Nasikh mansukh merupakan salah satu konsep yang masih menjadi perdebatan. Kesalahpahaman dalam memahami nasikh-mansukh hanya berhenti pada definisi nasikh mansukh, syarat syaratnya, macam-macam dan hikmah memahaminya, tanpa menyentuh penjelasan ayat-ayat yang di-nasakh secara mendalam. Terkait hal ini diperlukan pengkajian terhadap pandangan tokoh untuk memahami konsep ini secara komprehensif. Penulis memilih Ibnu Abi Hatim, tampaknya memiliki pandangan tersendiri terkait konsep nasikh-mansukh. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Secara bahasa Ibnu Abi Hatim mendefinisikan nasikh dengan redaksi “menghapus.” Menurutnya nasikh adalah sesuatu yang ditinggalkan dari al-Qur’an dengan mendatangkan yang lebih baik atau sepadan dengannya. Penerapan konsep tersebut dapat dilihat dari penafsiranya terhadap QS. al-Baqarah ayat 115 yang di-nasakh dengan ayat 150 perihal perpindahan arah kiblat, QS. al-Baqarah ayat 180 yang di-nasakh dengan QS. an-Nisa’ ayat 11 yang berkaitan dengan warisan, QS. al-Baqarah ayat 183 di-nasakh oleh QS. al-Baqarah 187 terkait kewajiban puasa, dan QS. al-Baqarah ayat 240 yang di-nasakh dengan ayat 234 yang menjelaskan tentang iddah, meskipun ayat 240 belakangan letaknya, tetapi di dalam sejarah turunnya ia lebih dahulu. Terlihat bahwa Ibnu Abi Hatim tidak menentang adanya nasikh mansukh dalam tafsirnya, mengingat ia hanya memasukkan penafsiran berupa riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan.
Copyrights © 2023