Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search
Journal : Bandung Conference Series: Law Studies

Kebijakan Restorative Justice terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik di Media Sosial Verticallya Yuri S.E Pratiwi; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.443 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.284

Abstract

Abstract. Defamation on social media is a crime that damages one's honor through social media. According to Indonesian law, it is a crime that is currently classified as a cyber crime. The rate of reports to the police from cyber crimes continues to increase every year and the number of cases that dominate is defamation on social media. The changing times that occur are accompanied by the presence of a new paradigm as a form of development of criminal law punishment with the presence of restorative justice. Punishment through restorative justice focuses on sentencing with a process of dialogue and mediation. Especially the compensation for the losses caused by the perpetrators to the parties who were harmed, especially the victims. This study aims to determine the effect of restorative justice on the level of criminal defamation on social media that goes to court and to find out restorative justice related to defamation on social media in terms of the Chief of Police Circular SE/2/II/2021. Using a normative juridical research method with an approach to legislation and a concept approach. Through descriptive analytical research specifications, as well as data collection techniques with the method of documentation or document study. The research was analyzed through data analysis with a qualitative approach to primary data and secondary data. Keywords: Defamation, Social Media, Restorative Justice, Circular Abstrak. Pencemaran nama baik di media sosial merupakan kejahatan yang merusak kehormatan seseorang melalui media sosial. Sesuai hukum positif Indonesia, itu merupakan sebuah tindak pidana yang dewasa ini diklasifikasikan sebagai tindak pidana siber. Tingkat laporan ke kepolisian dari tindak pidana siber terus meningkat setiap tahunnya dan jumlah kasus yang paling mendominasi yaitu pencemaran nama baik di media sosial. Perubahan zaman yang terjadi diiringi hadirnya paradigma baru sebagai bentuk perkembangan penghukuman hukum pidana dengan adanya restorative justice. Penghukuman melalui restorative justice berfokus pada pemidanaan dengan proses dialog dan mediasi. Terutama penggantian kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku kepada para pihak yang dirugikan, terutama korban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh restorative justice terhadap tingkat tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial yang masuk ke pengadilan dan mengetahui restorative justice terkait pencemaran nama baik di media sosial ditinjau dari Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan pada peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Melalui spesifikasi penelitian deskriptif analitis, serta teknik pengumpulan data dengan metode dokumentasi atau studi dokumen. Penelitian tersebut dianalisis melalui analisis data dengan pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Kata kunci: Pencemaran Nama Baik, Media Sosial, Restorative Justice, Surat Edaran
Penegakan Hukum terhadap Praktik Jual Beli Fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Dihubungkan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Muhammad Ravli; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 1 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (458.363 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i1.1061

Abstract

Abstract. Law Number 12 of 1995 concerning Corrections Article 1 number 3 which reads "Penitentiary Institutions, hereinafter referred to as LAPAS, are places to carry out the guidance of Prisoners and Correctional Students. Then in article 1 number 2 it is written "The Correctional System is an order regarding the directions and boundaries as well as the method of fostering Correctional Inmates so that they are aware of their mistakes, improve themselves, and do not repeat criminal acts so that they can be accepted again by the community, can play an active role in development. , and can live naturally as good and responsible citizens”. Based on the rules above, this study wants to convey that prisons are part of the legal system in Indonesia, which needs to get great attention from the government of the Republic of Indonesia. The research method is using a qualitative approach, the nature of the research is descriptive with secondary data sources. The results of the study concluded that the current Correctional system still has many shortcomings in various aspects. Both in terms of human resources and in terms of infrastructure. The results showed that, correctional officers still abuse their authority as law enforcers in Correctional Institutions which are contrary to Article 12 Letter B Number 20 of 2001 concerning Criminal Acts of Corruption. To overcome these problems, preventive and countermeasures can be carried out through penal and non-penal means. Abstrak. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 3 yang tertulis “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Lalu dalam pasal pasal 1 angka 2 yang tertulis “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Berdasarkan aturan di atas, penelitian ini ingin menyampaikan bahwa Pemasyarakatan adalah bagian dari sistem hukum di Indonesia, yang perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintahan Republik Indonesia. Adapun metode penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif, sifat penelitian adalah deskriptif dengan sumber data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sistem Pemasyarakatan yang berjalan saat ini, masih memiliki banyak kekurangan di berbagai sisi. Baik dari sisi sumber daya manusia maupun dari sisi sarana prasarana. Hasil penelitian menunjukan bahwa, petugas pemasyarakatan masih melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai penegak hukum di Lembaga Pemasyarakatan yang bertentangan dengan Pasal 12 Huruf B Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Untuk Mengatasi Permasalah Tersebut, dapat dilakukan tindak pencegahan dan penanggulangan melalui sarana penal dan non penal.
Pelaksanaan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Penipuan di Polwiltabes Bandung Dikaitkan dengan Peraturan Polisi Nonor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tidak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif Noviyanti Nurjannah; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.4900

