Thigita A. Pandaleke
Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : JURNAL BIOMEDIK

Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut Pandaleke, Thigita A.; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.3.2017.17334

Abstract

Abstract: Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) is a rare skin disorder commonly caused by drugs. Skin lesions can occur within 1-2 days after drug consumption in the form of sterile pustules on erythematous skin base and accompanied by fever. Mortality rate reaches 5%, especially in elderly patients who have significant comorbid factors. Etiopathogenesis is still unclear, presumed to be drugs (beta-lactam and macrolide antibiotics), although it can also be caused by infection and hypersensitivity to mercury. Incidence of AGEP approximately 1-5 million cases per year. It can occur at all ages, and more common in females than in males. The typical clinical features are non-follicular pustules erupting on erythematous skin and fever. In most cases, the skin lesions begin from the face or intertriginous areas and then within a few hours the pustules will spread to the lower trunk and limbs, accompanied by mild burning and minimal itching complaints. Histopathology provides an overview of sub-corneal spongiform and or intraepidermal pustules which are often accompanied by edema of the dermal papilla and perivascular neutrophil infiltration along with exocytosis of eosinophils. The management of AGEP is to stop the suspected drugs, continued with symptomatic therapy. Prognosis PEGA is generally good, unless secondary infection is present.Keywords: AGEP, sterile pustulesAbstrak: Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan kelainan kulit langka yang umumnya disebabkan oleh obat. Lesi kulit dapat timbul dalam 1-2 hari setelah mengonsumsi obat berupa pustul steril di atas dasar kulit yang eritematosa dan disertai dengan keluhan sistemik berupa demam. Angka kematian akibat PEGA mencapai 5% terutama pada pasien usia lanjut dengan faktor komorbid yang jelas. Etiopatogenesis PEGA belum jelas, diduga obat (antibiotik golongan beta laktam dan makrolid), meskipun juga dapat diakibatkan oleh infeksi dan hipersensitivitas terhadap merkuri. Insiden terjadinya PEGA kurang lebih 1-5 juta kasus pertahun, dapat terjadi pada semua usia, dan lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Gambaran klinis khas PEGA ialah pustul-pustul non-folikular yang timbul diatas kulit yang eritematosa dan disertai demam. Pada kebanyakan kasus keluhan kulit diawali dari area wajah atau lipatan kemudian dalam beberapa jam pustul akan menyebar ke trunkus dan ekstremitas bagian bawah, kadang disertai rasa terbakar ringan dan gatal minimal. Gambaran histopatologik menunjukkan pustul spongiformis subkorneal dan atau pustul intraepidermal disertai dengan edema pada papila dermis dan infiltrasi neutrofil perivaskular bersamaan dengan eksositosis eosinofil. Penatalaksanaan PEGA ialah menghentikan obat yang dicurigai, dilanjutkan dengan terapi simptomatik. Prognosis umumnya baik dan dapat sembuh sendiri, kecuali bila terdapat infeksi sekunder.Kata kunci: PEGA, pustul steril
Herpes Zoster pada Anak – Laporan Kasus Pandaleke, Thigita A.; Pandaleke, Herry E. J.; Susanti, Ratna I.; Dotulong, Julieta D. P.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.1.2018.19005

