cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)" : 7 Documents clear
From Crime Control Model to Due Process Model: A Critical Study of Wiretapping Arrangement by the Corruption Eradication Commission of Indonesia Hwian Christianto
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study compares three formal criminal laws on the corruption act to show the importance of due process model for wiretapping/lawful interception in Indonesia. Investigators of Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) assume that the implementation of wiretapping based on the due process model decelerate the performance and independence of corruption eradication. The problem particularly happens on the execution of caught in the act operation. This study covers the design of wiretapping on corruption case linked with the due process model as an effort to guarantee the right of privacy. Firstly, legislators accentuated an effective corruption eradication, which highlights the implementation of the crime control model. Secondly, the latest amendment to the Law on Corruption Eradication Commission of Indonesia alters wiretapping to become a procedural activity for stronger synergy among the law enforcement institutions. The regulation of wiretapping as a method to reveal corruption case in Indonesia does not adhere to the due process model entirely. The wiretapping still tends to deal with stages of preliminary-investigation, investigation, prosecution, and the execution of internal approval process. From Crime Control Model to Due Process Model: Studi Kritis Pengaturan Penyadapan oleh Komisi Tindak Pidana Korupsi Republik Indonesia AbstrakHasil penelitian atas tiga undang-undang hukum pidana formil terkait tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukkan pentingnya model due process dalam penyadapan. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia memandang pelaksanaan penyadapan berdasarkan model due process memperlambat kinerja dan independensi penegakan korupsi terutama dilakukannya Operasi Tangkap Tangan. Artikel ini membahas rancang bangun penyadapan pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan model due process sebagai upaya menjamin hak asasi manusia, secara khusus hak privasi. Pertama, awalnya pembentuk undang-undang lebih menekankan pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif sehingga menunjukkan penerapan model pengawasan tindak pidana.  Kedua, UU KPK RI  mengubah penyadapan lebih prosedural dengan harapan menguatkan sinergitas antar lembaga penegak hukum. Pengaturan penyadapan atas tindak pidana korupsi di Indonesia masih belum sepenuhnya memberlakukan model due process. Penyadapan masih bersifat sektoral dengan mencakup tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta menjalankan proses perijinan secara internal. Kata kunci: korupsi, model due process, model pengawasan tindak pidana.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a7 
Natural Born Citizen as a Requirement of Indonesian President: Significances and Implications Susi Dwi Harijanti; Firman Manan; Mei Susanto; Ilham Fajar Septian
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The Third Amendment to the 1945 Constitution stipulates that one of the requirements to become a presidential candidate is an Indonesian natural-born citizen who has never received another citizenship of his/her own volition. The requirement can create confusion and dissenting opinions to determine persons considered natural-born citizens and methods to prove it. This study explores the significances of determining a natural-born citizen as a requirement to become a presidential candidate and its implications. Through a socio-legal approach, this study concludes that the natural-born citizen requirement's significance is to eliminate racial discrimination from the previous requirement of a “native Indonesian” president and to ensure convincing allegiance from the president. There are some implications of the requirement. First, every Indonesian citizen born after the establishment of the Citizenship Law 2006, regardless of ethnic status, is called a natural-born citizen, including those from mixed marriages and having limited dual citizenship up to the age of 18 years. Meanwhile, for Indonesian citizens born before the Citizenship Law 2006, the natural-born citizen status is determined based on Law 3 of 1946 and Law 62 of 1958, including Indonesia’s agreement with the Netherlands and China. Second, a natural-born citizen status mutatis mutandis should require of other constitutional positions, either executive, legislative, or judiciary, and to a presidential candidate’s husband or wife.Natural Born Citizen sebagai Syarat Presiden Indonesia: Arti Penting dan ImplikasiAbstrakAmandemen Ketiga UUD 1945 menetapkan salah satu syarat calon presiden adalah kewarganegaraan sejak kelahiran (natural-born citizen) dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Syarat tersebut dapat menimbulkan kebingungan tentang siapa saja yang dapat dianggap sebagai warga negara sejak kelahiran dan bagaimana pembuktiannya. