Prim Haryadi
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Konstitusi

Diskursus Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 Prim Haryadi
Jurnal Konstitusi Vol 15, No 4 (2018)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (539.252 KB) | DOI: 10.31078/jk1542

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis diskursus pembatalan Perda pasca dikeluarkannya putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 atas pengujian UU No. 23 Tahun 2014 terhadap UUD 1945 yang dibatasi dalam dua rumusan masalah. Pertama, bagaimana implementasi pengujian Perda pasca Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016?. Kedua, apakah dampak putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 terhadap perkembangan hukum pemerintah daerah? Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, pasca putusan MK pengujian Perda hanya dilakukan oleh sebuah lembaga yudisial melalui judicial review di Mahkamah Agung. Kedua, terdapat dua dampak penting atas dikeluarkannya putusan MK, pertama, dengan dibatalkannya Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 maka hal ini mengakhiri dualisme pengujian Perda, karena Menteri tidak dapat lagi melakukan executive review. Kedua, putusan MK o. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 tidak menghapuskan pengawasan Pusat terhadap Perda karena masih dapat dilakukan pengawasan preventif melalui executive preview.This study aimed to analyze the discourse of cancellation after the issuance of local regulations following the Constitutional Court decision No. 137/PUU-XIII/2015 and No. 56/PUU-XIV/2016 on judicial review of Law No. 23 2014 towards the 1945 Constitution which are restricted in two formulation of the problem. First, how is the implementation of a post-test Constitutional Court Regulation No. 137/PUU-XIII/2015 and No. 56/PUU-XIV/2016? Second, what are the effects of the Constitutional Court decision No. 137/PUU-XIII/2015 and No. 56/PUU-XIV/2016 on the development of the local government law? This study is a normative with statute approach and case approach. The data used was secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results showed that: firstly, the following decision of the Constitutional Court about regional regulations review can only be conducted by a judicial body through a judicial review in the Supreme Court. Secondly, there are two important effects on the issuance of the decision of the Constitutional Court, first, by the cancellation of Article 251 of Law No. 23 year 2014 then the duality of local regulation testing is ended, because the Minister can no longer perform executive review. Second, the decision of the Constitutional Court No. 137/PUU-XIII/2015 and No. 56/PUU-XIV/2016 does not abolish the supervision of the Center Government because they do preventive supervision through executive preview.
Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata Di Indonesia Prim Haryadi
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 1 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.042 KB) | DOI: 10.31078/jk1416

Abstract

Dalam penegakan lingkungan hidup melalui pendekatan hak gugat perdata maka pihak penggugat tidak hanya menderita kerugian materiil akan tetapi dapat pula dirugikan atas rusaknya lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya. Pada beberapa putusan perdata di bidang lingkungan hidup ditemukan adanya putusan yang merupakan hal yang baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Dalam hal hak gugat, Pengadilan Negeri Samarinda telah mengakomodir hak gugat warga negara yang dikenal juga dengan citizen lawsuit (action popularis). Apabila gugatan diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maka perkembangannya mengarah pada pro natura yaitu sistem pembuktian yang menerapkan konsep strict liability sehingga KLHK sebagai penggugat tidak perlu lagi membuktikan tentang adanya kesalahan tergugat. Namun demikian tidak seluruh putusan tersebut diikuti dengan hukuman untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak dan/atau tercemar, seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Putusan tersebut belum sejalan dengan ketentuan Pasal 54 UUPPLH yang mewajibkan kepada setiap pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Putusan-putusan pengadilan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup belum memahami dan mengusai perhitungan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu hakim dalam menangani perkara-perkara perdata lingkungan hidup tidak cukup dengan menerapkan ketentuan hukum yang telah ada, namun juga memerlukan suatu judicial activism sebagai upaya untuk mengembangkan hukum lingkungan hidup di Indonesia.In the environmental enforcement approach civil right to sue the plaintiff not only suffered material losses but can also be harmed by the destruction of the environment in the vicinity of his residence. In some civil verdict in the environmental field found any decision which is a new thing in the development of environmental law in Indonesia. In the case of right to sue, Samarinda District Court has accommodated right to sue a citizen also known as citizen lawsuit (action popularis). If the lawsuit filed by the government through the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) then leads to the development of pro natura namely authentication system, which applies the concept of strict liability so KLHK as plaintiffs no longer need to prove the defendant’s guilt. However, not all the decision followed by the penalty to restore the environment that has been damaged and/or contaminated, such as the Tanjung Pinang District Court and District Court of North Jakarta. The verdict is not in line with the provisions of Article 54 UUPPLH which requires that every polluter and/or wrecking the environment for the restoration of the environment. Court decisions indicate that judges in examining and deciding environmental cases not yet understand and master the calculation of recovery costs due to environmental pollution and/or destruction of the environment. Hence judges in handling cases of environmental-civil case is not sufficient to apply the provisions of the existing law, but also requires a judicial activism in an effort to develop environmental law in Indonesia.