cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
JURNAL ADMINISTRASI PUBLIK
ISSN : 14127040     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Jurnal Administrasi Publik (JAP) aims to explore theoritical grounds for both public policy and management, to disseminate results of conducted particular policy analysis and research, as well as to bring public policy and management theories into best practices.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040" : 7 Documents clear
Keuangan Publik Dan Sumber Daya Manusia Sadu Wasistiono
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1679.136 KB)

Abstract

Although decentralization and autonomy is exercised since Indonesian republic is formed, but they are not developed such as in West Countries, because it is not a panacea for the ill state or especially local government. Theoritically, there are many prerequisites of decentralization and autonomy that should called attention to the civil servants whose governed the local government. Many theoriticians written down about decentralization, included the advantages and disadvantages of it, the prerequisites should be fulfilled to apply it.Decentralization means that there are transfer of authority and responsibility in public function from central government to local government, other semi public agenda and also to the private sector. Also there are opinion about form and type of decentralization. The interesting things is the type of decentralization which divided decentralization into 4 types namely political, administrative, fiscal, economic and market decentralization.The aim of fiscal decentralization is to transfer the source of the financial to local such as the right to own and manage their own properties and the right to manage their human resources. But it is restricted by the upper rules, the well being of the people and should be applied properly.Local government give more attention to how they can earn more revenue than how to used it. Actually many infraction is occurred in the expenditures area. Local government is facing constraint with the fiscal decentralization relating with the source of the revenue. Central government still have right to attract revenue from local government, the effect is the state give balance aid to complete APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). So central government still become the importance role in public decentralizationThe expenditure part in APBD is consist of two parts, routine budget and development budget. In reality, both of them is used for the sake of the local government itself. Nowadays the routine budget is bigger than development budget. All of this constraint can be suremount if, the local government has human resources that competent in their tasks. Once again central government didn't give a guide to the local government about the national Employee System, the effect is the local government can use by their own way about how to manage their civil servants.
Relevansi “Semangat” Birokrasi Lokal Tradisional Dalam Merevitalisasi Birokrasi Lokal Modern Indonesia Di Era Otonomi Daerah: Kasus Birokrasi Dalam Masyarakat Tradisional Batak Toba Di Sumatera Utara Ulber Silalahi
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (357.013 KB)

