Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

NASAKH MENURUT ABU MUSLIM AL-ASFAHANI Samsul Arifin
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 1 No. 1 (2021): Pemikiran Tokoh dan Penerapan Hukum Islam
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.387 KB) | DOI: 10.61595/aladillah.v1i1.149

Abstract

Dalam tataran teoritis, Imam Syafi’i merupakan pencetus teori Nasakh. Namun eksistensi nasakh, sesungguhnya telah ada pada zaman sahabat. Banyak ahli literatur-literatur klasik yang menunjukkan digunakannya teori ini, namun masih belum sempurna seperti tafsir ibnu abbas, yang mana didalamnya terdapat proses penasakhan antar ayat. Pada perkembangan lebih lanjut, muncul mujaddid ( tokoh pembaharuan) tentang mengemukkan pendapatnya, bahwa nasakh dalam al-Quran perlu di tinjau lagi. Karena al Quran sendiri sudah” memproklamirkan” diri bahwa di dalam al-Quran tidak terdapat satu pun ayat yang batil. Bahkan apabila al-Qur’an bukan dari Allah, Niscaya akan terdapat banyak perselisihan didalamnya. Lebih jelas lagi, ketika Syekh Muhammad Hundari Beik memaparkan jumlah ayat yang bermasalah (baca: kontradiksi) beserta takwilannya, bahkan lebih “nakal” lagi kawan-kawan di JIL (Jaringan Islan Liberal) bahwa adanya nasakh mansukh merupakan bukti ke gagalan Ulama’ tempo dulu dalam menyikapi ayat. Terlepas dari pro dan kontra di atas timbulah pertanyaan apakah al-Quran terjadi nasakh ? Dimanakah letak yang dianggap kontradiksi ? Apa alternatif dari nasakh ?.
Tradisi Rokat dalam Perspektif Hukum Islam (Pertautan antara Simbol dan Makna) Samsul Arifin
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 1 No. 2 (2021): Tradisi dan Hukum Islam
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.302 KB) | DOI: 10.61595/aladillah.v1i2.185

Abstract

Islam in Indonesia is Islam with many traditions. It can be understood that before Islam entered the archipelago through many things, namely trade, marriage, education, Sufism, art, politics, and da'wah, so that acculturation became inevitable, namely a social process that arises when a group of people with a certain culture meet elements of another culture. The foreign culture is gradually accepted and processed into its own culture without causing the loss of the cultural elements of the group itself. So that a new culture is formed, namely a fusion of two cultures. Rokat, for example, is one of them in Javanese-Madurese culture which is an acculturation of culture. Namely community activities that involve many people by reading readings, certain prayers and certain goals. In terms of its purpose, it can be seen that rokat is divided into several types of rokat romah, rokat tasek, rokat sabeh, rokat tanian, rokat 7 are (Madura language) and others. The reading of certain rakats and certain prayers is believed by some Muslims, especially rural people, that the prayers that are said will be fulfilled. Uniquely in the prayer in Javanese, some of them speak Madura. Besides that, some rokat rituals involve preparing certain foods or certain items, with some people offering offerings. The question is how does Islamic law view the practice of the rokat ritual. That rokat is a form of embodiment of prayer that is said at the end of the ritual. Of course, pray to Allah SWT. Because, the text of the prayer is clear to whom. As long as you do not pray to other than Allah, then it is not called shirk and kufr. As for offerings, it is basically alms that will be distributed to the people who are present in the rokat ritual.
Status dan Diskriminasi terhadap Anak di Luar Nikah Perspektif Ulama Fiqh Samsul Arifin; Suaidi
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2022): Hukum Islam dan Undang-Undang
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61595/aladillah.v2i1.374