Abstract

Abstract. Referring to Police Regulation Number 8 of 2021 concerning the Handling of Crimes based on Restorative Justice, the process of its application by investigators at the Bandung Polwiltabes, SP3 may only be issued after fulfilling special requirements, namely by attaching evidence that the victim's rights have been restored. But in fact, SP3 was issued by Bandung Polwiltabes investigators without attaching evidence of recovery of the victim's rights. This is of course very contradictory in the settlement of fraud cases based on Police Regulation Number 8 of 2021 concerning Handling of Crimes based on Restorative Justice. The purpose of writing this thesis is to analyze how the implementation of the mechanism for handling criminal acts of fraud in the Polwiltabes Bandung uses a restorative justice approach and how is the form of certainty for the restoration of victims' rights based on restorative justice related to Police Regulation Number 8 of 2021 concerning Handling of Crimes based on Restorative Justice. Types in this research is Nondoctrinal legal research or sociological juridical, namely research that is carried out directly by looking at the reality that exists in practice in the field, and is based on a study of the operation of law in society. The research method used by researchers is normative juridical. Data collection techniques use primary, secondary and tertiary legal materials. The mechanism carried out by the Bandung Polwiltabes Criminal Investigation Unit investigators in implementing restorative justice has helped resolve cases of criminal acts of fraud in the jurisdiction of the Bandung Polwiltabes. However, a different thing happened to Prison Number: LP/2624/XI/2020/JBR/POLWILTABES related to the criminal act of fraud for business capital/investment cooperation in the procurement of ammonia, in the end after the issuance of SP3 by Satreskrim Polwiltabes Bandung, obstacles were found related to evidence of restoration of victim's rights . The reported party fled while the fulfillment of the victim's right to compensation or compensation has not been fully obtained. In the implementation of restorative justice, investigators or investigators must first complete the material and formal requirements as stated in Articles 4 and 5 of the Republic of Indonesia Police Regulation No. 8 of 2021. Furthermore, regarding the document evidence of victim recovery, it has also been regulated in Article 15 paragraph (3). After all the requirements have been met, the new investigator or investigator can stop the investigation or investigation with reasons for the sake of law. Abstrak. Merujuk pada Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tetang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif proses penerapannya oleh penyidik di Polwiltabes Bandung, SP3 hanya boleh dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan khusus, yaitu dengan melampirkan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban. Namun faktanya, SP3 dikeluarkan oleh penyidik Polwiltabes Bandung tanpa melampirkan bukti pemulihan hak korban. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dalam penyelesaian perkara penipuan berdasarkan Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tetang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Tujuan dari penulisan skripsi ini guna menganalisis terkait bagaimana pelaksanaan mekanisme penanganan tindak pidana penipuan di Polwiltabes Bandung dengan pendekatan keadilan restoratif dan bagaimana bentuk kepastian atas pemulihan hak korban berdasarkan keadilan restoratif dihubungkan dengan Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tetang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.Jenis pada penelitian ini adalah penelitian hukum Nondoktrinal atau yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktik di lapangan, serta didasarkan atas kajian terhadap bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah yuridis normatif. Teknik pengumpulan data menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.Mekanisme yang dilakukan penyidik Satreskrim Polwiltabes Bandung dalam menerapkan restorative justice telah membantu menyelesaikan kasus tindak pidana penipuan pada wilayah hukum Polwiltabes Bandung. Akan tetapi, hal yang sngat berbeda terjadi pada Laporan Polisi Nomor : LP/2624/XI/2020/JBR/POLWILTABES terkait tindak pidana penipuan modal usaha/investasi kerjasama pengadaan Amoniak, pada akhirnya setelah diterbitkannya SP3 oleh Satreskrim Polwiltabes Bandung, ditemukan kendala terkait bukti pemulihan hak korban. Terlapor melarikan diri sementara pemenuhan hak korban atas ganti kerugian atau kompensasi belum didapatkan seutuhnya. Pelaksanaan keadilan restoratif, penyelidik atau penyidik harus terlebih dahulu melengkapi persyaratan-persyaratan baik materiil dan formiil sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No. 8 tahun 2021. Selanjutnya terkait dokumen bukti pemulihan korban juga telah diatur dalam Pasal 15 ayat (3). Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka penyelidik atau penyidik baru dapat menghentikan penyelidikan atau penyidikan dengan alasan demi hukum.
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Keterlibatan Dokter dan Perawat dalam Tindak Pidana Aborsi di Klinik Ditinjau dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan KUHP Indah Sintia; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.4932

