Adanya Pandemi Covid 19 di Indonesia beberapa waktu yang lalu dapat dikategorikan sebagai bencana non alam yang telah diutetapkan secara nasional. Untuk mengantisipasi dan membantu masyarakat pemerintah telah mengucurkan dana sosial bagi masyarakat yang tidak mampu dan terdampak atas adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Terdapat empat potensi korupsi dana bantuan sosial di tengah pandemi, diantaranya yaitu : Pertama, korupsi terkait pengadaan barang/jasa. Kedua, kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan dan penyelewengan bantuan atau hibah dari masyarakat ataupun swasta yang diberikan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda. Ketiga, pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan anggaran dalam proses refocusing dan realokasi anggaran Covid-19 pada APBN dan APBD. Keempat, pada penyelenggaraan bantuan sosial (social safety net) oleh pemerintah pusat dan daerah. Berbagai kasus di atas memvalidasi adanya “wabah korupsi” di tengah wabah COVID-19. Korupsi ibarat virus yang menular ke sesama manusia dan berbahaya. Suburnya rasuah telah merusak institusi pemerintahan, memudarkan integritas, dan membawa kehancuran bangsa. Ketidak-sempurnaan sistem negara yang saat ini terombang pasca pandemi menjadi kelemahan terbesar yang membuka peluang korupsi lebih lebar. Lebih lanjut, masyarakat acapkali memiliki logical fallacy, di mana berpikir bahwa semakin banyak kasus korupsi maka semakin baik. Padahal, maraknya kasus korupsi yang ditangani mengindikasikan tidak terlaksananya fungsi pencegahan korupsi. Oleh karenanya, ekspansi masif tipikor selama pandemi merupakan potret memilukan bangsa yang sepatutnya segera dibenahi. Penyalahgunaan dana COVID 19 di masa pendemi melalui korupsi oleh pihak yang berwenang patut untuk dikategorikan sebagai pemberatan pidana, salah satunya kasus korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial sebagaimana telah diputus dalam Putusan Nomor 29/PID.SUS-TPK/2021PN JKT.PST