Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Kebijakan Pengelolaan Tambang dan Masyarakat Hukum Adat yang Berkeadilan Ekologis Nugroho, Wahyu; Imamulhadi, Imamulhadi; Nugroho, Bambang Daru; Nurlinda, Ida
Jurnal Konstitusi Vol 15, No 4 (2018)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (432.616 KB) | DOI: 10.31078/jk1547

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan berdasarkan undang-undang pertambangan mineral dan batubara? Kedua, bagaimana kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan perspektif masyarakat hukum adat yang berkeadilan ekologis? Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan berdasarkan undang-undang pertambangan mineral dan batubara saat ini hendaknya disesuaikan dengan putusan-putusan mahkamah konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam konteks perizinan. Pemerintah daerah provinsi sekarang ini mengambil alih kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan izin tambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang sebenarnya masih bersifat semi sentralistik dan secara kewilayahannya dalam konteks tambang masih berada di kabupaten, sementara pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat; kedua, Kebijakan pengelolaan sumber daya pertambangan perspektif masyarakat hukum adat yang berkeadilan ekologis terletak pada konsep kearifan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini tambang yang menjadi hak penguasaan negara. Terdapat hubungan timbal balik antara manusia dengan alam, dimana masyarakat hukum adat selalu menempatkan keseimbangan alam dalam pengelolaan lingkungan (participerend cosmisch), sehingga keadilan ekologis dapat dirasakan semua unsur alam, selain manusia.The problems in this paper are: first, what are the mining resource management policies based on mineral and coal mining laws? and second, how is the mining resource management perspective of the ecological justice community indigenous people? This research method uses normative legal research with the classification of secondary data including primary legal materials including legislation in the fields of mineral and coal mining, environmental protection and management, and regional government. Secondary legal material in the form of books and journals, while secondary legal material in the form of online news. Data analysis using qualitative juridical analysis. The results of this study are first, current mining resource management policies based on mineral and coal mining laws should be adjusted to the decisions of the constitutional court and Law No. 23 of 2014 concerning Regional Government in the context of licensing. The provincial government is currently taking over the authority of the district / city government to issue mining permits under Law No. 23 of 2014 which are actually still semi-centralistic and in the territory in the context of mines still in the district, while the provincial government is the representative of the central government; secondly, the policy of managing mining resources from the perspective of indigenous peoples with ecological justice lies in the concept of indigenous peoples’ wisdom in managing natural resources, in this case mining which is the state’s right of control. There is a reciprocal relationship between humans and nature, where customary law communities always place natural balance in environmental management (participerend cosmisch), so that ecological justice can be felt by all elements of nature, other than humans.
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN MENJADI KAWASAN WISATA DALAM PERSPEKTIF PENERAPAN ASAS TATA GUNA TANAH Fauziah, Layla Mardiyani; Kurniati, Nia; ., Imamulhadi
ACTA DIURNAL Vol 2, No 1 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 2, Nomor 1, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKAlih fungsi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya yang direncanakan menjadi fungsi lain yang membawa dampak terhadap lingkungan serta potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata harus sesuai dengan prinsip penatagunaan tanah dan perencanaan tata ruang. Dijumpai alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan penatagunaan tanah dan perencanaan tata ruang wilayah. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan asas tata guna tanah dalam pengaturan pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata dan bagaimana akibat yang timbul dalam alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian menggunakan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian bahwa pengaturan pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan wisata di Kabupaten Garut didasarkan pada Peraturan Bupati Nomor 52 tahun 2017 tentang Penataan Kawasan Wisata Darajat. Dalam pelaksanaan di lapangannya masih dijumpai pengusaha yang melanggar persyaratan alih fungsi lahan. Pemerintah Daerah Kabupaten Garut kurang melakukan pengawasan dan tidak ada sanksi tegas terhadap para pengusaha yang melanggar persyaratan alih fungsi lahan yang sudah ditentukan. Dampak positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan social masyarakat, sedangkan dampak negative berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan.Kata kunci: alih fungsi lahan pertanian; asas tata guna tanah; kawasan wisata.ABSRACTLand conversion is the transformation of the entirety or a part of the use of the land from its original purpose to a different purpose which brings an impact toward the environment and the potential of the land. Conversion of agricultural land to a tourism area must comply with the principle in land stewardship and land use planning. There are many land conversion which do not comply with these said principles. The issue adressed in this study is how well the implementation of land stewardship in the conversion of agriculutral land to a tourism area and what is the consequences that may arise from the conversion of agricultural land to a tourism area. This study uses juridical normative method which is a study that relies on secondary data. analyses it based on legal theory and relevant legal instruments. The study found that the implementation of conversion of agricultural land to a tourism area in Garut District is based on Regent Regulation Number 52 Year of 2017 concerning Land Use Planning in Darajat Tourism Area. In its implementation, private sectors still do not comply with the regulation in converting lands. The government of Garut District does not adequately monitor the conversion and does not implement strict punishment to perpetrators who violate the regulation. The conversion creates two consequences. The positive impact includes economy and social growth. The negative impact includes the preservation of the environment.Keyword: conversion of agricultural land; land use principle; tourism area.
IMPLIKASI HUKUM PELANGGARAN KOEFISIEN DASAR BANGUNAN PADA RUANG TERBUKA HIJAU PRIVAT DALAM KAWASAN INDUSTRI TERHADAP PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP Dwiharyani, Ellyna; ., Imamulhadi; Priyanta, Maret
ACTA DIURNAL Vol 1, No 2 (2018): ACTA DIURNAL, Volume 1, Nomor 2, Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.658 KB)

