The concept of agreement is a civil relationship regulated in the Burgerlijk Wetboek (B.W.), or the Civil Code (KUHPerdata). If the person who promises does not fulfill it, based on Article 1365 of the Civil Code, the person is said to have committed a default or breach of the promise. People who do not meet the agreed agreements are reported to the police because the reporting party feels the action is fraudulent. The reporter has handed over the goods and/or money to the person reported. This condition identifies a legal issue when someone breaches an agreement and is deemed to have committed a default, which requires a civil settlement, or when someone is deemed to have committed fraud, which requires a criminal settlement. This article discusses the characteristics of the distinguishing element in cases of default and fraud in positive law and Islamic law in Indonesia. The qualitative approach chosen in this study aims to make the processing and analysis of data deeply understandable for the problems studied. The results showed that the characteristics of the distinguishing element in the case of default and fraud on a contract were in the existence of good faith or not in the agreement/contract. The distinguishing character of default in civil law and Islamic law is related to the element of subpoena statement (reprimand), while the distinguishing character of fraud in criminal law and Islamic law is in the matter of the purpose of sanctions, namely the benefit of the people.Konsep perjanjian merupakan hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.), atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan dalam kontrak/perjanjian, maka berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Namun, di dalam praktek sehari hari di kehidupan masyarakat, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut. Secara umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang yang tidak memenuhi janji yang sudah disepakati tersebut telah melakukan tindakan penipuan terhadap pelapor karena janji yang sudah disepakati dan harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepada orang tersebut. Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi suatu perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah karakteristik unsur pembeda perkara wanprestasi dengan penipuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang dalam pengolahan dan analisa data dengan pemahaman mendalam dengan mengkaji masalah yang diteliti. Peneliti menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan menggunakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau metode pendekatan hukum doktrinal yaitu teori-teori hukum dan pendapat para ahli khususnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Hasil Penelitian bahwa Penilaian suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdetaan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad buruk/tidak baik atau tidak.
Copyrights © 2022