Abstract

The pros and cons of adultery are increasingly interesting to discuss. Especially the difference in views between the Constitutional Court and the MUI in deciding on the nasab relationship of the adulterous child. According to the Constitutional Court, children out of wedlock still have civil relations with men which can be proven based on science and technology and/or other evidence. Meanwhile, according to the MUI, to sue the biological father to support or receive inheritance, the lineage of the child does not need to be determined by the lineage with the biological father. This MUI decision refers to the opinions of scholars scattered in several tours. The method used in this study is a qualitative method, namely describing the views of fuqaha 'about adultery children. Data collection techniques used in this research are editing, coding, and tabulating. After the data has been collected, it is then analyzed using content analysis in the sense of capturing the implied message of one or several statements. To test the validity of the data in this study, the researcher took several steps, namely making careful observations, triangulating sources, and conducting discussions with colleagues. The finding of this study is that there are several opinions of fuqaha' who discriminate against adulterous children. From these findings, the researchers produced answers to the problem formulation. First, of the three issues related to adultery, the majority of jurists agree on the issue of lineage and inheritance. In terms of lineage, and inheritance, the child of adultery does not get the slightest rights from his biological father. Meanwhile, regarding the issue of adulterous children becoming prayer priests, the fuqaha' differed in opinion. Second, From some of the opinions of the scholars above, regarding the issue of an adulterous child becoming a prayer priest, it is Hanafiyah's opinion that discriminates more against an adulterous child. Likewise in the matter of lineage, although most scholars agree, including Imam Syafii, socially, the conclusion tends to discriminate against adulterous children, even though by argument their footing can be accounted for.
KONSEP ‘IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA MENURUT PARA IMAM MADZHAB DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Samsul Arifin
Progresif : Media Publikasi Ilmiah Vol. 7 No. 1 (2019): PROGRESIF : MEDIA PUBLIKASI ILMIAH
Publisher : Universitas Bondowoso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (795.125 KB)

Abstract

‘Iddah merupakan hal yang bersifat kodrati bagi perempuan. Bagi kalangan umat manusia, Iddah termasuk dalam “rambu-rambu” dalam konsekwensi hukum yang akan timbul dari iddah tersebut, lebih pelik lagi tetapi ketika dihadapkan dengan kondisi yang khusus seperti halnya wanita yang melakukan zina akan menjadi persoalan yang rumit serta muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama. Para ulama tersebut berbeda pendapat dalam menentukan ada atau tidaknya ‘iddah bagi wanita hamil karena zina. Secara khusus penelitian ini mengkaji tentang ‘iddah wanita hamil karena zina baik menurut hukum Islam maupun hukum positif. Untuk itu, masalah yang diajukan adalah bagaimana ketentuan hukum Islam, hukum positif serta dalil dan metode yang digunakan dalam fiqh untuk menetapkan ‘iddah bagi wanita pezina. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan jenis studi pustaka (library research). Hasil penelitian ini adalah terdapat tiga jawaban tentang ketentuan ‘iddah wanita hamil karena zina. Pertama, ketentuan hukum Islam terhadap ‘iddah bagi wanita hamil karena zina adalah ada dua pendapat menurut para ulama. Mazhab Syafi’i dan Hanafi tidak mewajibkan ‘iddah, dan diperbolehkan menikahi wanita tersebut, karena mencampuri dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab, maka tidak diharamkan menikahi wanita tersebut. Mazhab Maliki dan Hanbali mewajibkan wanita tersebut untuk ber’iddah, apabila ia hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan, dan apabila tidak tampak kehamilan ‘iddahnya dengan tiga kali suci. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam mengenai ‘iddah wanita hamil karena zina tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat 1 sampai ayat 3 tentang kawin hamil. Kedua, ketentuan hukum positif terhadap ‘iddah bagi wanita hamil karena zina juga tidak menjelaskan tentang ‘iddah wanita hamil karena zina secara spesifik. Baik itu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hanya saja mengatur tentang ‘iddah wanita yang putus perkawinannya karena kematian, perceraian, fasakh, khulu’, dan lian. Ketiga, dalil dan metode yang digunakan dalam fiqh untuk menetapkan ‘iddah bagi wanita hamil karena zina yaitu menurut mazhab Syafi’i memakai ketentuan QS.An-Nisa ayat 24 dan hadis Nabi dari Aisyah, ra. Menurut mazhab Hanafi bersumber pada hadis Nabi. Menurut mazhab Maliki bersumber pada perkataan Ibnu Mas’ud, dan menurut mazhab Hanbali bersumber pada QS. An-Nur ayat 3
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG HITUNGAN ‘IDDAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Samsul Arifin
Progresif : Media Publikasi Ilmiah Vol. 5 No. 2 (2017): PROGRESIF : MEDIA PUBLIKASI ILMIAH
Publisher : Universitas Bondowoso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.289 KB)