Abstract

ABSTRAKUndang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang sebagaimana Pasal 29 mengamanatkan penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan perkotaan. Penyediaan RTH salah satunya RTH Privat didorong penyediaannya dalam kawasan industri. Kota Cimahi merupakan salah satu kota yang harus mewujudkan proporsi RTH kawasan perkotaan dan terdapat perusahaan industri dalam kawasan industrinya yang belum dapat menyediakan RTH Privat sesuai ketentuan akibat pendirian bangunan pabrik sebelum terbentuknya Kota Cimahi. Penelitian ini bertujuan menganalisis implikasi hukum dari pelanggaran koefisien dasar bangunan pada ruang terbuka hijau privat dalam kawasan industri di Kota Cimahi dan pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Cimahi dalam hal pelanggaran koefisien dasar bangunan pada ruang terbuka hijau privat dalam kawasan industri di Kota Cimahi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil yakni pertama, implikasi hukum dari pelanggaran koefisien dasar bangunan pada ruang terbuka hijau privat dalam kawasan industri di Kota Cimahi adalah perlunya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Cimahi berupa penyesuaian bangunan pabrik Perusahaan Industri dilakukan dengan memberikan ketentuan-ketentuan pada saat permohonan IMB baru atau IUI baru untuk taat pada persyaratan teknis dan persyaratan administratif bangunan gedung serta penyediaan RTH Privat pada bangunan pabrik dengan luasan sesuai arahan persyaratan teknis dari Pemerintah Kota Cimahi. Kedua, pengendalian dari pelanggaran koefisien dasar bangunan pada ruang terbuka hijau privat dalam kawasan industri Kota Cimahi terdiri dari upaya preventif dan upaya represif.Kata kunci: implikasi hukum, koefisien dasar bangunan, ruang terbuka hijau.ABSTRACTThe Law Number 26 of 2007 concerning Spatial Planning has mandated in its Article 29, to provide open green space (OGS) in city area. All construction developer in city area supports the act to provide OGS. Cimahi city is one of many cities that has specific portion of area meant for industry. Industrial company are encouraged to be able to contribute to the act of providing Private OGS. This research aims to understand the legal implication on the breach of building coverage ratio in private open green space in the industrial area of Cimahi City to the conservation of the function of living environment and also the spatial control efforts made by the Cimahi City Government in case of such breach occurrence. This research use descriptive-analytical method with juridical-normative approach. Based on the research conducted, the result is: first, the legal implication on the breach of Building Coverage Ratio (BCR) in private open green space in industrial area in Cimahi City resulted into the necessity of the Cimahi City Government to enact regulation. The enactment of the regulation is in the form of adjustment of factory buildings owns by the Industrial Company, through the given provisions at the time of new Building Permit (IMB) or Industrial Business License (IUI) application, where the applicant has to comply to the technical and administrative requirements of building construction provided as well as the obligation to provide Private OGS in industrial buildings with the measurement in accordance with the technical specification from the Cimahi City Government. Second, the control efforts to the breach of BCR in Private OGS in Cimahi City industrial area composed of preventive and repressive efforts.Keywords: building coverage ratio, legal implication, open green space.