Abstract

Abstract. A clinic is a place or public facility that has a small scale to provide care to patients, besides that the clinic is also used as a place for giving birth and is often used as a place for abortions. Abortion is divided into two types, namely Abortus Provocatus Medicalis and Abortus Provocatus Criminalis which are classified as criminal acts. Abortion of the Criminal type does not only ensnare the patient but also the staff working in the illegal clinic, namely doctors and nurses. Therefore, it is necessary to have criminal responsibility for those involved in this illegal abortion activity. The purpose of this study is to find out how criminal liability is towards a doctor and nurse in an Abortion Crime in a Clinic from the point of view of Law no. 36 of 2009 concerning Health and the KUHP and knowing about the legal considerations that were decided against Decision No. 406/Pid.sus/2020/PN Jkt Pst. This research uses normative juridical method through literature study by collecting secondary data. The results of this study are criminal liability for a doctor and nurse who are involved in the crime of abortion in a clinic in terms of Law no. 36 of 2009 concerning Health and KUHP, where parties who practice illegal abortions can be subject to article 194 of Law no. 36 of 2009 concerning Health Jo article 75 paragraph 1 Jo article 438 Jo 349 of the KUHP. In the case brought up in decision No. 406/pid.sus/2020/PN Jkt Pst, based on his legal considerations, charged the defendant with Article 194 of Law No. 36 of 2009 concerning Health Jo 75 paragraph 1 of Law no. 36 of 2009 concerning Jo's Health article 64 paragraph (1) of the KUHP with imprisonment for 1 year and 4 months and a fine of Rp. 100,000,000, - with the provision that if the fine is not paid it is replaced with imprisonment for 4 (four) months Abstrak. Klinik merupakan suatu tempat atau fasilitas umum yang memiliki skala kecil untuk memberikan perawatan kepada pasien, selain itu klinik juga dijadikan sebagai sarana untuk tempat bersalin dan sering kali dijadikan sebagai tempat untuk melakukan aborsi. Aborsi dibedakan menjadi dua macam yaitu Abortus Provocatus Medicalis dan Abortus Provocatus Criminalis yang tergolong kedalam tindak pidana. Aborsi jenis Criminalis tidak hanya menjerat pasien tetapi tenaga-tenaga yang berkerja pada klinik ilegal tersebut yaitu dokter dan perawat. Maka dari itu perlu adanya pertanggungjawaban pidana atas pihak yang terlibat dalam kegiatan aborsi ilegal ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap seorang dokter dan perawat dalam suatu Tindak Pidana Aborsi dalam sebuah Klinik ditinjau dari sudut pandang UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan KUHP dan Mengetahui terkait pertimbangan hukum yang diputus terhadap Putusan No. 406/Pid.sus/2020/PN Jkt Pst. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data sekunder. Hasil dari penelitian ini yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap seorang dokter dan perawat yang terlibat dalam tindak pidana aborsi di sebuah klinik ditinjau dari UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan serta KUHP, dimana pihak yang melakukan praktik aborsi ilegal dapat dikenakan pasal 194 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Jo pasal 75 ayat 1 Jo pasal 438 Jo 349 KUHP. Dalam kasus yang diangkat pada putusan No. 406/pid.sus/2020/PN Jkt Pst berdasarkan pertimbangan hukumnya menjerat terdakwa dengan pasal 194 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Jo 75 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan dan Denda sebesar Rp.100.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan.
Kasus Malpraktik oleh Bidan yang Melakukan Kesalahan Persalinan di Rumah Sakit Riau Melalui Penerapan Restorative Justice Dihubungkan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Rizky Muhammad Casesaria; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.5035

