Ditinjau dari logika, Manusia berkeinginan supaya amal perbuatan di dunia ini dapat diterima oleh Allah SWT, oleh karena itu selain melakukan Amal Jariyah semasa dia sehat, maka mereka juga ingin menambahkan setelah dia meninggal dunia, di antaranya dengan melaksanakan wasiat. Untuk dapat melaksanakannya sudah barang tentu harus memenuhi unsur-unsur dalam melaksanakan wasiat. Di Indonesia terdapat dua sistem Hukum yang berbeda dan cara pelaksanaanya sudah pasti berbeda. Wasiat dalam tanpa Akta Notaris dalam Pandangan KHI tidak ada kewajiban mengikut sertakan Notaris dan bisa dilakukan dengan cara Lisan, sedangkan dalam KUH Perdata ada kewajiban mengikut seertakan Notaris dan bentuknya berupa tulisan. Hasil dari penelitian ini adalah wasiat dalam KHI dan KUH Perdata sama-sama membutuhkan sebuah bukti yang esensial yaitu adanya sebuah akta yang otentik. Keduanya membutuhkan akta dihdapan Notaris, dan wasiat itu berlaku jika disaksikan oleh dua orang saksi. Akan tetapi dalam KHI membolehkan waiat dilakukan dengan secara Lisan dihadapan dua orang saksi saja juga sudah cukup. Dan dalam KUH Perdata wasiat dapat jika sudah berbentuk akta. Akibat Hukum wasiat tanpa akta Notaris, menjadikan wasiat tersebut rawan akan gugatan dari pihak-pihak yang berkepentingan karena pembuktiannya kurang kuat dan tidak ada kepastian hukum. Proses penghambat dalam wasiat menurut KHI yang dilakukan secara lisan atau dibawah tangan adalah kurang kuatnya dalam pembuktian. Dikarenakan tidak didaftarkan kepada Notaris yang menguatkan hal tersebut adalah hanya saksi, begitu juga wasiat Menurut KUH Perdata banyak yang tidak mengetahui keberadaan wasiat oleh yang menerima wasiat. 
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2020