Abstract

Sejarah Negara Indonesia membuktikan bahwa universalitas birokrasi yang dirancang secara sentralistik kurang, mampu mengaspirasi kepentingan lokal, sehingga menjadi kurang efektif. Dalam era desentralisasi ini, efektifitas birokrasi lokal modern sangat ditentukan oleh sejauh mana birokrasi tersebut mampu mengapresiasi dan mengadopsi unsur-unsur positif birokrasi tradisional lokal yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Paper ini merupakan hasil penelitian yang mencoba menggali nilai-nilai birokrasi tradisional “Sisingamangaraja” dalam masyarakat Batak Toba.Ada dua akar ideologi masyarakat Batak Toba, pertama, ideologi Agama (Hindu) dimana harmoni tercipta melalui tiga dimensi makrokosmos yaitu banoa ginjang (dunia atas), banoa tonga (dunia tengah) dan banoa toru (dunia bawah). Masing-masing dunia dikuasai seorang dewata yang merepresentasi sifat-sifat kebaikan tertentu yang dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian kehidupan. Ideologi kedua adalah kekerabatan, yaitu marga dan etnisitas yang bersifat komunal yang terpola dalam Dalihan Nan Tolu (Tungku nan Tiga). Setiap tungku mencerminkan posisi atau unsur yang harus ada dalam setiap kegiatan. Setiap individu yang sudah menikah melekat dalam ketiga posisi tersebut.Implikasi kedua ideologi di atas dalam masyarakat Batak Toba, melandasi hubungan antara Raja (pemimpin) dan Rakyat, rakyat dengan rakyat dengan kewajiban sesuai dengan posisinya. Raja merupakan pemimpin karismatik dan sekaligus pemimpin tradisional. Sebagai pemimpin karismatik, raja dianggap jelmaan dari dewata yang harus mempunyai sifat-sifat kebaikan dewa serta memiliki kekuatan magis. Sebagai pemimpin tradisional raja mempunyai legitimasi yang tinggi karena dipilih oleh rakyat sehingga harus mampu memenuhi tujuan kolektif (sesuai keinginan rakyat). Kepatuhan rakyat pada pemimpinnya (raja) ditentukan oleh kedua sifat kepemimpinan tersebut. Hubungan rakyat dan rakyat (sosial) didasarkan pada ketiga tungku yang bersifat seimbang dan totalitas. Setiap unsur dituntut menjalankan fungsinya sehingga tercipta tertib sosial dalam masyarakat.Sistem ideologi agama dan kekerabatan tersebut menciptakan birokrasi pemerintahan dan masyarakat yang demokratis berdasarkan keseimbangan fungsi sosial dan kedudukan masing-masing. Legitimasi pemimpin ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjalankan fungsinya. Dalam hubungan vertikal (rakyat dan pemimpin) dan hubungan lateral (masyarakat) diterapkan budaya konsultatif dalam pengambilan keputusan khususnya keputusan yang menyangkut publik, seperti pemilihan raja. Budaya-budaya di atas merupakan nilai-nilai positif yang bisa diadopsi dalam sistem pemerintahan lokal pada masa kini, untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan tinggi, sehingga berjalan efektif dan efisien.Sejarah Negara Indonesia membuktikan bahwa universalitas birokrasi yang dirancang secara sentralistik kurang, mampu mengaspirasi kepentingan lokal, sehingga menjadi kurang efektif. Dalam era desentralisasi ini, efektifitas birokrasi lokal modern sangat ditentukan oleh sejauh mana birokrasi tersebut mampu mengapresiasi dan mengadopsi unsur-unsur positif birokrasi tradisional lokal yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Paper ini merupakan hasil penelitian yang mencoba menggali nilai-nilai birokrasi tradisional “Sisingamangaraja” dalam masyarakat Batak Toba.  Ada dua akar ideologi masyarakat Batak Toba, pertama, ideologi Agama (Hindu) dimana harmoni tercipta melalui tiga dimensi makrokosmos yaitu banoa ginjang (dunia atas), banoa tonga (dunia tengah) dan banoa toru (dunia bawah). Masing-masing dunia dikuasai seorang dewata yang merepresentasi sifat-sifat kebaikan tertentu yang dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian kehidupan. Ideologi kedua adalah kekerabatan, yaitu marga dan etnisitas yang bersifat komunal yang terpola dalam Dalihan Nan Tolu (Tungku nan Tiga). Setiap tungku mencerminkan posisi atau unsur yang harus ada dalam setiap kegiatan. Setiap individu yang sudah menikah melekat dalam ketiga posisi tersebut.  Implikasi kedua ideologi di atas dalam masyarakat Batak Toba, melandasi hubungan antara Raja (pemimpin) dan Rakyat, rakyat dengan rakyat dengan kewajiban sesuai dengan posisinya. Raja merupakan pemimpin karismatik dan sekaligus pemimpin tradisional. Sebagai pemimpin karismatik, raja dianggap jelmaan dari dewata yang harus mempunyai sifat-sifat kebaikan dewa serta memiliki kekuatan magis. Sebagai pemimpin tradisional raja mempunyai legitimasi yang tinggi karena dipilih oleh rakyat sehingga harus mampu memenuhi tujuan kolektif (sesuai keinginan rakyat). Kepatuhan rakyat pada pemimpinnya (raja) ditentukan oleh kedua sifat kepemimpinan tersebut. Hubungan rakyat dan rakyat (sosial) didasarkan pada ketiga tungku yang bersifat seimbang dan totalitas. Setiap unsur dituntut menjalankan fungsinya sehingga tercipta tertib sosial dalam masyarakat.  Sistem ideologi agama dan kekerabatan tersebut menciptakan birokrasi pemerintahan dan masyarakat yang demokratis berdasarkan keseimbangan fungsi sosial dan kedudukan masing-masing. Legitimasi pemimpin ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjalankan fungsinya. Dalam hubungan vertikal (rakyat dan pemimpin) dan hubungan lateral (masyarakat) diterapkan budaya konsultatif dalam pengambilan keputusan khususnya keputusan yang menyangkut publik, seperti pemilihan raja. Budaya-budaya di atas merupakan nilai-nilai positif yang bisa diadopsi dalam sistem pemerintahan lokal pada masa kini, untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan tinggi, sehingga berjalan efektif dan efisien.
Profil Birokrasi Pemerintahan Dalam Semangat Otonomi Daerah Dudung Sumahdumin
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (231.443 KB)

