Dalam kajian Hukum Islam (fiqh) orang hilang disebut “mafqud” yaitu orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. Orang ini, sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal. Orang hilang menjadi persoalan dalam hukum kewarisan karena kepastian hidup atau meninggal itu merupakan syarat pokok dalam kewarisan. Dalam kewarisan disyaratkan kepastian kematian pewaris dan kepastian status hidupnya pewaris saat pewaris meninggal dunia. Sedangkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW) telah mencantumkan penjelasan mafqud (orang hilang) pada pasal 463. KUH Perdata tidak menggunakan istilah mafqud, akan tetapi menggunakan istilah “orang yang diperkirakan telah meninggal dunia” atau “seseorang yang tak hadir”. Pada pasal 463 KUH Perdata menjelaskan orang yang tidak hadir adalah orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang relatif lama, tanpa menunjuk orang lain untuk mewakili dan mengurus kepentingannya. Perumusan masalahnya adalah: Bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam Hukum Islam ? Bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata ? Bagaimana relevansi pengaturan sistem kewarisan orang hilang (mafqud) antara Hukum Islam dan KUH Perdata ? Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam Hukum Islam. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pengaturan sistem kewarisan orang hilang (mafqud) antara Hukum Islam dan KUH Perdata. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif. Seluruh data dianalisis secara deduktif komparatif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman, karena data yang dibutuhkan dari penulisan skripsi ini yaitu dengan mencari buku-buku sebagai sumber datanya atau data penelitian dari penulisan penelitian ini yaitu dengan mencari data pustaka atau dokumen. Kesimpulannya bahwa pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam hukum Islam, apabila Hakim (Qādhi) sudah memutuskan bahwa orang hilang (mafqud) telah meninggal, maka harta warisan orang hilang (mafqud) boleh dibagikan kepada ahli warisnya. proses pembagian hartanya hanya sebagian yang dibagikan kepada ahli waris dan sisanya ditangguhkan karena ditakutkan seseorang yang hilang (mafqud) tersebut kembali, apabila memang benar-benar orang hilang (mafqud) telah wafat maka harta yang telah ditangguhkan tersebut dibagi rata kembali kepada ahli warisnya. Sedangkan pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata, tercantum dalam pasal 478 KUHPerdata yaitu para ahli waris boleh membagikan harta peninggalan dari orang yang diperkirakan hilang yang telah mereka kuasai, dengan memperhatikan peraturan mengenai pemisahan harta peninggalan. Untuk mencapai suatu pembagian, barang-barang yang tak bergerak tidak diperbolehkan menjualnya, melainkan sekiranya tidak dapat dibagi, atau tak dapat dimasukkan dalam sesuatu kavling, barang-barang tersebut harus ditaruh dalam suatu penyimpanan, sedangkan pendapatannya akan dapat dibagikan menurut persetujuan mereka. Persamaan dan perbedaan tentang relevansi pengaturan system kewarisan orang hilang (mafqud) antara hukum Islam dan KUHPerdata adalah sebagai berikut : a. Persamaan, sama halnya dengan Hukum Islam dalam Hukum Perdatapun jika seseorang belum ditetapkan sudah meninggal oleh Qādhi (Hakim) maka harta warisannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Begitupun sebaliknya apabila Hakim (Qādhi) sudah memutuskan bahwa orang hilang (mafqud) telah meninggal maka harta warisan tersebut boleh dibagikan kepada ahli warisnya. b. Sedangkan perbedaan pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) berdasarkan hukum Islam dan KUH Perdata terletak pada penentuan batas waktu status berapa lamanya orang hilang (mafqud) tersebut hilang, karena batas waktu untuk menentukan seseorang yang hilang (mafqud) tersebut sangat mempengaruhi dalam pembagian harta ahli waris.
Copyrights © 2019