Setelah diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kompetensi absolut peradilan agama diperluas. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memperkuat kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Polemik muncul ketika Penjelasan Pasal 55 ayat (2) juga memberikan kewenangan kepada peradilan umum menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Sehingga berdampak pada tumpang tindihnya kewenangan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Masalah ini lalu diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi masih menimbulkan perdebatan karena hanya menghapus Penjelasan Pasal 55 ayat (2), bukan menghapus pasalnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah lembaga peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 terkait kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah dianggap sudah tepat, memutuskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah harus melalui peradilan agama sesuai dengan kompetensi absolutnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menghilangkan dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Copyrights © 2023