Implementasi Hak Gugat Warga Negara Dalam Upaya Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Kebakaran Hutan Riau Dalam Perkara Nomor : 54/Pdt.G/Lh/2016/Pn.Pbr) Dinie Nadyatul Haya Koeswandi; Imamulhadi; Yulinda Adharani
Padjadjaran Law Review Vol. 7 No. 1 (2019): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 7 NOMOR 1 JUNI 2019
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kasus kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 di Provinsi Riau telah menyebabkan pencemaran udara yang melebihi ambang batas kesehatan. Hal ini bertentangan jaminan untuk mendapatkan lingkungan baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945 karena menyebabkan kerusakan ekosistem dan melanggar hak-hak alam dan hak asasi manusia. Dalam menyelesaikan sengketa, pemerintah sering kali tidak dapat bergerak cepat. Hak gugat warga negara dianggap mampu berperan sebagai sebuah mekanisme penyelesaian sengketa pada bidang lingkungan khususnya kasus kebakaran hutan Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas pengimplementasian Hak gugat warga negara di dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu suatu metode yang menitikberatkan penulisan pada data kepustakaan atau disebut dengan data sekunder, yaitu berupa asas hukum yang dan norma-norma hukum yang berlaku. Tulisan ini menunjukan bahwa meskipun keberadaan Hak gugat warga negara telah diakui berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 namun hal tersebut tidak sertamerta dapat mempermudah penerapan gugatan melalui mekanisme Hak gugat warga negara di dalam persidangan. Sedikit banyak hal ini dikarenakan pengimplementasian gugatan Hak gugat warga negara tidak mendapat ruang yang cukup dalam sistem hukum Indonesia sehingga dalam pengeksekusiannya pun terkadang tidak memberikan hasil yang efektif. Kata Kunci : Citizen Lawsuit, Hak Asasi Manusia, Lingkungam, Penyelesaian Sengketa Abstract Riau forest fires case that occurred in 2015 has caused air pollution that exceeds the healths threshold. This contradicts to Indonesian Constitution which guarantee the right to get a good and healthy environment as mandated by the 1945 Constitution because this case has causes damage to ecosystems and violates natural rights and human rights. In disputes settlement, the government cannot resolved the problem as quick as it needs. Therefore, Citizen Suits is considered as the best mechanism in enviromental disputes settlement, especially in Riau forest fires case. This study aims to find out how effective the implementation of Citizen Suits in solving environmental disputes in Indonesia. The method used in this study is a normative juridical method, which is a method that emphasizes writing on library data or referred to as secondary data, namely in the form of legal principles and applicable legal norms. This paper shows that although the existence of Citizen Suits has been recognized based on the Decree of the Chair of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number: 36 / KMA / SK / II / 2013, it cannot facilitate the application of the lawsuit through the Citizen Lawsuit mechanism in the trial. In a way, this is because the implementation of the lawsuit of Citizen Lawsuits does not get enough space in the Indonesian legal system so that even when executing it, it does not provide effective results. Keywords: Citizen Lawsuit, Human Rights, Enviroment, Dispute Settlemen
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENERAPAN ASAS ULTIMUM REMEDIUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Boby Bimantara; Somawijaya Somawijaya; Imamulhadi Imamulhadi
Jurnal Poros Hukum Padjadjaran Vol. 2 No. 2 (2021): JURNAL POROS HUKUM PADJADJARAN
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jphp.v2i2.357