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri arti penting penetapan natural-born citizen sebagai syarat presiden dan implikasinya. Melalui pendekatan sosio-legal, artikel ini menyimpulkan arti penting syarat natural-born citizen adalah untuk menghilangkan diskriminasi rasial dari syarat presiden “orang Indonesia asli” dan untuk menjamin kesetiaan yang kuat dari presiden. Adapun implikasinya, pertama, setiap WNI yang lahir setelah berlakunya UU Kewarganegaraan tahun 2006, jika sejak kelahirannya telah berstatus WNI, tanpa melihat status etnis, disebut sebagai natural born citizen, termasuk di dalamnya berasal dari perkawinan campuran dan memiliki kewarganegaraan ganda terbatas sampai dengan usia 18 tahun. Sementara WNI yang lahir sebelum UU Kewarganegaraan tahun 2006, penentuan status WNI sejak kelahiran berdasarkan pengaturan UU 3 Tahun 1946 dan UU 62 Tahun 1958 termasuk perjanjian-perjanjian yang diadakan Indonesia dengan Belanda dan Tiongkok. Kedua, natural born citizen secara mutatis mutandis seharusnya diberlakukan bagi syarat jabatan ketatanegaraan lainnya baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, serta terhadap suami atau istri calon Presiden karena alasan kesetiaan.Kata Kunci: kesetiaan, kewarganegaraan sejak kelahiran, syarat presiden.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a1
The Reformulation of Restitution Concept in Juvenile Cases (A Comparative Study with Philippines and Thailand) I Wayan Putu Sucana Aryana
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The principles of international law mandate diversion as a model for solving juvenile cases. The diversion model as a resolution model in Indonesia, Philippines, and Thailand is rooted in the traditional culture and local wisdom of the people. Diversion agreement can take form of restitution. This study discusses three issues: (1) diversion in juvenile criminal justice system, (2) restitution in diversion, and (3) comparison of restitution in the Philippines and Thailand. This study employs normative legal approach, which examines the ambiguity of norms of restitution forms. Currently, restitution is interpreted merely as reimbursement for victim. This study collected primary and secondary legal materials collected through literature study. This study employed statutory, legal concept, and comparative law approaches. The focus was on the Philippines and Thailand contexts. The analysis was conducted qualitatively. Diversion is a specialty in the juvenile criminal justice system in which criminal cases committed by children are resolved by deliberation. The result of the diversion agreement can be in the form of restitution as agreed in the deliberation. The Law Number 11 of 2012 on the Juvenile Criminal Justice System recognizes form of restitution. The form is money. It is different from the Philippines and Thailand that formulating a form of restitution in the form of services provided by the perpetrator and/or his family to the victim and/or his family. This form of restitution is based on social realities in which the economic condition of the perpetrator’s family makes it impossible to pay restitution in the form of money. The restitution of work services can be a material for reformulation in the dimension of ius constituendum in Indonesia.Reformulasi Konsep Ganti Kerugian pada Perkara Anak (Studi Perbandingan dengan Philipina dan Thailand)Prinsip hukum internasional mengamanatkan model penyelesaian perkara anak melalui diversi. Model penyelesaian perkara secara diversi, baik di Indonesia, Philipina maupun Thailand berakar dari budaya tradisional dan kearifan lokal masyarakat setempat. Hasil kesepakatan diversi dapat berupa ganti rugi. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai tiga permasalahan yakni diversi dalam sistem peradilan pidana anak, ganti rugi dalam diversi, dan perbandingan ganti rugi di Philipina dan Thailand. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang mengkaji mengenai kekaburan norma mengenai bentuk ganti rugi. Saat ini, ganti rugi hanya diintepretasikan sebagai pembayaran sejumlah uang bagi korban. Bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum dan pendekatan perbandingan hukum, yakni dengan Filipina dan Thailand. Analisis penelitian dilakukan secara kualitatif. Diversi merupakan kekhususan dalam sistem peradilan pidana anak dimana perkara pidana yang dilakukan oleh anak diselesaikan secara musyawarah. Hasil kesepakatan diversi dapat berupa ganti kerugian yang disepakati dalam musyawarah tersebut. Bentuk ganti rugi yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah adalah dalam bentuk pembayaran berupa uang. Berbeda dengan Philipina dan Thailand yang merumuskan bentuk ganti kerugian berupa pelayanan yang diberikan oleh pelaku dan/atau keluarganya kepada korban dan/atau keluarganya. Bentuk ganti rugi tersebut didasari oleh kenyataan sosial dimana kondisi ekonomi dari keluarga pelaku tidak memungkinkan untuk membayar ganti rugi dalam bentuk uang. Bentuk ganti rugi berupa pelayanan kerja ini dapat menjadi bahan reformulasi dalam dimensi ius constituendum di Indonesia.Kata kunci: anak, diversi, ganti rugi.https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a6
