The Theory of Maqâshid Al Syarî'ah and The Relation With Istinbath Method  The kindness (Maslahah) as the core of muqâshid al-syarî'ah, has an important role in determining Islamic law. The Islamic law is revealed to deliver the kindness for people, now and in hereafter. So, maqashid al-syarî'ah has a very strong relation with the istinbath method, in other words, every method of istinbath is based on kindness. There are two methods used by Islamic scholars (‘ulama) in searching for those kindness: Firstly is substantive analysis method (ta’liili method) which including qiyas and istihsan. The other method is by analysis of kindness (istishlâhî method) that use al-mashahah al-mursalah danal-dharî 'ah, either sadd al-dzarî'ah or fath al-dzarî'ah.
Eksistensi Kejaksaan Tinggi Aceh dalam Melakukan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Satria Ferry
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kewenangan jaksa sebagai sebagai penyidik untuk saat ini secara khusus disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16/2004 tentang Kejaksaan menentukan bahwa Kejaksaan di bidang Kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Tindak pidana tertentu tersebut dapat diartikan berupa kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana khusus seperti halnya tindak pidana korupsi, Namun demikian Kejaksaan sebagai penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi belum membawa hasil maksimal. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan kewenangan kejaksaan sebagai penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, di mana  jaksa bertindak sebagai penyidik merangkap sebagai penuntut umum dan untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut jaksa harus bekerja sama dengan pihak lain baik secara perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintah. Akibat hukum yang timbul akibat rendahnya tingkat penyelesaian kasus korupsi telah menimbulkan tanggapan miring dan kekurangpercayaan atas indenpendensi kejaksaan khususnya terhadap pihak jaksa penyidik yang menangani perkara. Existence of Aceh Attorney Investigations in Corruption Case Authority of the Attorney as investigator for the time being specifically mentioned in Article 30 paragraph (1) letter d of Law Number 16/2004 on the Attorney determines that the Prosecutor in the Attorney has the authority to investigate such criminal acts specified by law. Certain criminal acts can be interpreted in the form of investigative authority of the special crimes such as corruption, however the Attorney as investigators in combating corruption not bring maximum results. Based on the survey results revealed that the implementation of the authority of the Attorney as investigators in handling corruption cases, where prosecutors act as the investigator concurrently as a public prosecutor and to complete its obligations Prosecutors should cooperate with the other party either as individuals, legal entities and government agencies. The legal consequences arising from the low level of resolution of cases of corruption have led to skewed responses and lack of trust on Indenpendensi Attorney particularly against the prosecution investigator who handled the case.
Perwalian Menurut Konsep Hukum Tertulis di Indonesia Ishak Ishak
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Anak-anak yang belum mencapai usia tertentu atau belum kawin, pertumbuhan dan perkembangannya dapat dipengaruhi karena orang tua tidak cakap melakukan tindakan hukum, orang tua meninggal dunia atau orang tua dicabut kekuasaan orang tua terhadap anaknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu adanya lembaga pengganti kekuasaan orang tua terhadap anak. Perwalian merupakan lembaga pengganti kekuasaan orang tua terhadap anak. KUH Perdata, UU No. 1/1974 dan KHI merupakan bagian dari hukum tertulis di Indonesia. penyebab anak berada di bawah perwalian, hak dan kewajiban anak serta hak dan kewajiban wali dan pula penyebab berakhirnya perwalian, hal-hal tersebut berbeda menurut konsep ketiga-tiga hukum tertulis di atas. Perwalian meliputi pengurusan si anak dan hartanya. Dalam pelaksanaan perwalian oleh wali diharapkan memberi akibat yang positif terhadap anak dan hartanya, bukan menimbulkan akibat yang sebaliknya. Guardianship by Concept of Written Law in Indonesia Children who have not reached a certain age or have not married, growth and development can be influenced because parents are not capable of taking legal action, parents died or parents deprived of parental power over their children. In this regard, it is necessary to have a substitute for parent power over the child. Guardianship is a substitute for the power of parents against children. Civil Code, Law No. 1/1974 and KHI are part of the written law in Indonesia. the cause of the child under the guardianship, the rights and obligations of the child and the rights and duties of the guardian and also the cause of the termination of the guardianship, these matters differ according to the three-three laws of the above. Guardianship covers the management of the child and his property. In the guardianship of the trustee is expected to give a positive effect on the child and his property, not cause the opposite effect.