Abstract

ABSTRAK Penyidikan perkara tindak pidana lingkungan hidup yang dijadikan dasar hukum dalam penegakan hukum sebagai upaya menjamin kelestarian lingkungan hidup, yang dalam praktek sering ditemukan hasil penyidikan tidak diterima oleh Jaksa Penuntut Umum dan juga ingin mengetahui penerapan asas ultimum remedium yang dijadikan dasar dalam penegakan hukum.bagi perkara tindak pidana lingkungan hidup Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu mengkaji Peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan penegakan hukum, dan penelitian ini lebih menitik-beratkan kepada penelitian kepustakaan. Data yang telah diperoleh tersebut dikaji dan di analisis yang diperoleh dari literatur maupun sumber lain, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur atau kepustakaan dan studi lapangan. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan: (1) Perkara yang tidak diterima oleh Jaksa atas dasar tidak cukup bukti, sehingga terjadi bolak balik berkas perkara bisa dilakukan penghentian penyidikan dengan alasan atau dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dengan tetap melakukan koordinasi yang baik dan harus bersikap professional. (2) Penerapan asas ultimum remedium ini hanya terbatas dan baru dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak memiliki itikad baik lagi.Kata kunci: asas ultimum remedium; penghentian penyidik. ABSTRACT Investigation of environmental crime cases which are used as the legal basis in law enforcement as an effort to ensure environmental sustainability, which in practice is often found that the results of investigations are not accepted by the Public Prosecutor and also want to know the application of the ultimum remedium principle which is used as the basis for law enforcement. for environmental crime cases. The method used in this research is the normative juridical method, which examines statutory regulations and literature related to law enforcement, and this research focuses more on library research. The data that has been obtained are reviewed and analyzed obtained from literature and other sources, then analyzed qualitatively by combining data from literature or literature studies and field studies. Based on the analysis carried out, it can be concluded: (1) Cases that are not accepted by the Prosecutor on the basis of insufficient evidence, so that case files go back and forth, the investigation can be terminated on grounds or grounds that can be legally accountable while maintaining good coordination and must behave professional. (2) The application of the ultimum remedium principle is only limited and can only be imposed if the administrative sanctions that have been imposed are not complied with or the violation is committed more than once, and there is no longer good faith.Keywords: cessation of investigation; Principle ultimum remedium.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERTAMBANGAN BATUBARA TANPA IZIN DI KALIMANTAN TIMUR DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN Shafira Nadya Rahmayani Sembiring; Elis Rusmiati; Imamulhadi Imamulhadi
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 4 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.534 KB)

