Ramadhana Anindyajati Bachry
Universitas Trisakti

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum

ASPEK HUKUM ACARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Ramadhana Anindyajati Bachry
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 5 No. 1 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/hpph.v5i1.15872

Abstract

Kebutuhan pendanaan yang signifikan dalam sektor usaha seringkali bertentangan dengan kemampuan pembayaran utang sehingga permasalahan pembiayaan yang berpengaruh pada kegiatan usaha, seperti bisnis dan transaksi, serta dampaknya terhadap Debitur maupun Kreditur, khususnya dalam hal ini ketika terjadi kondisi likuiditas keuangan. Kepailitan merupakan langkah yang dapat ditempuh, dimana melibatkan peran hakim pengawas sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU-KPKPU), yang lahir akibat dorongan dunia usaha untuk mencari perangkat hukum demi menyelesaikan masalah, khususnya Debitur terdampak pandemi Covid-19, jumlah kasus yang ditangani oleh Pengadilan Niaga naik secara tajam. Pokok permasalahan lebih lanjut adalah terkait Hukum Acara dalam perspektif undang-undang tersebut, khususnya membahas tentang Kedudukan Sita Kepailitan terhadap Sita Pidana dengan mengaitkan dan membandingkan ketentuan dalam UU-KPKPU bahwa konsep pembuktian sederhana, meliputi pemeriksaan, salinan putusan Pengadilan Niaga, putusan PKPU, hingga renvoi (pencoretan). Lebih daripada itu, penulis menawarkan suatu pengembangan dan penyempurnaan undang-undang, disertai dengan harmonisasi pelaksanaan sita umum, yang menyebutkan bahwa semua penyitaan harus didasari atas persetujuan Hakim Pengawas, dapat ditambahkan dengan kalimat “kecuali sita dalam rangka kepentingan acara pidana”. Rekomendasi sistem yang penulis maksud dapat diinterpretasikan bahwa pelaksanaan sita pidana lebih baik dilakukan terhadap extraordinary crime.
ASPEK HUKUM ACARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Ramadhana Anindyajati Bachry
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 5 No. 1 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/hpph.v5i1.15872

Abstract

Kebutuhan pendanaan yang signifikan dalam sektor usaha seringkali bertentangan dengan kemampuan pembayaran utang sehingga permasalahan pembiayaan yang berpengaruh pada kegiatan usaha, seperti bisnis dan transaksi, serta dampaknya terhadap Debitur maupun Kreditur, khususnya dalam hal ini ketika terjadi kondisi likuiditas keuangan. Kepailitan merupakan langkah yang dapat ditempuh, dimana melibatkan peran hakim pengawas sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU-KPKPU), yang lahir akibat dorongan dunia usaha untuk mencari perangkat hukum demi menyelesaikan masalah, khususnya Debitur terdampak pandemi Covid-19, jumlah kasus yang ditangani oleh Pengadilan Niaga naik secara tajam. Pokok permasalahan lebih lanjut adalah terkait Hukum Acara dalam perspektif undang-undang tersebut, khususnya membahas tentang Kedudukan Sita Kepailitan terhadap Sita Pidana dengan mengaitkan dan membandingkan ketentuan dalam UU-KPKPU bahwa konsep pembuktian sederhana, meliputi pemeriksaan, salinan putusan Pengadilan Niaga, putusan PKPU, hingga renvoi (pencoretan). Lebih daripada itu, penulis menawarkan suatu pengembangan dan penyempurnaan undang-undang, disertai dengan harmonisasi pelaksanaan sita umum, yang menyebutkan bahwa semua penyitaan harus didasari atas persetujuan Hakim Pengawas, dapat ditambahkan dengan kalimat “kecuali sita dalam rangka kepentingan acara pidana”. Rekomendasi sistem yang penulis maksud dapat diinterpretasikan bahwa pelaksanaan sita pidana lebih baik dilakukan terhadap extraordinary crime.