Abstract

Islam mewajibkan „iddah bagi seorang istri adalah demi melindungi kehormatan keluarga, serta menjaga dari perpecahan dan percampuran nasab. Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung, secara termenologi mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada wanita. Pada kenyataan di tengah-tengah masyarakat, persepsi terhadap hitungan yang beragam, sehingga berdampak pada konsekwensi hukum selanjutnya. Persepsi tersebut terbagi menjadi tiga golongan, pertama, Masyarakat terpelajar, yaitu masyarakat yang sudah mengetahui tentang aturan-aturan hukum baik yang ada dalam kitab maupun undang-undang. Kedua, Masyarakat menengah Orang yang taunya hanya setenga-setengah yang mana mereka masih mengikuti salah satu guru/ust yang ia takdimi. Ketiga, Masyarakat „awam yang hanya mengikuti perkataan orang tuanya meskipun itu melanggar aturan KUA. Sebagai konsekwensinya, Maka untuk golongan pertama, yaitu masyarakat terpelajar, tidak terdapat masalah. Artinya sah menurut hukum islam dan aturan pemerintah. Sedangkan untuk golongan kedua dan ketiga, maka masyarakat ini telah melanggar aturan-aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Yaitu menghitung iddah sebelum ada putusan pengadilan.
Elektisisme dalam Bermadzhab Perspektif Fiqh Islam Samsul Arifin; Suaidi
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61595/aladillah.v2i2.448

Abstract

Al-Quran and Al-Hadith are the main sources of footing for Muslims, as well as guide for mankind. Every problem that befell the ummah, they refer directly to this main source. However, not all problems that occur are contained in the source because the text contained in it is universal, so it is really necessary for legal efforts to narrow and clarify the universality of a text. Ideally, this reality requires an intermediary who has the ability to understand the content of the sacred text to respond to all the problems of the people. Without it, the sacred text would be impossible to build into living and sustainable ideas in a Muslim reality. Thus, text processors (mujtahid) are required to be able to dialogue between text and context so that they are able to respond to the dynamics of people's problems. One of the products of ijtihad which until now has become the topic of discussion among scholars is the conception of talfiq in madzhab. This concept is mentioned a lot in various books. One and ushul fiqh. One aspect is considered as a space for freedom for the people in choosing mujtahid opinions and the existence of talfiq as an effort to release the bondage of fanaticism based on madhhab. However, in another aspect, people misunderstand the concept of talfiq, so that in choosing opinions they tend to use opinions that are considered easier for themselves.
Studi Analisis Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 102 Tentang Batas Waktu Suami Mengingkari Anak Dalam Li’an Samsul Arifin
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Kompilasi Hukum Islam dan Fikih
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61595/aladillah.v3i2.743

Abstract

Menurut istilah syara‟, li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Tuduhan itu dapat ditangkis oleh istri dengan jalan bersumpah pula bahwa apa yang dituduhkan suami atas dirinya adalah dusta belaka. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pasal 102 bahwa, Suami yang akan mengingkari anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Dan Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah ini, ada yang menyebutkan bahwa waktu untuk mengingkari anak yaitu saat istri mengandung anak itu dan ada pula yang berpendapat bahwa pengingkaran anak dilakukan saat anak itu lahir. Dalam KUH Perdata merinci dengan detail waktu pengingkaran anak yang berbeda dengan pendapat fuqaha dan ketentuan KHI. Ketentuan kompilasi hukum Islam pasal 102 belum sesuai dengan pendapat fuqaha yang berlandaskan hadist, dimana waktu pengingkaran anak harus segera dilakukan saat istri hamil atau saat anak itu dilahirkan. Hukum perdata hampir sama ketentuan fuqaha dimana suami hanya diberi waktu 1 bulan untuk mengingkari anak yang dilahirkan istri. Ketentuan kompilasi hukum Islam pasal 102 yaitu adanya jeda waktu yang panjang dalam batas waktu suam mengingkari anak sehingga dapat dikatakan pasal 102 KHI tidak memberi ketegasan waktu suami mengajukan gugatan pengingkaran anak ke Pengadilan Agama dan pasal 102 KHI tidaklah sesuai dengan pendapat Imam Madzhab yang dianut umat Islam di Indonesia karena dalam pendapat Imam Madzhab menyatakan bahwa pengingkaran anak harus segera dilakukan sementara ketentuan KHI pasal 102 memberikan jeda waktu yang sangat panjang dalam pengajuan gugatan pengingkaran anak.
Studi Analisis Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 102 Tentang Batas Waktu Suami Mengingkari Anak Dalam Li’an Arifin, Samsul
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Kompilasi Hukum Islam dan Fikih
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61595/aladillah.v3i2.743