Abstract

Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia, namun juga terdapat banyak praktik pertambangan batubara tanpa izin di daerah tersebut. Pertambangan batubara tanpa izin tidak hanya merugikan secara materil terhadap penerimaan negara, namun juga menyebabkan kerugian imateril terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Maka dari itu, diperlukan upaya penegakan hukum yang didasari pada tujuan pemidanaan dalam rangka menanggulangi kejahatan pertambangan batubara tanpa izin di Kalimantan Timur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis penegakan hukum pidana terhadap pelaku pertambangan batubara tanpa izin di Kalimantan Timur dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang didasari pada penelitian kepustakaan dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang mengkaji dan menganalisis data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum di wilayah Kalimantan Timur telah melakukan penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan pertambangan batubara tanpa izin, tetapi jumlah kasus tersebut justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Maka dari itu, diperlukan peningkatan kesadaran hukum bagi masyarakat dalam rangka penegakan hukum melalui sarana non-penal untuk mendukung upaya penanggulangan kejahatan. Selanjutnya, penegakan hukum pidana terhadap pertambangan batubara tanpa izin belum disesuaikan dengan tujuan pemidanaan yang seharusnya. Tujuan pemidanaan yang tepat digunakan adalah tujuan pemidanaan dengan teori relatif yang diterapkan melalui penjatuhan pidana denda dan sanksi tindakan. Hal tersebut merupakan perwujudan konservasi lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. East Kalimantan is one of the largest coal producing regions in Indonesia, however there are also many practices of illegal coal mining. Illegal coal mining not only materially harms the state revenues, but it also causes immaterial losses to the environment and society. This is due to the failure of implement good mining practice rules, reclamation, also post-mining activities. Therefore, law enforcement efforts based on the purpose of punishment are needed in order to tackle illegal coal mining crimes in East Kalimantan. The purpose of this study is to study and analyze criminal law enforcement towards illegal coal mining perpetrators in East Kalimantan in accordance with the purpose of punishments. This study uses normative juridical approach that based on library research with descriptive analytical research specification which examine and analyze data that obtained from library research and field study. The results of this study show that law enforcers in East Kalimantan have sought to enforce the law as an effort to tackle this crime, however the number of illegal coal mining cases has actually increased from year to year. Therefore, it is necessary to increase legal awareness for society in the context of law enforcement through non-penal in supporting the efforts to tackle this crime. Furthermore, criminal law enforcement towards illegal coal mining has yet to fulfill the purpose of punishment. The purpose of punishment which is appropriate is the purpose of punishment with relative theory that applies through imposing fines and corrective actions. It is an embodiment of environmental conservation in Law Number 4 Year 2009 on Mineral and Coal Mining.
The Sustainable Environmental Protection Deregulation Concept During the Covid-19 Pandemic Imamulhadi Imamulhadi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 8, No 3 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The economic recession due to the Covid-19 pandemic has forced several countries to deregulate environmental protection. In response to such policy, many environmental activists and environmentalists worry that deregulation will cause a negative impact on the mitigation of climate change’s effects. Therefore, it is necessary to examine whether or not the deregulation of environmental protection in Indonesia is in line with the objectives of sustainable development. The provisions of the deregulation of environmental protection in Indonesia aims to encourage and accelerate investment through the simplification of licensing procedures, eradicating corruption in the licensing sector, increasing economic growth and gross domestic product, encouraging equitable development, and providing employment opportunities. This study concludes that Indonesia’s deregulation policy does not violate the minimum tolerance standard of environmental protection. It also does not eliminate the precautionary principle and environmental impact analysis as a preventive measure. In addition, it does not revoke environmental quality standards and damage quality standards as monitoring, control, and enforcement instruments. The deregulation accordingly still adheres to the three pillars of sustainable development.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v8n3.a4 
Critical Review of Indonesian Government Legal Policies on The Conversion of Protected Forests and Communal Lands of The Indigenous Batak People around Lake Toba Imamulhadi Imamulhadi; Nia Kurniati
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The Development Plan of Sibisa Lake Toba Tourism Area as The National Strategic Area for Tourism by performing a land conversion on protected forests and communal lands had stirred up a problem dilemma regarding the resistance from indigenous people around Toba Lake. It is crucial to be questioned, whether the conversion policy of protected forests and communal lands by the Indonesian Government to develop Sibisa Danau Toba Tourism Area is in accordance with related laws and regulations? As the answer, it can be concluded that the mentioned policy opposes: Article 18b of the 1945 Constitution; Article 15 of the Law of 2009 Number 32 on Environmental Protection and Management; Presidential Regulation Number 81 of 2014 on The Spatial Planning of Lake Toba Area; The Law of 1999 Number 39 on Human Rights; The Law of 2016 Number 6 on Village Government, and lastly, the United Nation Declaration on Human Rights of Indigenous People (UNDHRIP).Telaah Kritis atas Kebijakan Hukum Pemerintah Indonesia terkait Alih Fungsi Hutan Lindung dan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Batak di sekitar Danau Toba AbstrakRencana Pembangunan Kawasan Pariwisata Sibisa Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional Kepariwisataan dengan melakukan alih fungsi hutan lindung dan tanah ulayat telah menimbulkan permasalahan yang dilematis karena mendapat perlawanan dari masyarakat adat di sekitar Danau Toba. Terhadap kebijakan tersebut penting untuk dipertanyakan apakah kebijakan alih fungsi hutan dan tanah ulayat oleh Pemerintah Indonesia untuk pembangunan Kawasan Pariwisata Sibisa Danau Toba telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait? Sebagai jawaban atas permasalahan, penulis menyimpulkan bahwa  kebijakan telah bertentangan dengan: Pasal 18b UUD 1945; Pasal 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan Presiden  Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Desa, dan bertentangan dengan United Nations Declaration on Human Rights of Indigenous Peoples (UNDHRIP)Kata Kunci: Alih Fungsi Lahan, Hak Ulayat, Masyarakat Hukum AdatDOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v6n3.a2
Amicus Curiae Sebagai Bentuk Peran Serta Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup Ilma Aulia Nabila; Elis Rusmiati; Imamulhadi Imamulhadi
Widya Yuridika Vol 4, No 2 (2021): Widya Yuridika: Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Widya Gama Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31328/wy.v4i2.2336