The Perspective of Indonesian Law on E-Commerce: Validity, Liability and Dispute Settlement Lintang Yudhantaka; Ghansham Anand; Manik Lingkar Katulistiwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

In the era of globalization, the fast development of technology enables people to complete almost all activities with technological assistance. One of the activities is commerce. Commercial activity by means of electronic media is called e-commerce. Like ordinary commerce, e-commerce requires contract to order rights and obligations of parties involving in transaction. This study aims to discuss and to elaborate legal construction of e-commerce in addition to the liability of merchant for any loss resulted. In practice, only few consumers fully understand contents of contract. Many of them experience losses either because of their negligence in understanding contract or the fraudulent actions of business actors. This study employed legal research method with conceptual and statute approach. The study reveals that e-commerce is a form of e-contract. In addition, e-commerce is constructed as sales and purchase agreement since it arranges subjects, objects, and primary obligations of the pertinent parties. On the subject of liability of merchants, they must be liable if they were revealed violating contract and taking their consumers into loss.E-Commerce dalam Perspektif Hukum Indonesia: Keabsahan, Tanggung Gugat dan Penyelesaian SengketaAbstrakPada era globalisasi ini, perkembangan teknologi yang begitu pesat memungkinkan semua kegiatan dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi, termasuk kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan tersebut menggunakan media elektronik yang biasa disebut dengan e-commerce (electronic commerce). Seperti kegiatan perdagangan pada umumnya, kontrak juga dibutuhkan dalam e-commerce untuk mengatur hak dan kewajiban pada pihak dalam melakukan transaksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskusikan serta mengelaborasi tentang konstruksi hukum dalam kegiatan e-commerce dan tanggung gugat pelaku usaha terhadap kerugian yang telah ditimbulkan. Dalam praktiknya sangat jarang bagi para pihak untuk memahami isi kontrak, terutama konsumen, sehingga banyak diantara mereka yang mengalami kerugian baik itu diakibatkan karena kelalaiannya dalam memahami kontrak maupun tindakan pelaku usaha yang curang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa e-commerce juga termasuk ke dalam kontrak elektronik (e-contract) dan e-commerce juga dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli karena pengaturan mengenai subjek, objek serta hak dan kewajiban pokoknya berasal dari para pihak. Dalam kaitannya dengan tanggung gugat pelaku usaha (penjual), ia bertanggung gugat apabila terbukti melanggar perjanjian yang telah disepakati dan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kata kunci: e-commerce, perjanjian jual beli, tanggung gugat.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a3
Port Denials and Restrictions Policies during Covid-19 Pandemic Based on International Law Angela Jessica Desmonda
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

As a public facility, port has a significant potential to be cluster of the Covid-19 spread. Many states have implemented policies of denials and restriction of port access to protect people’s health. This study aims to analyze port denials and restrictions policies settings based on international law. In addition, this study is to analyze whether the status of state of emergency will affect state’s obligations based on international law. This study was conducted by analyzing associated international treaty law and customary law. The study concludes that no international treaty law and customary law prohibit port denials and restrictions because port is under the sovereignty of respected coastal state. The state is free to implement any policies. Without any permit, foreign ships are not allowed to enter and dock at the port of the coastal state. However, in a situation of danger or distress, foreign ships have the right to enter port. The IHR 2005, as a special instrument dealing with public health, also provides an opportunity for coastal state to prevent ship