Pengaturan Hukum Perlindungan Nelayan Kecil Teuku Muttaqin Mansur; Muazzin Muazzin; Teuku Ahmad Yani; Sulaiman Sulaiman
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Lahirnya Undang-Undang No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidayaan dan Petambak Garam, memunculkan masalah baru bagi nelayan kecil. Undang-undang ini memperbesar ukuran gross tonnage kapal nelayan kecil dari ukuran 5 GT menjadi 10 GT. Ketentuan ukuran 5 GT diatur dalam Undang-Undang No. 45/2009 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31/2004 tentang Perikanan. Perubahan GT tersebut tidak sederhana. Masalah utama adalah terdapat perbedaan antara undang-undang yang mengatur perlindungan nelayan dengan undang-undang yang mengatur perikanan. Implikasi dari perbedaan ini tidak terbatas pada kapal semata, melainkan pada jalur penangkapan ikan, fishing ground, hingga proses perizinan kapal. Dengan semakin besar GT, maka fishing ground yang selama ini dipakai oleh kapal nelayan ukuran 5 GT, turut dipakai oleh kapal berukuran 10 GT. Hal ini berpotensi konflik sesama nelayan. Tawaran pemetaan untuk harmonisasi hukum diharapkan akan menjawab permasalahan hukum perlindungan nelayan. Legal Arrangement of Small Fishermen Protection The birth of the Act No. 7/2016 on Protection and Empowerment of Fishermen, Cultivation and Fishers of Salt, raises new problems for small fishermen. This act enlarges the gross tonnage size of small fishing vessels from 5 GT to 10 GT. The 5 GT size requirement is regulated in the Act No. 45/2009 on Amendment of the Act No. 31/2004 on Fisheries. The GT changes are not simple. The main problem is that there are differences between laws governing the protection of fishermen and the laws governing fisheries. The implications of this difference are not limited to ships alone, but to fishing lanes, fishing ground, to the licensing process of ships. With the bigger GT, then the fishing ground that has been used by fishing boats size 5 GT, also used by the ship size of 10 GT. This has the potential to conflict among fellow fishermen. The legal to harmonization mapping offer is expected to address legal protection issues of fishermen.
Dekonstruksi Peran Tuha Peut Perempuan dalam Menjaga Perdamaian di Aceh Mahfud Mahfud; Wardah Wardah; Lena Farsia; Susiana Susiana
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh jo. Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, mengatur lembaga-lembaga adat, termasuk mengaktifkan kembali lembaga Tuha Peut dalam berbagai perangkat regulasi/aturan dan kebijakan Pemerintah Daerah di Aceh. Selanjutnya, Undang-Undang No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus dan terakhir dengan Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka lahirlah berbagai produk hukum berupa qanun, yang menempatkan kembali lembaga dan peran tuha peut dalam Pemerintahan Gampong dan Mukim di Aceh. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlunya pendekatan kontemporer ditempuh oleh pemerintah dengan melibatkan sejumlah pihak dan kalangan dalam menjaga perdamaian Aceh. Salah satu pendekatan kontemporer tersebut dengan melibatkan unsur perempuan sebagai agen perdamaian yang terdapat dalam struktur Tuha Puet Gampong. Namun demilian banyak diantara perempuan enggan mencalonkan diri sebagai anggota dari Tuha Peut Gampong. Banyak dari mereka bahkan masih menganggap bahwa Tuha Puet Gampong masih merupakan ranahnya kaum pria.  The Deconstruction of the Role of Female Tuha Peut in Peace Keeping Activities in Aceh The Law No. 44/1999 on Special Autonomy and the Law of Governing Aceh and the Law No .22/1999 on Cores of Local Goverment regulate the Adat institutions, including reactivated the Tuha Peut institution in every regulations and Aceh local goverment policies. The Law No. 18/2001 on Special Autonomy and  the UUPA have been establishing more legal products such as qanun that resettle the adat institutions and the role of the tuha peut in local government of gampong and mukim in Aceh. The result of the research shows that the Government of Aceh has involved many stakeholders in peace keeping activities in Aceh. One of the contemporary approach is by engaging women role as the peace agent. However, many women hesitated to candidate them selves as the Tuha Peut members, as they think that the role is belongs to men.

