Perubahan Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menjadi Undang-undang No. 11 tahun 2012 tetang sistem peradilan pidana anak (SPPA), atau lebih tepatnya pergantian peraturan perudangan tersebut karena dipandang bahwa UU No. 3 tahun 1997 belum mengakomodir kepentinngan terbaik bagi anak, hal ini didasari oleh banyaknya anak yang dipidana maupun di tahan, menurut lembaga penelitian Unicef yang bekerja sama dengan UI bahwa pada tahun 2004-2005 anak yang dipidana penjara sebanyak 2000 (dua ribu) dan ditahan sebanyak 110 (seribu seratus). Oleh sebab itu dipandang perlu bahwa pemidaan bagi anak harus ada perubahan. UU No. 11 tahun 2012 tentangĀ SPPA merupakan peraturan yang diharapkan mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak, sebagaiana tertuang dalam UUNo. 17 tahun 2016 perubahan kedua unndang-undang pelindungan anak, bahwa pemidanaan adalah jalan terakhir (ultimum remedium), dan UU SPPA memuat paraturan pemidanaan yang baru yaitu restoratif dan diversi, yang mana tidak terdapat dalam aturan sebelumnya, alternatif pemidaan tersebut diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi penanganan pelaku tindak pidana anak. namun pada kenyataannya UU SPPA belum bisa menjadi harapan, karena berdasarkan data dari Institut Criminal Justice Sistem (ICJR) sampai dengan bulan Juni 2017 anak yang dipidana sebanyak 2500 (dua ribu lima ratus) berarti ada peningkatan dari tahubn 2005, hal ini disebabkan karena adanya pembatasan yang diatur dalam pasal 7 UU SPPA, namun sebenarnya permasalahan tersebut hanya dari pamahaman yang terlalu rigid sehingga pemidanaan adalah jalan terakhir dan alternatif pemidanaan sebagaimana diharapkan oleh Undang-undang tersebut menjadi tidak bisa dilaksanakan secara optimal.
Copyrights © 2020