Sujatmoko, Andrey
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

Published : 22 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan

Pembatasan Hak Korban Tindak Pidana Terorisme di Indonesia: Perspektif Hak Asasi Manusia Sujatmoko, Andrey
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 17, No 2 (2023): ADLIYA: JURNAL HUKUM DAN KEMANUSIAAN
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v17i2.37150

Abstract

Every victim of terrorism is entitled to a remedy that the state must guarantee by law. However, Law No. 5/2018 on the Eradication of Criminal Acts of Terrorism limits victims of criminal acts of terrorism to three years since the enactment of the law to be able to apply for reparations. This will certainly harm those victims who have passed the three years, but have not submitted a request for reparations. This research aims to examine the position of the right to recovery for victims of terrorism in the context of international law and the compatibility between the limitation period and international law. This conceptual research uses qualitative methods, legal research, and is descriptive. The result shows that terrorism crime can be qualified as a gross violation of human rights. Therefore, the state must provide remedies to the victims affected by the law's enactment, namely to those victims of terrorism who lost the right to apply for remedy three years after the law's enactment. Then, it can also be concluded that the right to reparations for victims of terrorism is inherent to every victim and the restriction on the right to reparations for victims of terrorism by the law is contrary to the international human rights law norms. Setiap korban tindak pidana terorisme berhak atas pemulihan yang harus dijamin oleh negara secara hukum. Namun, UU No. 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme membatasi selama tiga tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut bagi korban tindak pidana terorisme untuk dapat mengajukan pemulihan. Hal itu tentunya akan merugikan para korban tersebut yang setelah lewat waktu tiga tahun, tapi belum megajukan permohonan pemulihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan hak atas pemulihan korban tindak pidana terorisme dalam konteks hukum internasional dan kesesuaian antara aturan pembatasan tersebut dengan aturan hukum internasional. Penelitian konseptual ini menggunakan metode kualitatif, penelitian hukum, dan bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana terorisme dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat HAM. Oleh karena itu, negara wajib untuk melakukan pemulihan terhadap para korban yang terdampak dari berlakunya undang-undang itu, yaitu terhadap mereka para korban tindak pidana terorisme yang kehilangan hak untuk mengajukan pemulihan setelah tiga tahun sejak berlakunya undang-undang itu. Kemudian, dapat disimpulkan pula bahwa kedudukan hak atas pemulihan korban tindak pidana terorisme adalah bersifat melekat (inherent) pada setiap korbannya dan pembatasan terhadap hak atas pemulihan korban tindak pidana terorisme oleh undang-undang tersebut tidak sesuai dengan norma hukum HAM internasional.
Pembatasan Hak Korban Tindak Pidana Terorisme di Indonesia: Perspektif Hak Asasi Manusia Sujatmoko, Andrey
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 17 No. 2 (2023): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v17i2.37150

Abstract

Every victim of terrorism is entitled to a remedy that the state must guarantee by law. However, Law No. 5/2018 on the Eradication of Criminal Acts of Terrorism limits victims of criminal acts of terrorism to three years since the enactment of the law to be able to apply for reparations. This will certainly harm those victims who have passed the three years, but have not submitted a request for reparations. This research aims to examine the position of the right to recovery for victims of terrorism in the context of international law and the compatibility between the limitation period and international law. This conceptual research uses qualitative methods, legal research, and is descriptive. The result shows that terrorism crime can be qualified as a gross violation of human rights. Therefore, the state must provide remedies to the victims affected by the law's enactment, namely to those victims of terrorism who lost the right to apply for remedy three years after the law's enactment. Then, it can also be concluded that the right to reparations for victims of terrorism is inherent to every victim and the restriction on the right to reparations for victims of terrorism by the law is contrary to the international human rights law norms. Setiap korban tindak pidana terorisme berhak atas pemulihan yang harus dijamin oleh negara secara hukum. Namun, UU No. 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme membatasi selama tiga tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut bagi korban tindak pidana terorisme untuk dapat mengajukan pemulihan. Hal itu tentunya akan merugikan para korban tersebut yang setelah lewat waktu tiga tahun, tapi belum megajukan permohonan pemulihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan hak atas pemulihan korban tindak pidana terorisme dalam konteks hukum internasional dan kesesuaian antara aturan pembatasan tersebut dengan aturan hukum internasional. Penelitian konseptual ini menggunakan metode kualitatif, penelitian hukum, dan bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana terorisme dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat HAM. Oleh karena itu, negara wajib untuk melakukan pemulihan terhadap para korban yang terdampak dari berlakunya undang-undang itu, yaitu terhadap mereka para korban tindak pidana terorisme yang kehilangan hak untuk mengajukan pemulihan setelah tiga tahun sejak berlakunya undang-undang itu. Kemudian, dapat disimpulkan pula bahwa kedudukan hak atas pemulihan korban tindak pidana terorisme adalah bersifat melekat (inherent) pada setiap korbannya dan pembatasan terhadap hak atas pemulihan korban tindak pidana terorisme oleh undang-undang tersebut tidak sesuai dengan norma hukum HAM internasional.