Abstract: This article examines the role of tuan guru in the prolonged internal conflict in the Nahdlatul Wathan (NW) organization in Lombok. The meaning of the term âtuan guruâ is similar to that of a âkiaiâ in Java, which refers to the highest title given to Muslim male experts in the field of Islamic theology and syariâah. Tuan guru play an important role as central figures in the community. In the NW organization their importance extends into both structural and cultural aspects of society. Their involvement in the NW conflict raises many questions about their dynamic role in society because they stepped out of their normative role as religious teachers, protectors, guardians and social advisors, and into roles as actors in conflict. Specifically, this article explores the process of their involvement in the conflict; how they use their charisma and authority to legitimize their political power and interests; how they produce knowledge and ritual for violent practices; how society responds to and views tuan guru in the post-conflict setting; and patterns of social critique about tuan guru. This article is based on ethnographic research from 2008 to 2009 in East Lombok. It is based on qualitative data collection and analysis, namely participant-observation, in-depth interviews, and focus group discussions.   Artikel ini menguji peran tuan guru di dalam organisasi Nahdlatul Wathan (NW), khususnya peran mereka di dalam konflik internal NW yang berkepanjangan di Lombok Nusa Tenggara Barat. Tuan guru atau kiai dalam istilah jawa adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang ahli di bidang ilmu agama. Tuan guru memainkan peran penting sebagai tokoh sentral di masyarakat. Di NW mereka juga memiliki peran yang signifikan baik di tingkat struktural maupun kultural. Keterlibatan mereka di dalam konflik NW banyak menimbulkan pertanyaan karena mereka telah keluar dari tugas normatifnya sebagai pelindung, pengayom dan pembimbing jamaah, bukan sebaliknya sebagai aktor konflik. Maka secara khusus artikel ini bertanya, bagaimana proses keterlibatan mereka di dalam konflik NW, bagaimana mereka menggunakan otoroitas dan kharisma mereka untuk melegitimasi kekuasaan dan kepentingan politik mereka, bagaimana mereka memproduksi ilmu dan ritual untuk praktik kekerasan dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap tuan guru pasca konflik dan apa bentuk gugatan dan kritik mereka terhadap tuan guru? Artikel ini berdasarkan hasil penelitian etnografi di tahun 2008-2010 di Lombok dengan menggunakan pendekatan kualitatif di dalam pengumpulan dan analisa data. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi-partisipasi, wawancara mendalam, dan fokus diskusi kelompok.   Keywords: Tuan Guru, Nahdlatul Wathan, konflik, kekerasan dan ritual  
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2015