Abstract

Abstract: Herpes zoster (HZ) is an acute vesicular eruption caused by latent varicella zoster virus (VVZ) reactivation in sensory ganglia after primary infection. Its incidence increases with age and it is rarely found in children. We reported a case of 10-year-old male with blisters on the right side of his stomach and back 3 days ago. The patient was suffered from fever, common cold, and cough a week before, and had a history of varicella at 5 years old. Dermatologic status showed multiple vesicles on erythematous base at the anterior dan posterior sides of his right lumbar region. The Tzank test showed multinucletaed giant cells. Acyclovir resulted in significant improvement after 7- day therapy. Conclusion: Diagnosis of herpes zoster was based on anamnesis, physical examination, and laboratory findings. Antiviral drugs was aimed to reduce complications and viral shedding.Keywords: Herpes zoster, childAbstrak: Herpes zoster (HZ) merupakan erupsi vesikuler akut yang disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisela zoster (VVZ) laten pada ganglia sensoris yang sebelumnya terpajan dengan infeksi primer varisela. Insiden HZ meningkat seiring pertambahan usia dan jarang ditemukan pada anak-anak. Kami melaporkan kasus seorang anak laki-laki, 10 tahun, dengan bintil-bintil berair di perut dan punggung sebelah kanan sejak 3 hari lalu. Riwayat demam, batuk dan pilek 1 minggu sebelum timbul lesi. Riwayat varisela pada usia 5 tahun. Status dermatologis ditemukan vesikel multipel berisi cairan jernih yang tersusun bergerombol di atas kulit yang eritema di regio lumbar dekstra anterior dan posterior. Tes Tzank memperlihatkan sel raksasa berinti banyak. Pasien diterapi dengan asiklovir oral selama 7 hari dan menunjukkan perbaikan yang bermakna. Simpulan: Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kasus ini khas untuk herpes zoster. Pemberian obat antiviral bertujuan untuk mengurangi komplikasi dan menurunkan viral shedding.Kata kunci: herpes zoster, anak
MIKRODERMABRASI Pandaleke, Thigita A.; Kapantow, Grace M.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.7.2.2015.9325

Abstract

Abstract: Microdermabrasion is a skin rejuvenation procedure with a superficial abrasion mechanism to remove the outermost skin layer of the epidermis, exfoliation. The principle of skin rejuvenation with microdermabrasion is based on the principle of wound healing. Wounding and removing the outermost layer of the skin can stimulate the regeneration of new healthy cells from the epidermis and dermis. Microdermabrasion is usually used for a variety skin problems inter alia acne scars, hyperpigmentation, stretch marcks, and photodamaged skin. Microdermabrasion can be used on several areas of the skin, including the face, neck, chest, and hands.Keywords: microdermabrasion, rejuvenation, exfoliativeAbstrak: Mikrodermabrasi adalah prosedur peremajaan kulit superfisial dengan mekanisme abrasi yaitu membuang lapisan paling luar dari epidermis, dikenal sebagai eksfoliasi. Prinsip peremajaan kulit dengan mikrodermabrasi didasarkan pada prinsip penyembuhan luka. Melukai dan menghilangkan lapisan kulit paling luar dapat menstimulasi regenerasi pembentukan sel-sel baru yang sehat dari epidermis dan dermis. Mikrodermabrasi biasanya digunakan untuk berbagai permasalahan kulit seperti skar akne, hiperpigmentasi, stretch marck, serta photodamaged. Mikrodermabrasi dapat digunakan pada area kulit termasuk wajah, leher, dada, maupun tangan.Kata kunci: mikrodermabrasi, peremajaan kulit, pengelupasan
ETIOPATOGENESIS DERMATITIS ATOPI Pandaleke, Thigita A.; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5547

Abstract

Abstract: Atopic dermatitis is a chronically relapsing skin disease that occurs most commonly during early infancy and childhood. It is a major public health problem worldwide with a prevalence in children 10-20% and 1-3% in adults. However, its main etiology is uncertain. There are some initiating factors that play important roles in the occurence and progress of this dermatitis atopic, such as: decreased skin barrier function, dysfunction of the immune system, genetic factor, enviromental factors, and infections, involving the immune system in the blood as well as in the skin, cytokines, and peptides. Keywords: atopic dermatitis, initiating factors   Abstrak: Dermatitis atopi adalah penyakit kulit kronik kambuhan yang paling sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia, dengan prevalensi 10-20% pada anak dan 1-3% pada dewasa. Penyebab pasti dermatitis atopi belum diketahui. Terdapat beberapa faktor pencetus yang diduga turut berperan dalam terjadinya dan perlangsungan dermatitis atopi, antara lain: interaksi antara penurunan fungsi sawar kulit, disfungsi sistem imun, faktor genetik, faktor lingkungan, dan agen infeksi, dengan melibatkan berbagai sistem imun baik di dalam darah maupun pada kulit, sitokin, dan peptida. Kata kunci: dermatitis atopi, faktor pencetus