Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : LEX PRIVATUM

TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUTAN UDARA NIAGA MENURUT KONVENSI MONTREAL 1999 DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN Revino W. Mumek; Caecilia J.J Waha; Max Karel Sondakh
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konvensi Montreal 1999 dan Undang-Undamg No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pada prinsipnya kedua aturan ini berkaitan erat dalam hal tanggung jawab hukum angkutan udara niaga dan bukan niaga. Konvensi Montreal 1999 mengatur tatanan hukum secara internasional mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap pengguna jasa penerbangan yang mengalami kerugian yang ditimbulkan oleh pengangkut. Baik itu pengangkutan penumpang, bagasi dan kargo dalam penerbangan internasional dengan pesawat udara serta ganti rugi yang harus dibayarkan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur hak, kewajiban, serta tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga akibat dari penyelenggaraan penerbangan. Konvensi Montreal 1999 adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan dalam hal kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan barang, serta kerugian pribadi atau kematian penumpang yang terjadi selama penerbangan. Pengaturan hukum pengangkutan udara niaga menurut Konvensi Montreal 1999 didasarkan pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dimana pengangkut bukan lagi dianggap bertanggung jawab tetapi pengangkut selalu harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban tanpa ada kemungkinan membebaskan diri kecuali korban juga turut bersalah. Kata Kunci: Konvensi Montreal 1999; Tanggung jawab angkutan udara niaga; Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
PERLINDUNGAN HUKUM PENGUNGSI DI INDONESIA PASCA PERATURAN PRESIDEN NO.125 TAHUN 2016 Renaldy William Tendean; Max Karel Sondakh; caecilia J.J. Waha
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perlindungan pengungsi terdapat dalam konvensi Jenewa 1951 dan protokol 1967 dan yang menjadi kewenangan dari UNHCR “United Nation High Commisionerfor Refugees” atau Komisioner tinggi perserikatan bangsa-bangsa dibidang pengungsi. Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967 namun Indonesia mengakui salah satu prinsip internasional yaitu prinsip Non Refoulement. Dalam perlindungan pengungsi di Indonesia di jamin oleh Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena pengungsi merupakan manusia yang rentan terhadap pelanggaran ham dan dalam masuk arus pengungsi terdapat dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2011 serta dalam penanganan pengungsi di jamin oleh Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan luar Negeri. Setelah adanya Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 penanganan pengungsi dilakukan berdasarkan kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia. Saat Pandemi Pandemi Covid-19 pemerintah Indonesia dalam penanganan pengungsi melakukan berbagai upaya agar para pengungsi mendapatkan fasilitas keshatan terlebih hak agar pengungsi tidak terdiskriminasi dan tertinngal dalam Pandemi Covid-19. Kata Kunci: Konvensi Jenewa 1951, Protokol 1967, Pasca Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016, Pengungsi.