ABSTRAK Kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Putusan pidana terhadap pelaku kekerasan seksual seperti yang telah ditetapkan pada KUHP serta UU Perlindungan Anak dirasa belum efektif maka dari itu pemerintah mencetuskan UU Nomor 17 Tahun 2016 mengaplikasikan untuk memberatkan kompensasi pidana pada pelaku kekerasan seksual salah satunya dengan diberlakukannya kebiri secara kimiawi yang dilakukan menyebabkan pro dan kontra pada masyarakat tentang efektivitasnya serta pengaplikasiannya yang dirasa melawan HAM yang tercantum pada UUD 1945, CAT, serta Konvensi Internasional ICCPR yang sudah diratifikasi Indonesia serta Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 terkait HAM. Tetapi terlepas dengan pro serta kontra yang ada pemerintah diharuskan menyediakan sarana prasarana, sumber daya manusia, serta tepat sasaran untuk menekan peningkatan kasus kekerasan seksual juga munculnya kasus kekerasan seksual yang berulang. ABSTRACT Sexual violence crimes in Indonesia increase every year. Criminal penalties for perpetrators of sexual violence as stated in the Criminal Code and the Child Protection Law are considered ineffective, so the government issued Law Number 17 of 2016 implementing tougher criminal sanctions against perpetrators of sexual violence, including by implementing chemical castration. The castration that is carried out causes pros and cons in society regarding its effectiveness and implementation which are considered human rights as contained in the 1945 Constitution, the ICCPR and CAT International Conventions which have been ratified by Indonesia and Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights. However, despite these pros and cons, the government needs to prepare human resources, infrastructure and appropriate targets to reduce the increase in the number of sexual violence and the emergence of repeated sexual violence crimes. Keywords: sexual offenders, chemical castration, and protection human rights