Raisye Soleh Haghia
Universitas Indonesia

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Building a Fortress of Independent Journalism: Historical Study of the Role of Aliansi Jurnalis Independen (AJI) in Indonesia, 1994-1999 Raisye Soleh Haghia; Susanto Zuhdi; Linda Sunarti
Paramita: Historical Studies Journal Vol. 35 No. 1 (2025): History of Education
Publisher : istory Department, Faculty of Social Sciences, Universitas Negeri Semarang in collaboration with Masyarakat Sejarawan Indonesia (Indonesian Historical Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v35i1.7076

Abstract

Abstract: The democratic transition period in Indonesia (1994-1999) became crucial for developing independent journalism. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) emerged as a firm and strong organization that fought for press freedom and built a fortress of independent journalism amid the New Order repression. This study aims to analyze AJI's strategy in building and fighting for independent journalism in Indonesia during this period. Using historical analysis and a qualitative approach, this study explores AJI's contribution to voicing the interests of journalists, fighting for freedom of expression, and rejecting state intervention in the press. The data was collected through literature studies, analysis of organizational documents, and in-depth interviews with AJI activists. This research opens a new understanding of AJI's efforts to achieve press freedom in the New Order era through a review of AJI's strategy for developing independent journalism in Indonesia. This study's results show that AJI uses conventional strategies such as advocacy and education and innovative strategies such as networking, solidarity, and publications. These strategies have proven effective in strengthening independent journalism in Indonesia, with the realization of a freer and professional journalistic environment. Abstrak: Periode transisi demokrasi di Indonesia (1994–1999) menjadi masa krusial bagi tumbuhnya jurnalisme independen. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) muncul sebagai organisasi yang tegas dan kuat dalam memperjuangkan kebebasan pers serta membangun benteng jurnalisme independen di tengah represi Orde Baru. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi AJI dalam membangun dan memperjuangkan jurnalisme independen di Indonesia selama periode tersebut. Dengan menggunakan pendekatan historis dan kualitatif, studi ini menggali kontribusi AJI dalam menyuarakan kepentingan jurnalis, memperjuangkan kebebasan berekspresi, serta menolak intervensi negara terhadap pers. Data diperoleh melalui studi literatur, analisis dokumen organisasi, dan wawancara mendalam dengan aktivis AJI. Penelitian ini membuka pemahaman baru mengenai upaya AJI dalam meraih kebebasan pers di era Orde Baru, melalui peninjauan terhadap strategi-strategi AJI dalam mengembangkan jurnalisme independen di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AJI tidak hanya menggunakan strategi konvensional seperti advokasi dan edukasi, tetapi juga strategi inovatif seperti membangun jaringan, solidaritas, dan penerbitan. Strategi-strategi ini terbukti efektif dalam memperkuat jurnalisme independen di Indonesia, ditandai dengan terciptanya iklim jurnalistik yang lebih bebas dan profesional.
Forging A New Nation: The Role of Youth Radicalism in Semarang’s Revolutionary Struggle, 1945-1947 Dwi Mulyatari; Abdurakhman; Raisye Soleh Haghia; Syahidah Sumayyah Rahman
Paramita: Historical Studies Journal Vol. 35 No. 2 (2025): Military History
Publisher : istory Department, Faculty of Social Sciences, Universitas Negeri Semarang in collaboration with Masyarakat Sejarawan Indonesia (Indonesian Historical Society)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v35i2.16485

Abstract

Abstract: This study examines the youth resistance movement in Semarang in the early days of the Indonesian Revolution, especially between 1945 and 1947, against the Japanese and Allied armies. The youth resistance movement is characterized by a militant and radical nature, which is influenced by various factors from the past experiences of the youth. In addition to the impact of the Japanese occupation, ideological factors such as Socialism, Communism, Islam, and Nationalism also played an important role in encouraging youth radicalism in Semarang. Research on the radical youth movement in Semarang during the Indonesian Revolution is still limited, with some studies highlighting events such as the 'Five-Day Battle'. This research contributes to the understanding of the youth militant movement in Semarang through a literature review from contemporary newspaper sources published in Jakarta and Semarang as well as other related literature collections. These sources are obtained from the National Library and libraries in the local area. The results of the study show that several factors affect radicalism and youth militancy in Semarang. First, their strong motivation and purpose to resist the occupation of the Japanese army and the return of the Allies. Second, the results of Japanese education for youth through military and semi-military organizations during the Japanese occupation that strengthened the military mentality. Third, the influence of the socialist-Marxist youth group organization that developed since the time of the national movement, thus making the city of Semarang known as a "red" city.   Abstrak: Studi ini menelaah gerakan perlawanan pemuda di Semarang pada masa awal Revolusi Indonesia, khususnya antara tahun 1945 hingga 1947, terhadap tentara Jepang dan Sekutu. Gerakan perlawanan pemuda tersebut ditandai dengan sifat militan dan radikal, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor dari pengalaman masa lalu para pemuda. Selain dampak pendudukan Jepang, faktor ideologis seperti Sosialisme, Komunisme, Islam, dan Nasionalisme juga berperan penting dalam mendorong radikalisme pemuda di Semarang. Penelitian tentang gerakan radikal pemuda di Semarang pada masa Revolusi Indonesia masih terbatas, dengan sebagian studi hanya menyoroti peristiwa seperti ‘Pertempuran Lima Hari’. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang gerakan militan pemuda di Semarang melalui kajian literatur dari sumber surat kabar kontemporer yang terbit di Jakarta dan Semarang serta koleksi pustaka terkait lainnya. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari Perpustakaan Nasional dan perpustakaan di daerah setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor memengaruhi radikalisme dan militansi pemuda di Semarang. Pertama, motivasi dan tujuan kuat mereka untuk melawan pendudukan tentara Jepang dan kembalinya Sekutu. Kedua, hasil pendidikan Jepang bagi pemuda melalui organisasi militer dan semi-militer selama pendudukan Jepang yang memperkuat mentalitas militer. Ketiga, pengaruh organisasi kelompok pemuda sosialis-Marxis yang berkembang sejak masa pergerakan nasional, sehingga membuat Kota Semarang dikenal sebagai kota “merah”.