Kejahatan seksual baik secara fisik maupun nonfisik bisa saja terjadi dan dialami korbannya dengan tidak mengenal waktu dan jenis kelamin. Lahirnya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi kabar menggembirakan khususnya dari kalangan para aktivis yang konsen khusus pada kejahatan yang dialami korban perempuan dan anak. Dalam praktiknya, membuktikan kejahatan seksual secara fisik kemungkinan besar sangat mudah bagi korbannya menyajikan alat bukti di hadapan aparat penegak hukum (APH). Namun yang menjadi soal adalah pembuktian kejahatan seksual nonfisik. Agak rumit rasanya jika pembuktian kejahatan seksual nonfisik tidak dilakukan dengan proses yang benar. Karena membuktikan kejahatan seksual nonfisik tidak segampang membalikkan telapak tangan. Karena kejahatan seksual nonfisik selain harus dibuktikan dengan fakta hukum pengakuan sepihak dari korban juga harus didukung dengan alat bukti lain sebagaimana ketentuan pasal 184 KUHAP serta teori pembuktian dalam hukum pidana. Oleh karenanya, untuk menjawab tantangan di atas dalam karya tulis ini mengkaji lebih dalam tentang perumusan alat bukti dan kelemahan pembuktian dalam kejahatan nonfisik dengan menggunakan teori metode Due Process of Law dan Due Process Model sebagai pisau analisis.
Copyrights © 2023