Abstract

Menurut istilah syara‟, li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Tuduhan itu dapat ditangkis oleh istri dengan jalan bersumpah pula bahwa apa yang dituduhkan suami atas dirinya adalah dusta belaka. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pasal 102 bahwa, Suami yang akan mengingkari anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Dan Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah ini, ada yang menyebutkan bahwa waktu untuk mengingkari anak yaitu saat istri mengandung anak itu dan ada pula yang berpendapat bahwa pengingkaran anak dilakukan saat anak itu lahir. Dalam KUH Perdata merinci dengan detail waktu pengingkaran anak yang berbeda dengan pendapat fuqaha dan ketentuan KHI. Ketentuan kompilasi hukum Islam pasal 102 belum sesuai dengan pendapat fuqaha yang berlandaskan hadist, dimana waktu pengingkaran anak harus segera dilakukan saat istri hamil atau saat anak itu dilahirkan. Hukum perdata hampir sama ketentuan fuqaha dimana suami hanya diberi waktu 1 bulan untuk mengingkari anak yang dilahirkan istri. Ketentuan kompilasi hukum Islam pasal 102 yaitu adanya jeda waktu yang panjang dalam batas waktu suam mengingkari anak sehingga dapat dikatakan pasal 102 KHI tidak memberi ketegasan waktu suami mengajukan gugatan pengingkaran anak ke Pengadilan Agama dan pasal 102 KHI tidaklah sesuai dengan pendapat Imam Madzhab yang dianut umat Islam di Indonesia karena dalam pendapat Imam Madzhab menyatakan bahwa pengingkaran anak harus segera dilakukan sementara ketentuan KHI pasal 102 memberikan jeda waktu yang sangat panjang dalam pengajuan gugatan pengingkaran anak.
Pernikahan Mualaf Belum Sirkumsisi (Khitan) Dalam Islam Burhan, Ali; Arifin, Samsul
Al-Adillah: Jurnal Hukum Islam Vol. 4 No. 1 (2024): Hukum Islam
Publisher : UNIVERSITAS BONDOWOSO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61595/aladillah.v4i1.870

Abstract

Abstract This journal discusses the issue of the validity of marriage for a convert to Islam who has not yet circumcised (circumcision). The results of the research can be presented or explained in this journal that marriage for someone, especially for converts who have not been circumcised (Circumcision) is still considered valid as long as the conditions and harmony in marriage are fulfilled. Because the ulama do not require circumcision (Circumcision) as a condition for marriage. Likewise, in the law of circumcision (Circumcision) there are differences of opinion among the priests of the sect. Jurnal ini membahas tentang permasalahan keabsahan pernikahan bagi seorang mualaf yang belum sirkumsisi ( khitan ). Adapun hasil penelitian dapat dipaparkan atau dijelaskan dalam jurnal ini bahwa pernikahan bagi seseorang khususnya bagi mualaf yang belum sirkumsisi ( Khitan ) tetap dihukumi sah selama syarat dan rukun dalam pernikahan terpenuhi. Karena para ulama tidak mensyaratkan kepada sirkumsisi ( Khitan ) sebagai sebuah syarat dalam pernikahan. begitu pula di dalam hukum sirkumsisi ( Khitan ) terdapat perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab.
Coaching Clinic Pembentukan Karakter Jiwa Wirausaha Berbasis Agribisnis Melalui Program WMK-MBKM Mahasiswa Di Universitas Bondowoso A.T, Weni Indah Doktri; Soemarjono, Eko; Heryandi, M. Tubi; Arifin, Samsul
DEDICATION: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 1 (2023): 21 April 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Bondowoso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61595/dedication.v3i1.686

Abstract

Coaching clinic merupakan sarana pembentukan karakter wirausaha bagi mahasiswa universitas bondowoso. Salahsatu kegiatan coaching clinic ini adalah program wmk-mbkm yang diselenggarakan oleh kemendikbuddikti. Terdapat beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Bondowoso diantaranya adalah EDC, Inkubasi Bisnis, Boot Camp, Pitch deck dan Uji kompetensi. Semua kegiatan ini dilakukan dan berjalan dengan lancar. Hasil dari kegiatan ini mahasiswa telah mampu menciptakan produk baru dan prototype Bisnis usaha berupa Keripik Temple.Q, Asam Amino (pupuk organik), Kopilaga (Kopi Arabika dengan Kapulaga) dan Nasi Hijau Organik.