Indonesia kaya dengan kemajemukan yang mewujudkan pluralisme Indonesia. Perbedaan keyakinan beragama menjadikan berbeda tata cara pelaksanaan perkawinan dan pencatatannya. Keabsahan perkawinan diukur berdasarkan hukum agama dan dilakukan pencatatannya. Beberapa warga masyarakat tetap melangsungkan perkawinan meskipun berbeda keimanan. Namun ada keraguan mencatatkan perkawinan beda agama tersebut. Keraguan terselesaikan dengan Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan. Pernikahan yang tidak seiman diajukan permohonan pada pengadilan untuk mendapatkan dasar pencatatan perkawinan. Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2023 menjadikan kembali pada kebuntuan pencatatan perkawinan beda agama. Untuk itu perlu didalami apakah pluralisme Indonesia membenarkan berlangsungnya perkawinan beda agama, adakah pengaturan larangan perkawinan beda agama dalam UUPerkawinan. Pembahasan dilakukan dengan penelitian doktrinal melalui bahan hukum dengan melakukan kajian atas pluralisme agama dan juga ketentuan mengenai larangan perkawinan. Perolehan hasil penelitian bahwa pluralisme tidak membenarkan adanya perkawinan beda agama. Terdapat larangan perkawinan beda agama yang terkandung di Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan perkawinan bagian dari ibadah yang harus tunduk pada tuntutan hukum agama. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 2 ayat (1) UUPerkawinan. Tidaklah dibenarkan perkawinan beda agama. Pernikahan di luar hukum agama tidaklah dapat dilakukan pencatatan untuk mendapatkan akibat hukumnya secara hukum postif. Pasangan yang berbeda keyakinan dan bermaksud melangsungkan perkawinan haruslah mengorbankan keyakinan beragamanya dengan migrasi pada keyakinan beragama penyelenggaraan perkawinan agar menjadi seiman. Adalah salah langkah dan keliru mengambil jalan melangsungkan perkawinan berbeda agama dalam lingkup pluralisme Indonesia yang religius. Pencatatan perkawinan seharusnya ditujukan bagi perkawinan yang sah.
Copyrights © 2024