Keputusan hakim merupakan hasil dari proses peradilan pidana yang melibatkan pertimbangan hakim secara lisan maupun tertulis. Pentingnya keputusan hakim untuk mematuhi prinsip-prinsip tertentu, termasuk stabilitas, yang merujuk pada kestabilan sosial sebagai dampak dari keputusan tersebut. Hakim perlu mempertimbangkan dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis, terutama dalam konteks teknis yudisial. Oleh karena itu, keputusan hakim harus memperhatikan aspek-aspek formal, terutama sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUHAP. Dalam konteks perkara pidana, KUHAP mengatur bahwa keputusan hakim dapat berupa pemidanaan, pembebasan dari tuntutan hukum, atau putusan bebas. Namun, eksistensi vonis nihil, seperti yang terjadi dalam kasus Dimas Kanjeng, dianggap sebagai suatu permasalahan yang kompleks. Praktik putusan ini mengklaim merujuk pada Pasal 10 KUHP yang membatasi kumulatif hukuman penjara paling lama 20 tahun. Namun, praktik putusan nihil sebenarnya menjadi ancaman bagi kepastian hukum dalam paradigma hukum civil law. KUHAP tidak memberikan pedoman yang jelas mengenai vonis nihil, yang menyebabkan ketidakpastian dalam interpretasi hukum. Idealnya, KUHAP seharusnya mengatur dengan jelas bentuk-bentuk putusan yang mungkin terjadi untuk menjaga kepastian hukum. Praktik putusan nihil juga mengganggu stabilitas hukum acara pidana atau hukum prosedural pidana itu sendiri. Prinsip interpretatif dalam putusan nihil menjadi kontroversial karena sering kali tidak digunakan dengan tepat. Mengingat bahwa interpretasi dalam putusan nihil berkaitan dengan masalah sistemik dalam KUHAP, hal ini seharusnya menjadi isu yang memerlukan reformasi dalam hukum acara pidana. Tulisan ini mengulas regulasi vonis nihil yang menciptakan ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam peraturan tentang putusan pemidanaan nihil
Copyrights © 2023