Kejahatan terorisme merupakan bagian dari kejahatan yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Umumnya, juga dianggap berurusan dengan kejahatan biasa seperti pencurian, pembunuhan, atau pelecehan. Kejahatan teroris merupakan salah satu bentuk tindakan yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara yuridis, rehabilitasi psikososial dan psikologis untuk korban tindak pidana terorisme telah termaktub di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Adanya instrumen tersebut sebagai bentuk tugas konkret negara melalui pemerintah untuk menjaga dan melindungi rakyatnya dari mara bahaya. Salah satu bentuk upayanya melalui kebijakan formulasi dimana melandaskan terhadap kebutuhan masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual serta perundang-undangan. Instrumen hukum mengenai perlindungan korban tindak pidana terorisme sudah terbilang cukup ideal dan maksimal. Namun, masih harus adanya penyelarasan perihal integrasi LPSK Pusat dan beberapa daerah. Terlebih, semakin merebaknya penyebar luasan virus-virus terorisme sangat memungkinkan apabila LPSK dibangun di setiap daerah-daerah. Secara yuridis, Undang-undang No 31 Tahun 2014 mengenai PSK harus ditinjau kembali terutama dalam hal kewenangan LPSK sendiri dengan lembaga lainnya yang juga serupa memiliki fungsi khusus secara aturan. Seperti halnya antara LPSK dan BNPT terutama dalam penanganan saksi dan korban tindak pidana terorisme.
Copyrights © 2021