Berdasarkan pembahasan mengenai posisi hukum pemohon dalam Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) fiktif positif dan fiktif negatif, dapat disimpulkan bahwa pemohon memiliki posisi hukum yang berbeda tergantung pada jenis KTUN fiktif yang terjadi. Dalam KTUN fiktif positif, pemohon memperoleh kedudukan hukum yang lebih kuat karena permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum dan dapat diajukan ke pengadilan untuk memperoleh pengesahan keputusan tertulis. Sebaliknya, dalam KTUN fiktif negatif, permohonan dianggap ditolak secara hukum setelah tenggang waktu tertentu dan pemohon dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Akibat hukum dari keberadaan KTUN fiktif berdampak pada dua pihak, yaitu pejabat pemerintahan dan masyarakat. Bagi pejabat pemerintahan, diamnya mereka terhadap permohonan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum atau maladministrasi jika tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Bagi masyarakat, KTUN fiktif memberikan akses hukum untuk memperjuangkan haknya melalui pengadilan, namun masih terdapat kendala dalam bentuk ketidaktahuan hukum dan keterbatasan biaya. Terakhir, pengujian KTUN fiktif oleh PTUN dilakukan melalui penilaian aspek wewenang, prosedur, dan substansi. Dalam proses pembuktian, pemohon harus menunjukkan adanya permohonan yang sah dan kerugian akibat tidak adanya tanggapan dari pejabat. Berdasarkan hasil pembuktian tersebut, pengadilan dapat menyatakan KTUN fiktif sah dan berlaku, atau membatalkannya jika ditemukan cacat yuridis. Untuk itu, disarankan agar pejabat tata usaha negara meningkatkan kepatuhan terhadap prosedur administratif dan masyarakat diberikan edukasi hukum agar dapat menggunakan haknya secara optimal dalam sistem peradilan administrasi.