Abstract

Abstract. Restorative justice is a settlement model that prioritizes recovery for victims, perpetrators, and society. The main principle of Restorative Justice is the participation of victims and perpetrators, the participation of citizens as facilitators in resolving cases, so that there is a guarantee that the child or perpetrator will no longer disturb the harmony that has been created in society. Restorative Justice aims to empower victims, perpetrators, families and communities to correct an unlawful act by using awareness and belief as a basis for improving social life explaining that the concept of Restorative Justice is basically simple. In carrying out health actions by health workers, namely nurses and midwives, it is possible for negligence to occur which can be fatal to the patient's soul and body, in legal or medical terms it is called malpractice. In article 29 of Law no. 36 of 2009 concerning health states that "In the event that a health worker is suspected of negligence in carrying out his profession, the negligence must first be resolved through mediation." In accordance with article 29 of Law Number 36 of 2009 concerning health that health workers who are suspected of being negligent in carrying out their profession, the negligence must be resolved first through mediation, therefore many people prefer a settlement through restorative justice. The purpose of this research is to find out how the application of the concept of Restorative Justice to malpractice cases that occurred at Hospital X in Riau based on Law Number 36 of 2009. The results obtained are the results of the settlement of malpractice cases between victims and perpetrators with the concept of Restorative Justice. Abstrak. Keadilan Restoratif adalah model penyelesaian mengedepankan pemulihan terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip utama Restorative Justice adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus, sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di masyarakat. Restorative Justice memiliki tujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Dalam pelaksanaan tindakan kesehatan oleh tenaga kesehatan yaitu perawat maupun bidan tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kelalaian yang berakibat fatal untuk badan maupun jiwa pasiennya dalam istilah hukum atau medis disebut malpraktik. Pada pasal 29 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.” Sesuai dengan pasal 29 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa tenaga kesehatan yang diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi, oleh karena itu banyak orang yang lebih memilih melakukan penyelesaian melalui restorative justice. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep Restorative Justice terhadap kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit X di Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009. Adapun hasil yang didapatkan adalah hasil dari penyelesaian kasus malpraktik antara korban dan pelaku dengan konsep Restorative Justice.
Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Pelecehan Seksual Sejenis (Homoseksual) yang Dilakukan oleh Pelatih Futsal Bogor Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Rifqi Harta Wiguna Kusumah; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 3 No. 1 (2023): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v3i1.7139

