Eksistensi dari Kerajaan Mataram di tanah Jawa tidak bisa terlepaskan dari upacara adat yang turun-temurun dan melekat pada kultur masyarakat, khususnya Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Tujuan penelitian sebagai tinjauan kritis filsafat kebudayaan Van Peursen dalam nuansa magis upacara labuhan Yogyakarta. Pemikiran C.A. Van Peursen berkolerasi dalam pelaksanaan upacara labuhan yang membagi kebudayaan menjadi tiga tahap; tahap mistis, ontologis dan fungsional. Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis, mendeskripsikan data-data yang dihimpun kemudian dilakukan analisis, sehingga ditemukanlah tinjauan kritis kebudayaan Van Peursen melalui upacara labuhan. Hasil penelitian ini adalah 1) Pada tahap mistis upacara labuhan dilaksanakan atas perjanjian yang telah diikat oleh Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul dan ikatan tersebut wajib dilanjutkan oleh anak cucu Panembahan Senopati. 2) Tahap ontologis dari upacara labuhan dilaksanakan adalah sebagai bentuk penyatuan masyarakat dan memberikan dampak sosial 3) Pada tahap fungsional, upacara labuhan memiliki peran sebagai pengembangan dan pembangunan sektor wisata yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Namun berdasarkan tahap perkembangan kebudayaan ditemukan tahapan yang tidak bisa ditemukan dalam upacara labuhan. Upacara labuhan di Dlepih dan Gunung Lawu tidak bisa mencapai tahap fungsional, sehingga di dua tempat hanya sampai pada tahap mistis dan supranatural. The existence of the Mataram Kingdom in Java cannot be separated from the traditional ceremonies that are hereditary and inherent in the culture of the community, especially the Surakarta Sunanate and Yogyakarta Sultanate. The purpose of the research is a critical review of Van Peursen's philosophy of culture in the magical nuances of Yogyakarta's Labuan ceremony. The thinking of C.A. Van Peursen correlates with the implementation of the Labuhan ceremony, which divides culture into three stages: mystical, ontological, and functional stages. This research uses descriptive analysis, describing the data collected and then analyzing it so that a critical review of Van Peursen's culture through the Labuan ceremony is found. The results of this research are 1) In the mystical stage, the Labuan ceremony is carried out on the agreement that has been bound by Panembahan Senopati and Kanjeng Ratu Kidul and the bond must be continued by Panembahan Senopati's children and grandchildren. 2) The ontological stage of the Labuhan ceremony is carried out as a form of community unification and has a social impact 3) At the functional stage, the Labuan ceremony has a role in the development and development of the tourism sector which has its attraction for domestic and foreign communities. However, based on the stages of cultural development, some stages cannot be found in the Labuhan ceremony. The Labuan ceremony in Dlepih and Gunung Lawu cannot reach the functional stage so in two places it only reaches the mystical and supernatural stages.
Copyrights © 2024