embarking and disembarking passengers if the ship is exposed to a pandemic disease, such as Covid-19. In such case, foreign ship may be prohibited from entering and docking at port of coastal state. On the other hand, in a situation of danger or distress, foreign ship has the right to enter port. In contrast, the 1923 Port Convention gave permission to state to close ports in urgent situation that endangered national security. Kebijakan Penolakan dan Pembatasan Pelabuhan Selama Pandemi Covid-19 Berdasarkan Hukum Internasional AbstrakPelabuhan merupakan salah satu akses masuknya kapal asing ke suatu negara dan juga dapat menjadi akses masuk bagi penyebaran pandemi Covid-19. Demi melindungi kesehatan masyarakatnya, banyak negara menerapkan kebijakan penolakan dan pembatasan akses pelabuhan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisa pengaturan kebijakan port denials dan restrictions dalam kerangka hukum internasional. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisa bilamana status State of Emergency yang dideklarasikan oleh negara akan mempengaruhi kewajiban dalam hukum internasional terkait dengan kebijakan port denials and restrictions. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan analisa terhadap hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional terkait. Penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional yang melarang kebijakan penutupan dan pembatasan akses pelabuhan suatu negara pantai. Hal ini dikarenakan pelabuhan berada di dalam yurisdiksi negara pantai di mana negara tersebut bebas untuk menerapkan kebijakan apapun. Tanpa adanya izin, kapal asing tidak diperbolehkan untuk masuk dan berlabuh di pelabuhan negara pantai. Meskipun demikian, dalam keadaan bahaya atau kesulitan, kapal asing memiliki hak untuk masuk ke dalam pelabuhan negara pantai. IHR 2005 sebagai instrument khusus yang menangani kesehatan publik juga memberi celah bagi negara pantai untuk melakukan pencegahan masuknya kapal untuk menaik-turunkan penumpang jika dirasa kapal tersebut terpapar Covid-19. Bahkan, Port Convention 1923 memberikan izin kepada negara untuk menutup pelabuhannya dalam keadaan mendesak yang membahayakan keamanan negara.Kata kunci: keadaan darurat negara, pandemi Covid-19, penolakan dan pembatasan pelabuhan.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a5
Presidential Candidacy Threshold and Presidentialism Affirmation in Indonesia Titon Slamet Kurnia
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study discusses the constitutionality of presidential candidacy threshold, particularly related to the principle of presidentialism. This study argues that the threshold is unconstitutional because it does not reflect the principle of presidentialism. The principle emphasizes executive and legislative prescriptions that should be independent of each other. Supporting the current threshold, the Constitutional Court proposes a rationale that the threshold aims to strengthen presidentialism in Indonesia. The current threshold is believed can give the elected president adequate political support in parliament. In fact, the idea is not factually and juridically correct. An elected president can govern effectively without significant institutional obstacle, although the President does not gain support of majority political power in the parliament. On that basis, it is necessary to amend Article 6A paragraph (2) of the 1945 Constitution so that the implementation of presidential system can be more consistent. Political parties should not be given monopolistic power to bear the presidential and vice-presidential candidates. The system should also accommodate the possibility of independent presidential and vice-presidential candidates, separating the line of political parties. Such constitutional provisions are expected to annul the presidential nomination threshold.Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Penegasan Presidensialisme di IndonesiaAbstrakArtikel ini mendiskusikan isu hukum apakah ambang batas pencalonan presiden konstitusional, khususnya dikaitkan dengan asas presidensialisme. Artikel ini berargumen bahwa ambang batas pencalonan presiden inkonstitusional karena tidak mencerminkan asas presidensialisme yang mengandung preskripsi eksekutif dan legislatif saling tidak bergantung. Alasan Mahkamah Konstitusi bahwa ambang batas pencalonan presiden konstitusional dalam rangka penguatan presidensialisme di Indonesia, supaya presiden terpilih nantinya mendapatkan dukungan politik yang memadai di parlemen, tidak tepat baik secara faktual maupun secara yuridis. Walau tidak didukung oleh kekuatan politik mayoritas di parlemen, sesuai asas presidensialisme, hal itu bukan hambatan institusional bagi presiden untuk tetap dapat memerintah secara efektif. Atas dasar itu perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 supaya penerapan asas presidensialisme dapat lebih konsisten. Partai politik seyogianya tidak lagi diberikan kekuasaan yang monopolistik sebagai pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, termasuk dengan mengakomodasi kemungkinan pasangan calon presiden dan wakil presiden di luar jalur partai politik. Dengan ketentuan konstitusional yang demikian maka eksistensi ambang batas pencalonan presiden akan gugur dengan sendirinya.Kata kunci: ambang batas pencalonan presiden, konstitusionalitas, presidensialisme.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a4