Abstract

Abstract. Regulations regarding sexual harassment are contained in Articles 289, 292, 293 Paragraphs (1), (2), (3), 294 Paragraph (2) Number 2 of the Criminal Code (KUHP) which explains that in Article 289: " Whoever with violence or threats of violence forces a person to commit or allow obscene acts to be carried out, shall be punished for committing an act which attacks the honor of decency, with a maximum imprisonment of nine years." As happened to the research object in this thesis where the perpetrator with the initials GJ who sexually abused his male students became victims of verbal abuse. The purpose of this thesis research is to understand the aspects of the responsibility of the perpetrators of sexual harassment towards the victims in this case and to find out the implementation of law enforcement against child sexual abuse. This research method uses a normative juridical approach and the specifications of this research are descriptive-analytical, namely describing, explaining and explaining clearly matters relating to the issues to be disclosed. The results of the study show that sexual harassment is a case that often occurs regardless of gender or age, sexual harassment can happen to anyone and law enforcement against perpetrators of sexual harassment is regulated in article 289 of the Criminal Code. Recommendations based on these problems are that the government is obliged to provide very strict sanctions against perpetrators of sexual harassment by providing clear rules. In addition, the government is obliged to establish legislation that specifically provides legal protection for victims of sexual harassment. Then the community is advised to increase their insight and knowledge regarding true sexual harassment in accordance with article 289 of the Criminal Code concerning law enforcement against perpetrators of sexual harassment so that cases such as the Bogor futsal coach do not occur again sexually harassing their students. Abstrak. Peraturan mengenai pelecehan seksual terdapat dalam Pasal 289, 292, 293 Ayat (1), (2), (3), 294 Ayat (2) Nomor 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang isinya menjelaskan bahwa pada Pasal 289: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”. Seperti yang terjadi pada objek penelitian dalam skripsi ini dimana pelaku berinisial GJ yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya yang berkelamin laki-laki menjadi korban pelecehan secara verbal. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk memahami aspek tanggung jawab pelaku pelecehan seksual terhadap para korban dalam kasus tersebut dan mengetahui implementasi penegakkan hukum terhadap pelecehan seksual anak. Metode penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif serta spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan, menguraikan dan memaparkan secara jelas hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak diungkapkan. Hasil penelitian menunjukkan pelecehan seksual merupakan kasus yang sering terjadi tidak melihat gender ataupun usia, pelecehan seksual dapat terjadi pada siapapun dan penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual diatur dalam pasal 289 KUHP. Rekomendasi berdasarkan permasalahan tersebut adalah pemerintah wajib untuk memberikan sanksi yang sangat tegas terhadap para pelaku Pelecehan seksual dengan memberikan aturan yang jelas. Selain itu pemerintah wajib membentuk perundang-undangan yang secara khusus memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang terkena pelecehan seksual. Kemudian masyarakat disarankan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuannya mengenai pelecehan seksual yang benar sesuai dengan pasal 289 KUHP tentang penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual agar tidak terjadi lagi kasus seperti pelatih futsal bogor melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya.
Penerapan Pidana Penjara Dihubungkan dengan Kelebihan Kapasitas di Lapas Kelas II B Sumedang Dikaitkan dengan Proses Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan Nanda Wijaksana; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 1 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i1.12492

Abstract

Abstrak : Sistem Pemasyarakatan merupakan salah satu bagian yang penting dalam pembangunan sistem hukum pidana bidang pelaksana pidana di Indonesia. Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana. Akan tetapi faktanya terdapat banyak kendala saat melakukan pembinaan terhadap narapidana, sehingga pada pelaksanaannya pembinaan yang diberikan belum dapat dilakukan secara optimal. Di Indonesia terdapat banyak lembaga pemasyarakatan yang jumlah narapidana dan tahanan melebihi dari kapasitas Lapas atau Rutan tersebut. Maka dari itu pemerintah dan sejumlah aparatur penegak hukum sudah seharusnya tidak lagi memprioritaskan hukuman pemenjaraan dan menggunakan pendekatan atau konsep keadilan restorative sehingga masalah kelebihan kapasitas yang ada di Indonesia dapat berkurang. Kata Kunci : Sistem Pemasyarakatan, Kelebihan kapasitas, Hak Narapidana, dan Keadilan Restoratif Abstract : Correctional system is one of the important parts in the development of criminal law system in the field of criminal execution in Indonesia. The correctional system is a series of criminal law enforcement units. However, in fact there are many obstacles when providing guidance to prisoners, so that in practice the guidance provided cannot be carried out optimally. In Indonesia, there are many correctional institutions where the number of prisoners and detainees exceeds the capacity of the prison or detention center. Therefore, the government and a number of law enforcement officials should no longer prioritize imprisonment and use the approach or concept of restorative justice so that the problem of overcapacity in Indonesia can be reduced. Keywords: Correctional System, Overcapacity, Prisoners' Rights, and Restorative Justice
Kepastian Hukum atas Hak Asasi Tahanan dalam Penanganan Overstay di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cikarang Cani Waharani Putri; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i2.12617