Abstract

Sumber daya manusia birokrasi pemerintahan daerah merupakan salah satu sentral permasalahan dalam era otonomi daerah. Sumber daya manusia birokrasi dengan mutu yang rendah, bagaimanapun, tidak akan mampu merumuskan kebijakan publik yang berkualitas dan mencapai kinerja optimal, apalagi jika tidak memiliki moralitas yang terpuji dan tanggung jawab atas profesinya. Di samping sumber daya manusia, juga terdapat dimensi lain yang menentukan potret birokrasi pemerintahan, seperti : struktur, kultur, prosedur dan figur yang kesemuanya belum kondusif bagi birokrasi pemerintahan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah.Untuk itu diperlukan usaha-usaha pemberdayaan birokrasi untuk membenahi potret birokrasi pemerintahan yang wajahnya makin carut marut. Satu hal penting ialah kemauan elit politik dan pemerintahan untuk menempatkan profesionalisme di atas yang lain. Ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa upaya pembenahan seperti: sistem manajemen kepegawaian, proses seleksi pegawai, netralitas birokrasi, gaya hidup birokrasi, budaya kerja birokrasi. Pembenahan dilakukan secara simultan dan menyeluruh di semua lini melalui review seluruh pejabat publik oleh badan independen, misalnya, Komite Etika PNS independen, jujur dan non partisan yang keanggotaannya diakses dari berbagai kalangan.
REVITALIZE AND REPOSITION INDONESIAN PUBLIC ADMINISTRATION, THE LEGACY OF LAW Mason C. Hoadley
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.532 KB)

Abstract

Tulisan ini mencoba menggunakan pendekatan atau perspektif historis dalam upaya untuk mencari model yang asli untuk pelaksanaan otonomi daerah. Dengan pendekatan historis ditelusuri pelaksanaan administrasi publik yang bersumber dari adat istiadat Jawa, masa pemerintahan Hindia Belanda dan Masa Republik pada tahun 1945. Pendekatan administrasi yang digunakan dalam adat istiadat Jawa adalah konsensus dan dekrit. Dalam pemerintahan Hindia Belanda terjadi penggabungan antara adat-istiadat dengan berbagai ketentuan yang dikembangkan oleh Belanda. Dalam era Republik terjadi tarik menarik antara peraturan yang bersifat positivisme dan romantisme. Model yang diajukan adalah adanya kombinasi antara adat, peraturan yang berlaku dalam masa kolonial dan peraturan yang dihasilkan dari penguasa yang ada sekarang ini.
Signifikansi Struktur, Kultur, Prosedur, Dan Figur Dalam Reformasi Administrasi Publik Daerah Otonom Desi Fernanda
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (768.603 KB)