The Implementation of the Strict-Liability Principle to the Perpetrators of Forest and Land Burning Hafrida Hafrida; Helmi Helmi; Bunga Permatasari
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The massive forest and land fires in Indonesia have been raging and caused haze disaster. The haze disaster is not suffered only in Indonesian territory, but it has become a transnational disaster resulting in extensive economic and health quality losses. In addition, the disaster has led damage to agricultural land and disruption of diplomatic relations among affected states. The number of perpetrators of forest and land fires that increase annually shows that the enforcement of criminal law is relatively ineffective. This article covers the problem whether the principle of strict liability can be applied to the perpetrators of forest burning. In 2019, forest fires in the Jambi Province had took placed in estimated 165.86.58 hectares. The forest fire is the main source of transnational haze disaster. Law enforcement on forest fires in Jambi has not provided a deterrent effect yet. There are forty-six companies acquiring fires in their concession land areas. Unfortunately, only four of them reached court proceedings and only two companies were declared guilty by the court. Therefore, as a deterrent effort, the principle of strict liability can be applied as the main principle to handle perpetrators of forest burning. Penerapan Asas Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak) terhadap Pidana Pelaku Tindak Pidana Membakar Hutan dan LahanAbstrakTingginya tingkat kebakaran hutan dan lahan yang berdampak pada bencana kabut asap, tidak hanya berdampak di wilayah Indonesia tetapi juga menjadi bencana lintas negara serta mengakibatkan kerugian yang luas, termasuk kerugian ekonomi dan kerugian akan mutu kesehatan, rusaknya lahan pertanian serta berakibat pada terganggunya hubungan diplomatik antar negara yang turut serta terdampak. Melihat pada banyaknya pelaku pembakaran hutan dan lahan yang berulang setiap tahunnya menunjukan bahwa penegakan hukum pidana melalui pemidanaan pelaku tidak efektif. Maka permasalahan dalam artikel ini adalah apakah asas strict liability ini dapat diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan sebagai upaya penjeraan pada pelaku? Kondisi empirik kebakaran hutan di Jambi pada tahun 2019 memperlihatkan luas  wilayah yang terbakar mencapai 165.86.58 hektare yang merupakan sumber penyebab utama bencana asap lintas negara. Penegakan hukum atas bencana kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi belum memberikan efek jera, dari 46 (empat puluh enam) Perusahaan yang mengalami kebakaran di wilayah konsesinya, hanya 4 (empat)  perusahaan yang perkaranya sampai pada proses peradilan dan dari 4 (empat) perusahaan tersebut hanya 2 (dua) perusahaan yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Untuk itu ke depan sebagai upaya penjeraan sudah seharusnya diterapkan asas strict liability sebagai asas utama dalam pertanggungjawaban pidana pelaku pembakaran hutan dan lahan.Kata kunci: kebakaran hutan dan lahan, penegakan hukum pidana, tanggung jawab mutlak.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n3.a2

Page 1 of 1 | Total Record : 7


Filter by Year

2020 2020


Filter By Issues
All Issue Vol 12, No 1 (2025): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 3 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 2 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 1 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 3 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 2 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 1 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 3 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 2 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 1 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 3 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 2 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 1 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 2 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 2 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 1 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 3 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) More Issue