Abstract

Abstract. Detention in the context of criminal justice is highly vulnerable to human rights violations, such as arbitrary detention, secret detention, and enforced disappearance. In cases of unlawful detention, correctional institutions (Lapas) are given the authority to release detainees by law. However, in reality, many detainees experience unlawful detention and remain in Lapas even though their detention period has ended. This situation is commonly referred to as overstay. Considering that the issue of overstay in correctional facilities is a systemic problem that cannot be resolved solely by the Lapas/Rutan, support from structural officials overseeing detention services is also needed. This includes monitoring overstay management, starting from data collection, notification of expired detention periods to the detaining party, and daily reporting of overstay cases, to minimize the occurrence of detainee overstays. Therefore, a different approach and solution are necessary to address this issue effectively. This research aims to examine the legal certainty for detainees affected by overstay and how it is handled by Lapas Kelas IIA Cikarang. The research method used is a juridical-empirical approach, with descriptive analytical research specifications. The data collection techniques employed in this study are interviews and juridical qualitative analysis methods. The purpose of this research is to determine the legal certainty for detainees experiencing overstay at Lapas Kelas IIA Cikarang and to understand the measures taken by Lapas in managing overstay cases, as many detainees are unaware of what overstay entails. Abstrak. Penahanan dalam konteks peradilan pidana sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, seperti penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention), penahanan rahasia (secret detention), dan penghilangan paksa (enforced disappearance). Dalam hal terjadi penahanan yang tidak sah, lembaga pemasyarakatan (Lapas) diberikan kewenangan untuk membebaskan tahanan demi hukum. Namun, dalam kenyataannya, banyak tahanan yang mengalami penahanan tidak sah dan masih berada di dalam Lapas meskipun masa penahanannya telah habis. Hal ini biasa disebut overstay. Mengingat persoalan overstay di Lapas/Rutan merupakan masalah sistemik yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh pihak Lapas/Rutan saja, dukungan dari pejabat struktural yang membawahi pelayanan tahanan juga dibutuhkan untuk mengawasi penanganan overstay, mulai dari pendataan, pemberitahuan masa habis tahanan kepada pihak penahan, hingga pelaporan overstay setiap hari, sehingga dapat meminimalisir terjadinya overstay tahanan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum para tahanan yang terkena overstay dan penanganannya oleh Lapas Kelas IIA Cikarang. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan metode analisis yuridis kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepastian hukum para tahanan yang mengalami overstay di Lapas Kelas IIA Cikarang dan mengetahui penanganan yang dilakukan oleh pihak Lapas terkait overstay, mengingat adanya tahanan yang tidak memahami masalah overstay itu sendiri.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana yang Mengakibatkan Penghambatan dalam Upaya Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy Muhammad Saleh Armand Pratama; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i2.15689