Abstract

Environmental problems are collective problems that require the participation of all components of the nation, one of which includes environmental NGOs which have the right to participate in the protection and management of the environment, especially in the context of enforcing environmental criminal law. In practice, NGO participation can be a third party with an interest in pretrial, a witness or an expert in a trial or filing amicus curiae in environmental criminal cases. However, the role of environmental NGOs themselves is still a matter of debate by law enforcers because there is no place in the legislation which results in legal uncertainty for environmental NGOs to participate in environmental criminal law enforcement. This research is normative juridical. By using a descriptive analytical approach, this study aims to determine the extent of the role of environmental NGOs and the obstacles to manifesting the role of NGOs in the enforcement of environmental criminal law.
Reorientasi Pengaturan Pendekatan Multidoor System Penegakan Hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia Hotnando Mexson Simalango; Tajudin Tajudin; Imamulhadi Imamulhadi
JURNAL BELO Vol 6 No 2 (2021): Volume 6 Nomor 2, Februari 2021-Juli 2021
Publisher : Criminal of Law Department, Faculty of Law, Pattimura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30598/belovol6issue2page232-255

Abstract

Pendekatan multidoor system dalam penegakan hukum lingkungan hidup merupakan salah satu strategi untuk memberantas dan menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Hal ini didasarkan dengan adanya modus kejahatan lingkungan yang beragam atau bervariasi bentuk dan macam perbuatannya. Dengan cara menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan atas perbuatan pelaku yang beragam, maka multidoor system, dapat mendorong bentuk kerjasama antar tiap instansi atau penyidik PPNS dan sebagainya, yang sesuai dengan perbuatan pelaku dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan multidoor system sebenarnya dapat membentuk penegakan hukum yang terintegrasi secara multidoor dan bahkan terciptanya sistem peradilan pidana terpadu. Namun, perlu diketahui dan ditelusuri kekuatan mengikatnya dari suatu peraturan yang menghasilkan multidoor system ini. Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif dengan kajian bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Serta, didukung dengan pendekatan sosiologis, historis dan studi komparatif. Hasil pembahasan pertama, Pendekatan multidoor system merupakan hasil dari kebijakan pemerintah nasional, yang tentunya kekuatan mengikat masih lebih baik dan kuat Undang-Undang. Kedua, perlu adanya peninjauan kembali atas wawasan pengaturan pendekatan multidoor system, dengan lebih jelas dan komprehensif, tidak hanya sebatas kebijakan dalam pelaksanaan Undang-Undang.