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2017 2017


Filter By Issues
All Issue Vol 27, No 2: August 2025: Islam and Justice development in Indonesia Vol 27, No 1: April 2025: Customary Law and development in Indonesia Vol 26, No 3: December 2024: Law and Justice in Digital Age Vol 26, No 2: August 2024: The Global and National Challenges for Justice Vol 26, No 1: April 2024: Islam and Human Rights: National and Global Perspective Vol. 25, No. 3, December 2023: Law and Justice in Various Context in Indonesia Vol. 25, No. 2, August 2023: Contemporary Issues on Indonesian Legal Reform Vol. 25, No. 1, April 2023: Legal Developments in National and Global Context Vol 24, No 3 (2022): Vol. 24, No. 3, December 2022 Vol 24, No 2 (2022): Vol. 24, No. 2, August 2022 Vol 24, No 1 (2022): Vol. 24, No. 1, April 2022 Vol 23, No 3 (2021): Vol. 23, No. 3, December 2021 Vol 23, No 2 (2021): Vol. 23, No. 2, August 2021 Vol 23, No 1 (2021): Vol. 23, No. 1, April 2021 Vol 22, No 3 (2020): Vol. 22, No. 3, Desember 2020 Vol 22, No 2 (2020): Vol. 22, No. 2, Agustus 2020 Vol 22, No 1 (2020): Vol. 22 No. 1, April 2020 Vol 21, No 3 (2019): Vol. 21, No. 3 (Desember 2019) Vol 21, No 2 (2019): Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019) Vol 21, No 1 (2019): Vol. 21, No. 1 (April 2019) Vol 20, No 3 (2018): Vol. 20, No. 3 (Desember 2018) Vol 20, No 2 (2018): Vol. 20, No. 2, (Agustus 2018) Vol 20, No 1 (2018): Vol. 20, No. 1, (April 2018) Vol 19, No 3 (2017): Vol. 19, No. 3, (Desember, 2017) Vol 19, No 2 (2017): Vol. 19, No. 2, (Agustus, 2017) Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017) Vol 18, No 3 (2016): Vol. 18, No. 3, (Desember, 2016) Vol 18, No 2 (2016): Vol. 18, No. 2, (Agustus, 2016) Vol 18, No 1 (2016): Vol. 18, No. 1, (April, 2016) Vol 17, No 3 (2015): Vol. 17, No. 3, (Desember, 2015) Vol 17, No 2 (2015): Vol. 17, No. 2, (Agustus, 2015) Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015) Vol 16, No 3 (2014): Vol. 16, No. 3, (Desember, 2014) Vol 16, No 2 (2014): Vol. 16, No. 2, (Agustus, 2014) Vol 16, No 1 (2014): Vol. 16, No. 1, (April, 2014) Vol 15, No 3 (2013): Vol. 15, No. 3, (Desember, 2013) Vol 15, No 2 (2013): Vol. 15, No. 2, (Agustus, 2013) Vol 15, No 1 (2013): Vol. 15, No. 1, (April, 2013) Vol 14, No 3 (2012): Vol. 14, No. 3, (Desember, 2012) Vol 14, No 2 (2012): Vol. 14, No. 2, (Agustus, 2012) Vol 14, No 1 (2012): Vol. 14, No. 1, (April, 2012) Vol 13, No 3 (2011): Vol. 13, No. 3, (Desember, 2011) Vol 13, No 2 (2011): Vol. 13, No. 2, (Agustus, 2011) Vol 13, No 1 (2011): Vol. 13, No. 1, (April, 2011) Vol 12, No 3 (2010): Vol. 12, No. 3, (Desember, 2010) Vol 12, No 2 (2010): Vol. 12, No. 2, (Agustus, 2010) Vol 12, No 1 (2010): Vol. 12, No. 1, (April, 2010) More Issue