Lurik is a fabric that has a stripe motif and is made with a non-machine loom (Alat Tenun Bukan Mesin - ATBM). Lurik’s stripes can be divided into three motifs, namely lajuran, pakan malang, and cacahan. In the beginning lurik was only worn in the palace circles, not just by anyone, especially common people. In its development, lurik becomes a general public consumption; especially among urbanites lurik is a means to build their identities. This research studies contemporary works in lurik fashion, which are hybridity between elements in traditional lurik and elements existing in the culture or lifestyle of urbanites in building their new identity; it is a combination of qualitative research and the utilization of literary exploration. The primary data objects are various examples of contemporary lurik, which are analysed through content analysis. The content analysis applied here is Homi Bhabha’s post colonialism, which is a part of the deconstructive postmodern text interpretation method. The results show the following: (1) contemporary lurik fashion is a fusion between elements representing Eastern culture, viz. lurik with lajuran motifs, pakan malang, and cacahan, with elements that represent Western culture, viz. long wrap dresses, midi dress, and semi billowy airy dress, (2) based on an elucidation of internal aspects, contemporary lurik fashion expresses a dualism in meaning, viz. the popular meanings that is the superficial appreciations enjoyed by the common people and the subliminal meanings indicating depth of lurik motifs the meaning of which are studied by people who understand their significance. (3) Based on the interpretation of external aspects, contemporary lurik fashion is a form of resistance to modern Western fashion as well as being a Keraton tradition. Posed against Western fashion, hybridity is used as a way to de-colonialize Western influences that are considered incompatible with Eastern culture. Meanwhile, in the perspective of Keraton tradition, hybridity is carried out as a form of desacralization so that lurik can be utilized by as many people as possible as an individual expression, (4) the hybridity in contemporary lurik fashion creates a new identity, namely its placement in urban spaces and lifestyles more broadly, especially in relation to its access in semi-formal environment.Lurik merupakan kain yang mempunyai motif garis-garis dan dibuat dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Motif garis-garis pada lurik dapat dibagi ke dalam tiga macam motif, yaitu lajuran, pakan malang, dan cacahan. Lurik sendiri pada awalnya hanya digunakan di keraton dan tidak boleh digunakan oleh sembarang orang apalagi rakyat biasa. Pada perkembangannya, lurik kemudian menjadi konsumsi umum terutama bagi kaum urban dalam membangun identitasnya. Penelitian ini mengkaji karya-karya fashion lurik kontemporer yang merupakan hibriditas antara unsur-unsur dalam lurik tradisional dengan unsur-unsur yang ada dalam budaya atau gaya hidup kaum urban dalam rangka membangun identitas baru yang merupakan hasil peleburan atau fusi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data-data kepustakaan. Objek data primer ini adalah berbagai contoh busana lurik kontemporer untuk kemudian dianalisis dengan analisis konten. Analisis konten yang digunakan adalah dengan menggunakan poskolonialisme Homi Bhabha yang merupakan satu bagian dari metode tafsir teks posmodern dekonstruktif. Hasil penelitian kemudian menunjukkan hal-hal berikut ini: (1) fashion lurik kontemporer adalah peleburan atau fusi antara unsur yang merepresentasikan budaya Timur, yaitu lurik dengan motif lajuran, pakan malang, dan cacahan dengan unsur-unsur yang merepresentasikan budaya Barat, yaitu gaun panjang (long wrap dress), midi dress, dan gaun airy semi billowy, (2) berdasarkan interpretasi terhadap aspek internal, fashion lurik kontemporer melahirkan dualisme makna, yaitu makna populer yang cenderung dinikmati secara permukaan untuk diapresiasi orang awam dan makna subliminal yang menunjukkan adanya kedalaman pada motif-motif lurik yang digunakan untuk dikaji secara mendalam oleh orang yang paham makna lurik secara mendalam, (3) berdasarkan interpretasi terhadap aspek eksternal, fashion lurik kontemporer adalah bentuk resistensi terhadap fashion modern Barat sekaligus tradisi keraton. Terhadap fashion modern Barat, hibriditas dilakukan sebagai cara untuk dekolonialisasi terhadap pengaruh-pengaruh Barat yang dianggap tidak sesuai sepenuhnya dengan budaya Timur. Sementara terhadap tradisi keraton, hibriditas dilakukan sebagai bentuk desakralisasi agar lurik dapat dikonsumsi oleh sebanyak mungkin orang sebagai ekspresi individual, (4) hibriditas yang dilakukan pada fashion lurik kontemporer melahirkan identitas baru, yaitu penempatan lurik pada ruang dan gaya hidup urban secara lebih luas terutama terkait aksesnya pada situasi semiformal.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2019