Abstract

Kegagalan Orde Baru dalam menangani krisis multibidang tahun 1997-1999, telah menimbulkan gerakan reformasi yang menuntut perubahan pada segala bidang. Dilihat dari sifat dan prosesnya proses reformasi administrasi publik di Indonesia termasuk proses perubahan yang bersifat “discontinues” dengan pendekatan strategi penciptaan ulang atau pembuatan kesisteman yang baru. Dengan demikian diperlukan proses transformasi yang sistemik, komprehensif dan holistik serta perlu adanya langkah-langkah strategis dalam penyehatan organisasi. Struktur, kultur, prosedur dan figur merupakan dimensi-dimensi strategis baik sebagai input maupun output dan proses perubahan administrasi publik.UU Otonomi Daerah lahir sebagai salah satu wujud dan proses reformasi administrasi publik yang diskontinyu. Dikaji dari berbagai dimensi strategis di atas, menunjukkan bahwa, dari elemen struktur masih terdapat paradoks dimana unsur pusat dan propinsi masih enggan melepaskan kewenangan dalam bidang pemerintahan kepada daerah Kabupaten dan Kota. Dari dimensi kultur, masih ada hambatan seperti budaya kerja Orde Baru yang tidak inovatif, ketidakjelasan aturan, egoisme kedaerahan serta aktivitas anggota DPRD yang lebih berorientasi ke uang. Dari elemen prosedur, masih terlihat tuntutan daerah akan otonomi yang lebih besar. Disamping itu koordinasi propinsi dengan kabupaten/kota menjadi sulit karena terputusnya hirarki kedua tingkat pemerintahan tersebut. Masalah lain dari dimensi kultur adalah adanya ketidakpuasan daerah atas sistem bagi hasil sumber-sumber seperti yang ditetapkan. Dilihat dari elemen yang terakhir yaitu figur kepemimpinan, dirasakan masih belum adanya komitmen yang kuat dari kepemimpinan pusat atas pelaksanaan desentralisasi. Dalam level daerah, belum didukung adanya mekanisme kepemimpinan yang visioner.Berbagai persoalan dalam empat elemen di atas menunjukkan beragam masalah dalam implementasi pelaksanaan reformasi pemerintahan daerah, sehingga bisa diambil sebagai pelajaran dan kajian evaluasi lebih lanjut.
EDUCATION AND TRAINING IN PUBLIC ADMINISTRATION Pius Suratman Kartasasmita
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.442 KB)

Abstract

Tulisan ini mencoba menggali gagasan mengenai apa dan bagaimana revitalisasi sistem pendidikan dan pelatihan yang didasarkan pada landasan teoritis dan pengalaman empiris dalam kaitannya dengan administrasi publik dalam menghadapi otonomi daerah dan perubahan global yang tidak bisa dihindari. Administrasi publik sebagai suatu ilmu, seni dan juga suatu profesi akan memberikan pengaruh dalam memilih dan mendidik pegawai negeri. Oleh karena itu pendidikan untuk administrator publik harus diarahkan pada kemampuan untuk dapat memahami kerangka konseptual administrasi publik, politik, konstitusional, kultural dan perubahan lingkungan yang sedang berlangsung.
Kompetensi Aparatur Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah
Jurnal Administrasi Publik Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Administrasi Publik, Tahun 1, Nomor 1, Agustus 2002, ISSN 1412 - 7040
Publisher : Centre for Public Policy and Management Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.907 KB)

Abstract

Historically, there are rules that followed pasal 18 UUD 1945. the arise of rules No 22 and 25 /1999 based on TAP MPR No XV/MPR/1998, it is occurred because there are many constraints that are facing by the rules No 5/1974 and then opportunities that are realized by the government and the representative of the people to exercise decentralization and autonomy. The opportunities are realized by them, such as the effort of reformation, the strong need of democratization and decentralization, free trade, globalization etc.Rule No 22/1999 explicitely separate the autonomy between the central government and the local govemment. it is also declare the autonomy of the local government is to manage it's own region in order to the public service in it's own region.The rule No 25/1999 is made to complete the rule No 22/1999. Local government should realized that autonomy which is given to the local government costly. Local government should reanalyze and reidentify the source of the local income to increase local income and in order to exercise decentralization.The exercise of decentralization needed financial decentralization, it means that government need human resources that are competent and professional to increase the source of the local income and how to used it in local region. Education and trainings is a tool that can be used to increase the capabilities of the apparatus. Should be note, that the education and the training that are exercised before is not a good tool because it can fullfilled the need of their task. So education and training that will be used should be analyzed it's own goals, such as what is the standard to become a good civil servant. The civil servant that are competent and professional is one of the basic tools that can help local government to increase public service and public welfare.

Page 1 of 1 | Total Record : 7