Abstract

Abstract. This research focuses on what factors are the limitations of facilities and infrastructure and what impacts arise from the limitations of facilities and infrastructure which result in obstacles in coaching efforts at the Class IIA Banceuy Correctional Institution. This research uses a qualitative approach with descriptive analysis. This qualitative approach is used to understand how conditions and situations occur. The data collected is in the form of a description of the actual (naturalistic) situation in the field in the form of a detailed description that explains something as it is and provides a clear picture of the limitations of facilities and infrastructure that result in obstacles to development efforts. After observing the Class IIA Banceuy Penitentiary, there were limited facilities and infrastructure due to a large fire that occurred on Saturday 23 April 2016 which caused the facilities in the prison to burn up to 90%. This incident occurred due to a number of inmates going on a rampage due to a misunderstanding between prison officers. and the inmates, therefore efforts to develop goals are hampered. The limited facilities and infrastructure at the Class IIA Banceuy Prison have an impact on the physical and mental condition of the inmates. This limited facility and infrastructure also triggers the mental condition of the prisoners to become unfavorable. Limitations in prayer rooms, library rooms, visiting rooms, education rooms and inadequate skills can make prisoners feel stressed and even depressed due to lack of social interaction and social activities. Abstrak. Penelitian ini berfokus kepada faktor apa yang menjadi Keterbatasan Sarana dan Prasarana dan dampak apa yang timbul dari adanya Keterbatasan Sarana dan Prasarana yang mengakibatkan penghambatan dalam upaya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan analisis Deskriptif. Pendekatan Kualitatif ini digunakan untuk memahami bagaimana kondisi dan situasi yang terjadi. Data yang di kumpulkan berupa gambaran keadaan yang senarnya (naturalistik) di lapangan berupa uraian detail yang menjelaskan sesuatu apa adanya serta memberi gambaran yang jelas mengenai Keterbatasan Sarana Dan Prasarana Yang Mengakitbatkan Penghambatan Dalam Upaya Pembinaan. setelah dilakukan observasi ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy adanya Keterbatasan Sarana dan Prasarana diakibatkan adanya kebakaran besar yang terjadi pada Sabtu 23 April 2016 yang menyebabkan terbakarnya fasilitas dalam Lapas hingga 90% kejadian ini terjadi akibat adanya sejumlah narapidana yang mengamuk akibat adanya kesalah pahaman antara petugas lapas dan para narapidana maka dari itu terhambatnya upaya tujuan pembinaan Keterbatasan sarana dan prasarana di Lapas Kelas IIA Banceuy berdampak pada kondisi fisik dan mental narapidana. Keterbatasan Sarana dan Prasarana ini juga menjadi pemicu kondisi mental para narapidana menjadi tidak baik. Keterbatasan pada ruang ibadah, ruang perpustakaan, ruang kunjungan, ruang pendidikan maupun keterampilan yang tidak memadai dapat membuat narapidana merasa stress hingga depresi karena kurangnya interaksi sosial dan kegiatan sosial.
Program Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy dalam Upaya Pemenuhan Hak-Hak Narapidana Dimas Agung Widodo; Dey Ravena
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/bcsls.v4i2.15702

Abstract

Abstract. This research focuses on the development of prisoners in order to fulfill the rights of prisoners in the Class IIA Banceuy Penitentiary. The aim of this research is to determine the fulfillment of prisoners' rights in the class IIA Banceuy penitentiary and the factors that hinder and support the fulfillment of prisoners' rights in the class IIA Banceuy penitentiary. This research approach method is qualitative with a type of non-doctrinal legal research. Descriptive research specifications with interview data collection and literature study. This research shows that the fulfillment of the rights of convicts at the Class IIA Banceuy Penitentiary while serving their criminal period has been ongoing and in accordance with what is contained in the legislation. The inhibiting factors in fulfilling prisoners' rights are the lack of motivation of prisoners to take part in coaching activities and excessive or over capacity housing. Abstrak. Penelitian ini berfokus kepada pembinaan narapidana dalam rangka memenuhi hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Banceuy. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemenuhan hak narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Banceuy dan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung. Metode pendekatan penelitian ini kualitatif dengan jenis penelitian hukum non doktrinal. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy selama menjalani masa pidana telah berjalan dan sesuai dengan apa yang terdapat dalam perundang-undangan. Faktor penghambat dalam pemenuhan hak narapidana ialah kurangnya motivasi narapidana untuk mengikuti kegiatan pembinaan dan kapasitas hunian yang berlebihan atau over kapasitas.